Wednesday, October 26, 2005

Terorisme, "Islam Disudutkan", "Pro-Bush-Amerika"dan "Ditunggangi TNI"

Kasus Peledakan Bom di Bali:
Terorisme, “Islam Disudutkan”, “Pro-Bush-Amerika” dan “Ditunggangi TNI”

Catatan A.Supardi Adiwidjaya

SEJAK awal tahun 1999, sudah 187 buah bom yang meledak atau diledakkan oleh “orang” atau “orang-orang tak dikenal” di mana-mana, di beberapa tempat di Indonesia, namun orang masih berdiskusi ada tidaknya teror dan terorisme di Indonesia. Setelah bom dahsyat diledakkan di Bali, yang memakan korban ratusan jiwa orang tak bersalah melayang, barulah sebagian besar orang mengatakan memang teror dan terorisme itu ada di Indonesia. Namun, juga sampai hari ini, orang masih ribut berdiskusi memberikan definisi apa itu teror dan terorisme dengan tentu saja dipandang dari (atau memakai kaca mata berdasarkan) kepentingan masing-masing orang atau kelompok yang berdiskusi.
Saya tidak perlu melibatkan diri dengan diskusi soal ada tidaknya teror dan terorisme ataupun mengenai pengertian yang menjelimet atau dijelimetkan tentang kata-kata tersebut. Bagi saya yang orang awam ini, cukuplah kiranya membuka “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Di sana tertulis: teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan; menteror atau meneror – berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut; teroris – orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik; terorisme – penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Dari keterangan tentang teror dan terorisme tersebut di atas, 187 buah bom yang meledak atau yang sudah diledakan di berbagai tempat di Indonesia itu, menurut pendapat saya, jelas adalah suatu aksi tindakan teroris, suatu perbuatan yang tidak bisa tidak harus diklarifikasi sebagai terorisme. Untuk mengungkap siapa pelaku atau para pelakunya memerlukan waktu dan kerja keras yang serius dari pihak yang berwajib dan dengan bantuan kesadaran masyarakat akan bahaya terorisme sebagai tindakan anti-kemanusiaan.
MAKSUD tulisan ini hanyalah mengemukakan sebuah catatan, yang penulis anggap relevan diketahui oleh khalayak ramai, agar kita memberikan tanggapan secara proporsional, dengan landasan berfikir positif atas hasil kerja pihak yang berwajib (khususnya Polri) dalam usahanya untuk mengungkap secara tuntas terutama siapa pelaku “teror bom Bali".
*****
MEMBERIKAN komentar atas tertangkapnya Amrozy – salah seorang tersangka peledakan bom di Bali, sungguh menarik apa yang dikemukakan oleh wartawan kawakan dan budayawan kondang Goenawan Mohamad dalam sebuah surat-elektronik terbuka (tertanggal 13 Nopember 2002), yang ditujukan kepada salah seorang netter milis , sebagai berikut: “Jika Indonesia menangkap para teroris – yang memakai nama Islam – tidak seharusnya Indonesia menari mengikuti gendang Amerika, atau tak dengan sendirinya benar jika dianggap demikian. Dalam sebuah ceramah di Singapura saya katakan bahwa AS adalah ancaman terbesar untuk perdamaian dunia dewasa ini. Tapi itu tak berarti saya tak akan mendukung langkah penegak hukum (juga polisi) untuk menghabisi mereka yang dengan alasan anti-Amerika membom dan membunuh orang di negeri kita. Anti-Amrozi-terroris tidak berarti pro-Bush-Amerika”.
Seperti diketahui, pada tanggal 12 Oktober 2002, tepat pukul 23.05 wita, ledakan bom telah memporakporandakan mimpi tiap wisatawan tentang Kuta yang eksotik. Peristiwa tengah malam sebulan yang lalu itu, telah menghancurkan puluhan bangunan dalam radius 200 meter disekitar Sari Club (SC) dan Paddy’s di Jl. Legian Kuta, Badung. 185 nyawa pun melayang, sedangkan yang mengalami luka-luka berat maupun ringan tercatat 325 orang. Sementara 450 toko/warung/rumah penduduk rusak, 21 kendaraan roda empat hangus, enam sepeda motor terbakar, dan empat gardu listrik meledak. Pada saat yang hampir bersamaan, berselang 10 menit, tepatnya pukul 23.15 sebuah bom meledak di Renon, beberapa meter dari kantor Konsulat Amerika Serikat. Dalam kasus ini tidak ada korban jiwa. Itulah catatan kelabu Tragedi Kuta, kasus peledakan bom pertama di Bali dan terbesar di negeri ini. (Bali Post, Selasa, 12/11/2002)

SETELAH terjadinya peristiwa tragis, yakni peledakan bom berkekuatan dahsyat di Bali tersebut, berbagai penilaian atau tanggapan bermunculan di media-media cetak maupun elektronik, dan menjadi pembicaraan khalayak ramai di dalam maupun di luar negeri.
Ada yang menganggap, bahwa ledakan bom di Bali itu adalah “rekayasa AS” yang bermaksud untuk “menekan pemerintah Indonesia” agar menangkap “orang Islam” yang dituduh terkait atau ikut membina “kelompok teroris Islam” yang sudah ditangkap aparat keamanan di Malaysia, Singapura dan Filipina, sejak akhir tahun 2001.
Ada yang yakin bahwa Indonesia (dan khususnya umat Islamnya) sengaja disudutkan oleh pemerintah asing, khususnya AS.
Ada yang berpendapat bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan CIA (Central Intelligence Agency) dengan maksud “mengadu domba rakyat Indonesia” agar Indonesia “tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi AS”.
Ada pula yang yakin bahwa ledakan bom di Bali itu dilakukan oleh “orang-orang Orde Baru dan unsur-unsur mantan TNI” yang “ingin melemahkan pemerintahan Megawati”.
(Lihat: “Indonesia dan Terorisme Internasional” oleh Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Guru Besar Universitas Indonesia; “Mungkinkah CIA-Amerika Serikat Dalang Teror Bom di Bali Indonesia?” oleh Abdul Qadir Djaelani, anggota DPR-RI No. AA259, lihat Referensi; “Kasus Ba’asyir dan Keputusan Asing” oleh Novel Ali, “Suara Merdeka”, Sabtu, 2 Nopember 2002; Skenario di Balik “Bom Bali” oleh Eggi Sudjana Msi, lihat: Republika, Selasa, 15 Oktober 2002; “Matori Tuduh Al-Qaedah Dalang Tragedi Legian”, Tempo Interaktif, Senin, 14 Oktober 2002).

Investigasi Polri dan “Rekayasa AS”

Anggapan bahwa ledakan bom di Bali itu adalah “rekayasa AS” yang bermaksud untuk “menekan pemerintah Indonesia” agar menangkap “orang Islam” yang dituduh terkait atau ikut membina “kelompok teroris Islam” semakin keras mencuat dengan adanya kasus penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.

Sekitar seminggu sesudah peristiwa tragis peledakan bom di Bali (dan sekitar 6 hari setelah terjadinya peristiwa peledakan bom di Bali diberlakukannya oleh pemerintah Perppu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme), Mabes Polri mengeluarkan surat penangkapan untuk Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) – Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, yang sedang dirawat di RS PKU Muhammdiyah, Solo. Perintah penangkapan tersebut menimbulkan berbagai reaksi negatif dan juga spekulasi dari berbagai kalangan masyarakat.

Sehubungan dengan penangkapan Ustadz Ba’asyir tersebut, pakar politik dari Unversitas Melbourne Prof Dr Arief Budiman bahkan mengatakan, Amerika Serikat (AS) membutuhkan seorang seperti Abu Bakar Ba’asyir sebagai justifikasi (pembenaran) perang. “Ada kebutuhan dari AS untuk mendapatkan seorang yang bisa dikorbankan untuk disalahkan karena isu terorisme yang didengungkan AS butuh aktor, “ kata Arief Budiman usai menjadi pembicara dalam Forum “The Future of Islam and Politics in Indonesia” di Universitas Melbourne, Rabu (23/10). Abu Bakar Ba’asyir, menurut dia, hanya seorang yang sederhana dan tidak pandai serta hanya memimpin pesantren di Ngruki, Solo. “Sulit dimengerti orang seperti itu menjalankan terorisme internasional yang sangat ditakuti dunia, “ paparnya.
Isu soal Osama bin laden dan Al-Qaeda-nya, lanjut Arief, juga tidak pernah jelas hingga sekarang. Karena itu, menurut dia, pemerintah Indonesia tidak perlu “over acting” menuruti tekanan AS. Militer sendiri, menurut dia, mendapat keuntungan dari tragedi tersebut di mana kerjasama militer dengan Australia dan bantuan AS akan menguatkan keberadaan militer. (Kompas, Kamis, 24 Oktober 2002).

Tidak pelak lagi, pikiran professor dari Universitas Melbourne tersebut di atas bisa dinilai sebagai atau semacam sebuah dukungan moral terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bersama para pengikut setianya. Sejalan dengan itu, saat ini di arena politik Indonesia berdengung nyaring suatu paduan suara bersama (kor) anti Amerika Serikat (AS), yang didengungkan terutama sekali oleh berbagai kelompok atau organisasi radikal, yang mengibarkan agama Islam sebagai landasan perjuangan politiknya.

Dalam konteks tuduhan bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan Central Intelligence Agency (CIA) ataupun “rekayasa AS”, menarik kiranya untuk dicatat dan disimak dengan baik pernyataan Goenawan Mohamad dalam surat elektronik terbuka (yang telah saya singgung di atas), sebagai berikut:
“Saya memang semula (garis bawah – ASA) melihat, bahwa AS-lah yang secara politis diuntungkan oleh bom di Bali: dengan terjadinya hal itu, Bush dkk., termasuk Lee Kuan Yew, bisa mendapatkan pengukuhan bahwa di Indonesia kaum teroris bersarang, dan pemerintahan Megawati akan terdorong masuk lebih aktif dalam ikut 'perang melawan terorisme' itu. Sebab memang ada yang tak logis dalam tuduhan Bush-Lee: jika di Indonesia ini para teroris bersarang, kenapa mereka harus merusak sarang itu? Dengan argumen yang sama, saya juga meragukan pengakuan al-Faruk yang dimuat di TIME, bahwa kelompoknya akan membunuh Megawati. Buat apa? Untuk mendirikan negara Islam? Seperti terbukti dalam pergantian Konstitusi baru-baru ini, dukungan politis untuk itu sangat kecil. Atau sekedar menjadikan Hamzah Haz presiden, supaya proteksi terhadap mereka lebih kuat? Ini lebih mungkin, tapi belum jelas apakah jika Mega berhalangan, Hamzah Haz bisa bertahan.Tapi belakangan ini saya lebih diyakinkan oleh cara kerja polisi (garis bawah – ASA) -- yang biasanya saya ragukan dan curigai”. (Kutipan selesai).

Dalam konteks ini, perlu juga dicatat pendapat Herman Sulistyo – peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – yang menekankan bahwa hasil investigasi atas kasus peledakan bom di Bali bukan rekayasa (lihat: Tempo Interaktif, edisi tgl.14/11/2002).

Berkenaan dengan tuduhan bahwa kasus peledakan bom di Bali adalah “rekayasa AS dan CIA”, patut pula kiranya kita catat berita (sebuah rekaman suara Osama bin Laden) yang disiarkan oleh Televisi Al Jazeera. Dalam pernyataannya, Osama memuji serangan-serangan anti Barat yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir termasuk bom Bali.Osama memuji serangan yang antara lain terjadi di Bali yang menewaskan hampir 200 orang kebanyakan warga negara Australia, pembunuhan seorang marinir AS di Kuwait. Dia juga memuji pemboman terhadap kapal tanker Prancis di lepas pantai Yaman dan penyanderaan di sebuah teater di Moskow oleh gerilyawan Chechnya.Dalam bahasa Arab, Osama menyebutkan bahwa serangan itu dilakukan dalam rangka mempertahankan agama dan sebagai reaksi terhadap tindakan Presiden AS George W. Bush yang disebutnya Firaun saat ini. Sebutan ini datang karena Bush dianggap membunuh anak-anak di Irak. (Sinar Indonesia Baru, Kamis, 14 Nopember 2002).

Dalam konteks berita tentang isi rekaman suara Osama bin Laden itu, jika kita tidak menuduh Televisi Al Jazeera itu juga sebagai TV-zender yang direkayasa oleh AS dengan CIA-nya, maka pernyataan pujian Osama bin Laden atas serangan anti Barat, yang terjadi di Bali itu mungkin bisa saja dinilai sebagai pemberian keterangan bahwa: Pertama, kasus tersebut jelas bukan merupakan skenario CIA dan “rekayasa AS”atau pihak-pihak yang “dicurigai” lainnya; kedua, menunjukkan bahwa pelaku atau para pelakunya bukanlah Al-Qaeda, tetapi adalah “perbuatan dari kawan-kawan seperjuangan” Al-Qaeda dari Osama bin Laden.

Dan bagaimana kita harus menilai temuan-temuan oleh pihak Polri dalam usaha keras pelacakannya guna mengungkap misteri pelaku peledakan bom di Bali itu? Apakah ia dinilai sebagai hasil rekayasa? Dalam kaitan ini, menarik apa yang dikemukakan oleh Goenawan Mohamad: “Penangkapan dan pemeriksaan Amrozi adalah kerja detektif yang normal: dari data di lapangan, bukan dari 'skenario'. Bahkan polisi berhati-hati menggambarkan 'skenario', tidak macam kelaziman BAKIN dan dinas intel ABRI selama Orde Baru, yang membuat 'skenario', kemudian memperkuat 'pembuktiannya' melalui pemeriksaan, yang sering disertai penyiksaan”.

Ketua Tim Investigasi Kasus Bom Bali Irjen (pol) Made Mangku Pastika mengatakan, tidak ada keraguan sedikit pun tentang penangkapan Amrozy, tersangka dalam peledekan Bom Bali 12 Oktober 2002 lalu. Menurut Pastika, pihaknya memperoleh bukti-bukti di lapangan, kemudian diolah sesuai scientific crime investigation. “Kita membangun investigasi dari bawah. Jadi, kita juga pertimbangkan alternatif-alternatif dari organisasi yang besar dari atas. Tapi, yang paling penting kita membangun penyelidikan dari bawah,” ujar Made Mangku Pastika, dalam konferensi pers (14/11/2002) di Denpasar, Bali. Dikatakan, tidak benar pelaku menyisakan bukti-bukti tercecer. “Penangkapan Amrozy itu karena keuletan para penyelidik, tim forensic, sehingga kita temukan banyak hal ke arah tertangkapnya Amrozy,” katanya. (Bali Post, Kamis, 14 Nopember 2002).

SEHUBUNGAN dengan keberhasilan Polri menangkap salah seorang tersangka peledakan bom di Bali, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita mau berfikir dan memberikan pendapat kritis secara proporsional dengan berfikir positif terhadap apa yang dilakukan pihak berwajib (khususnya Polri) dalam usahanya untuk menguak kasus peledakan bom di Bali tersebut, ataukah mau berfikir dan menilai sebaliknya bahwa investigasi yang dilakukan Polri tersebut sebagai rekayasa?!

Resolusi MMI dan “Islam disudutkan”

SEMENTARA itu, kelompok radikal atau garis keras berbendera Islam, antara lain, apa yang dinamakan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Front Pembela Islam (FPI) dan Lasykar Jihad, yang merasa mewakili seluruh umat Islam Indonesia, dengan gencar melakukan demonstrasi-demostrasi anti AS, anti Yahudi dan Israel.
Memberikan reaksi keras kepada pihak berwajib atas penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan tuduhan, antara lain, ada keterkaitan ustadz tersebut dengan peledakan-peledakan bom di berbagai tempat (yang telah terjadi jauh sebelum peledakan bom Bali 12 Oktober 2002), MMI mengeluarkan resolusi terhadap pemerintahan Megawati, yang isinya, antara lain, sebagai berikut:
“Pemerintah Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum yang berdaulat dan mempunyai harga diri, harus dipertahankan oleh warganegaranya yang mayoritas penduduknya adalah Umat Islam, maka Kami Umat Islam Bangsa Indonesia memperingatkan dan menghimbau kepada Pemerintahan Megawati untuk:
a. Menghentikan semua tindakan represif atau penindasan terhadap Islam dan umat Islam.
b. Menghentikan semua tuduhan dan sangkaan serta semua proses rekayasa hokum yang dilakukan khususnya terhadap ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan tokoh-tokoh serta aktivis Islam.
c. Menindak oknum aparat keamanan yang sudah melampaui batas dan melakukan tindakan represif serta diskriminatif terhadap Islam dan umat Islam. Terhadap aparat keamanan yang suka main tangkap dan main tembak supaya dipecat dari kedinasan, karena tindakan polisi seperti ini hanyalah akan menjadikan rakyat bangsa Indonesia suka kepada kekerasan, yang seharusnya poisi itu bersikap sejuk di mata rakyatnya sebagai pengayom dan pelindung mereka.
Bila resolusi ini tidak diindahkan maka kami akan mengajukan MOSI TIDAK PERCAYA kepada Pemerintahan Megawati dan menyatakan bermusuhan/oposisi sampai pemerintahan ini diganti dengan pemerintahan yang baru”.
Resolusi tersebut dikeluarkan di Jojakarta 1 Nopember 2002 dan ditandatangani oleh
Irfan S. Awwas (Ketua) dan Shabbarin Syakur (Sekretaris).

Selain resolusi (baca: ultimatum) MMI terhadap pemerintah Megawati-Hamzah itu, aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok apa yang dinamakan Islam garis keras atau Islam radikal dengan terang-terangan menuduh pemerintah sebagai antek Amerika Serikat.
Sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ba'asyir sendiri, misalnya, menegaskan, bahwa bila ada tuduhan terhadap dirinya terkait dengan aksi teror itu, dia menantang agar pihak yang menuduh dapat membuktikan bahwa dirinya yang melakukan. Ba'asyir juga menyatakan, agar pemerintah jangan mau didikte pemerintah AS, yakni dengan menangkap warganya hanya untuk kepentingan AS.
Pengikut Abu Bakar Ba’asyir tidak segan-segan mengumbar ancaman. "Bagi yang sudah pernah masuk Ambon, merakit bom adalah pekerjaan mudah. Bahannya bisa kita dapatkan dari berbagai tempat. Tapi kami akan melakukannya jika pimpinan kami didzalimi. Entah nanti akan ditabrakkan kepada orang atau apa, itu dipikirkan nanti," papar Solichin dengan penuh semangat kepada wartawan yang berkumpul di Pondok Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Selasa (15/10). Solichin adalah salah seorang pengikut dan pembantu terdekat Abu Bakar Ba'asyir. (“Ba'asyir Ditangkap, Pengikutnya Janji Lakukan Bom Bunuh Diri”, Sinar Indonesia Baru, Rabu, 16 Oktober 2002).

Ketua Umum Pintar (Pergerakan Islam untuk Tanah Air), Alfian Tandjung misalnya, menyerukan, seluruh muslim di manapun melakukan qunut nazilah. Yakni do’a yang biasa dilakukan saat terjadi bencana besar melanda ummat Islam, terutama karena ketertindasan tokoh dan gerakan Islam di berbagai tempat. Seperti Osama dan Al Qaeda, Abu Bakar Ba’asyir, Habib Rizieq, pejuang Chehnya, Moro (Filipina) dan yang lainnya. Selain Alfian, seorang juru dakwah yang sering keluar masuk Singapura, Malaysia, Brunei dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, Syamsul Abdul Madjid, juga ikut berorasi. Mengenakan jubah panjang dan surban hitam, dipadu dengan jenggot putihnya yang panjang, Syamsuri menasehati Mega.“Takkan mungkin seorang presiden perempuan yang mesti perhatian, mengorbankan anak-anak bangsanya sendiri. Tapi kini kok malah menjual bangsanya sendiri kepada bangsa asing,” ujarnya lantang. (Rakyat Merdeka, Sabtu. 02/11/2002)

Mari kita simak dengan saksama apa yang dikemukakan oleh Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Anshori saat menjadi pembicara dalam diskusi “Teror Islam, Teror Global”, yang diselenggarakan Lakpesdam NU bersama British Council di Hotel Indonesia, kemarin (14/11/2002), sebagai berikut: “Amerika itu Teroris dan Zionis, kalau disingkat jadinya Amrozy. Indonesia saat ini tengah menjadi korban kebiadaban negara itu”.
Anshori mengatakan siapapun pengebom Bali harus dihukum berat. Bahkan, kalau perlu dihukum dengan syari’at Islam, yaitu dibunuh, dipotong tangan kaki secara silang atau dibuang ke pengasingan seumur hidup.
“Ini adalah salah satu komitmen kami terhadap syari’at Islam, sekaligus membuktikan bahwa Islam sangat tidak toleran dengan terorisme. Bahkan, kalau ada anggota MMI yang terlibat, silakan hokum seberat-beratnya. Tapi, lewat proses pengadilan dan disertai bukti, tentunya,” jelasnya kemudian. Anshori sepakat bahwa tindakan terorisme adalah bertentangan dengan kemanusiaan. Hanya saja, menurutnya, definisi terorisme seringkali ditafsirkan secara subyektif, bahkan seringkali ditunggangi untuk kepentingan tertentu. Akibatnya, yang terjadi adalah stigmatisasi atas kelompok tertentu atas pengertian terorisme. “Contohnya adalah ucapan I Made Mangku Pastika (ketua tim investigasi peledakan Bali) yang menyatakan adanya kesamaan ideologi antara Jamaah Islamiyah dengan MMI. Ini kan ngawur,” ujarnya.

DARI isi resolusi MMI dan beberapa cuplikan pendapat para tokoh Islam radikal tersebut di atas terlihat jelas, bahwa menurut pandangan mereka, kasus peledakan bom di Bali itu adalah sepenuhnya “rekayasa AS dan CIA-nya” dan Amrozy itu merupakan singkatan dari Amerika itu Teroris dan Zionis. Mereka menuduh bahwa pemerintahan Megawati adalah “antek AS”. Dus, di balik kampanye anti AS, yang dengan gencar mereka lancarkan itu, ujung tombak perjuangan kelompok radikal ditujukan kepada pemerintah Megawati. Mereka menilai kebijakan pemerintah Megawati untuk dengan tegas memerangi terorisme di Indonesia sebagai tindakan menyudutkan Islam.

JUGA Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa umat Islam dipojokkan dalam kasus peledakan bom di Bali. Menurut Wakil Sekretaris Umum MUI Ikhwan Syam, Islam kini tengah didudukkan dalam posisi tertuduh kasus Bali. Hal itu dikemukakan Ikhwan dalam pertemuan Forum Ukhuwah Islamiyah di Jakarta, Senin (04/11/2002). Hal serupa juga dirasakan ormas Al-Irsyad. Hal serupa juga dirasakan ormas Al-Irsyad. Mereka juga mengeluhkan tudingan warga keturunan Arab sebagai tokoh garis keras. Untuk itu, forum mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus ledakan bom di Bali. Pemerintah juga diharapkan bersikap tegas dan tegar menghadapi tantangan sejumlah negara yang mendikte arah bangsa dan negara.

AZYUMARDI AZRA (pengamat politik, rektor Universitas Islam Negeri Islam) menilai opini publik yang menyebut terorisme identik dengan Islam akibat kesalahan orang Islam sendiri. Menurut Azyumardi, umat Islam terlalu over-reaktif terhadap tragedi peledakan bom di Bali. “Kalau Amrozy ditahan, maka pemimpin-pemimpin Islam mengatakan umat Islam tengah menjadi korban konspirasi. Bahkan, ketika pesantren Al Islam diperiksa, banyak yang mengatakan Islam lagi disudutkan,” ujarnya. Lebih lanjut, menurutnya, kesalahan lain yang dilakukan orang Islam adalah menjeneralisir peristiwa-peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Jika ada penangkapan Amrozy, pemeriksaan pesantren atau penahanan Abu Bakar Ba’asyir, Azyumardi menyarankan agar tidak digambarkan sebagai tindakan represif pemerintah terhadap umat Islam secara keseluruhan. (Rakyat Merdeka, Sabtu, 02/11/2002).

MENANGGAPI penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Sekjen PDI Perjuangan Ir Sutjipto menyatakan bahwa partainya sampai sekarang tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah, kecuali kalau bukti-bukti yang menguatkan nanti memang nyata-nyata ada. “Kami tidak sependapat, kalau hal demikian itu diembel-embeli persepsi adanya tekanan dari luar dan memojokkan agama tertentu atau kelompok tertentu”, kata Ir. Sutjipto. Saya tidak setuju, lanjut Sutjipto, kalau itu dikibar-kibarkan sebagai kepentingan kelompok. Kita bersikap pada asas praduga tak bersalah saja. Tapi tetap memberikan kewenangan penuh pada kepolisian untuk melakukan tindakan-tindakan, tapi tidak melakukan pendekatan kekuasaan seperti yang lalu. Untuk penanganan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), silakan ditangani sesuai dengan prosedur hukum saja, tetapi kalau tidak terbukti bisa digugat lewat jalur hukum juga, bukan dengan kekerasan. Sutjipto menilai, sejauh ini Polisi dalam menangani kasus Abu Bakar Ba’asyir, masih normal-normal saja. Ia menegaskan, terhadap orang per orang yang ditangkap kalau memang betul-betul melakukan tindakan teror silakan diproses secara hukum. (Sinar Indonesia Baru, Selasa, 05/11/2002).

“Ditunggangi TNI”

Dengan ditemukannya senjata buatan Pindad di lokasi yang diduga disimpan oleh Amrozi dan kelompoknya, muncul dugaan sementara orang tentang kemungkinan keterlibatan “oknum TNI” dalam kasus teror bom Bali. Jauh sebelumnya, juga ada tuduhan tentang keterlibatan “unsur TNI” dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh apa yang dinamakan Lasykar Jihad dalam konflik di Maluku.

Saat ini, misalnya, seperti yang dilangsir antara lain di koran Rakyat Merdeka, muncul tuduhan bahwa pengeboman Bali bakal dijadikan alasan oleh TNI untuk mengembalikan pemerintahan militeristik dan otoriter di Indonesia. Teorinya sederhana. Untuk menghambat aksi teror, dibutuhkan militer “kuat”. Artinya, berkuasa penuh. Persis, seperti di masa lalu. “Salah dan tidak bermoral, usaha Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu memanfaatkan kasus Bali untuk meyakinkan masyarakat kalau Kodam harusdiperluas. Apalagi pernyataan bekas Pangkokamtib Sudomo yang mengancam hak-hak sipil dengan meminta pemerintah memberlakukan Undang-undang Subversif,” tegas Direktur Imparsial Rachlan Nashidik dalam jumpa pers di kantor Kontras, kemarin.
Menurut Rachlan, selain keinginan militer kembali berkuasa, upaya AS memulihkan bantuan militer kepada TNI juga mengancam demokrasi Indonesia.Selain itu, dia menyebut rencana kerjasama Australia dan Kopassus dalam operasi antiterorisme juga berbahaya bagi perkembangan kebebasan berpendapat di republik ini. “Ini tragedi besar. Bom Bali mengundang militer kembali dalam politik sipil.Padahal merekalah yang berpuluh tahun menjadi pelaku crime against humanityyang dapat digolongkan sebagai tindakan teroris. Mereka juga teroris kok. Sama-sama menyerang hidup dan jiwa warga sipil yang tidak berdosa,” jelas Rachlan. (Rakyat Merdeka, Jumat, 15 Nopember 2002).
Militer sendiri, menurut Prof Dr Arief Budiman, mendapat keuntungan dari tragedi tersebut di mana kerjasama militer dengan Australia dan bantuan AS akan menguatkan keberadaan militer. (Kompas, Kamis, 24 Oktober 2002).

APA-APA yang diutarakan oleh Rachlan Nashidik dan Arief Budiman tersebut di atas, masih perlu pembuktian, dus perlu pengkajian yang serius. Dan bagaimanapun kita tidak bisa menafikan begitu saja tentang terjadinya proses reformasi baik dalam fikiran maupun tindakan di berbagai lapisan jajaran TNI, terutama dalam hal tekad para pimpinan TNI/Polri untuk mengeliminir (apa yang dulu dikenal sebagai) “dwifungsi ABRI”. Sehubungan dengan ini, baik kiranya kita tunggu perkembangan selanjutnya.

MENUTUP catatan di atas, perlu kiranya saya lontarkan di sini apa yang dikemukakan oleh Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia, sebagai berikut: “Drama tentang Tragedi Bali masih akan berlangsung lama dan masih akan menjadi buah bibir di mana-mana. Kontroversi pun dengan liar menyebar. Yang mengecewakan, ada suara-suara yang terkesan berpihak kepada yang melakukan kekerasan. Dengan dalih dan argumentasi yang terukur dan tertata ditinjau dari segi hukum, ekonomi, politik, moral maupun intelektual, yang bersifat nasional maupun internasional, mereka tampaknya menafikan kenyataan bahwa ledakan-ledakan kekerasan yang mencirikan awal abad ke-21 ini tentunya bertentangan dengan perikemanusiaan ataupu ajaran-ajaran agama. (Media Indonesia, Sabtu, 16 Nopember 2002).

Khusus mengenai investigasi kasus peledakan teror bom Bali, saya menyetujui apa yang dikemukakan oleh sosiolog dari Unand, Prof dr Abdul Azis Saleh, bahwa sebaiknya penyelidikan dan analisa diserahkan pada ahlinya. Pemahaman ini penting supaya tidak membuat suasana semakin tidak menentu. Jadi biarlah aparat keamanan dan instansi terkait mengusut tuntas kasus bom di Bali.

Dan sungguh arif apa yang dikemukakan dalam Tajuk Rencana “SUARA MERDEKA” (18/11/2002): “Orang bebas berpendapat dan mengomentari kasus tersebut. Namun, akan lebih baik kiranya jika pendapat dan komentar berguna untuk membongkar kasus besar itu secepatnya. Bukan malah mempertentangkan atau berkomentar dari itu ke itu saja yang tidak membantu usaha menyelesaikan persoalan pokok. Ada anggota tim peneliti yang heran mendengar komentar yang ngalor ngidul itu. Tim peneliti itu, yang seharusnya sangat terpercaya karena selain dari Indonesia berperan pula ahli dari berbagai negara, telah mengungkapkan enam tersangka pelaku. Sebaiknya kita menanti kelanjutan dari temuan itu. Penyebaran foto tersangka mengharapkan peranserta masyarakat luas untuk memberi informasi. Kita semua berkepentingan dengan kecepatan proses agar mesyarakat segera terbebas dari keraguan dan saling curiga”.

AKHIRUL KALAM, adalah sulit memberikan pendapat, apakah membenarkan atau menyanggah berbagai pendapat yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut diatas, karena bahan-bahan yang digunakan sangat terbatas dengan analisa yang kelihatan sekali berat sebelah. Kita tidak bisa menafikan begitu saja juga mengenai teori konspirasi atau teori komplot. Dus, mengenai siapa di belakang teror yang telah lama melanda Indonesia ini, kita seharusnya menunggu hasil penyelidikan menyeluruh dari aparat kepolisian Indonesia yang dalam hal ini telah melakukan kerjasama dengan berbagai aparat intelijen asing lainnya. Karena, melansir pandangan dan pendapat tanpa bukti-bukti kongkrit, hanya akan mengacaukan keadaan dan dapat menimbulkan saling curiga dan permusuhan yang tidak perlu di antara kita semua. Padahal kita semua menyadari bahwa Indonesia yang kita cintai sedang menghadapi bahaya disintegrasi bangsa. Adalah lebih baik dan bermanfaat kiranya bila para pakar, pengamat-pengamat berbagai disiplin ilmu membantu polisi dengan memberikan bahan-bahan kongkrit, bila mereka memang mempunyai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yang jelas adalah : siapa pun dan dari golongan mana pun yang melakukan teror tidak bisa dibenarkan. Tindakan teror adalah suatu kejahatan terhadap umat manusia, oleh karenanya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap perbuatan teror, dan hanya dengan demikian pemerintah dapat melindungi masyarakat, dan memberikan rasa aman kepada rakyat banyak. Keamanan dan ketenangan masyarakat sangat penting bagi kelancaran dan pertumbuhan ekonomi yang sangat kita butuhkan dalam mengatasi multikrisis yang berkepanjangan ini. (ASA)

(Zaandam, Holland, akhir Nopember 2002)
Catatan: Artikel ini diekspos sebagai Editorial di website Korwil PDI Perjuangan di Belanda,
akhir Nopember 2002.

*******

0 Comments:

Post a Comment

<< Home