Saturday, October 29, 2005

Joesoef Isak Sarankan Agar Pemerintah SBY Merehabilitasi Soekarno


(Rakyat Merdeka, Selasa, 02 Nopember 2004)

Joesoef Isak Sarankan Agar Pemerintah SBY Merehabilitasi Soekarno

Joesoef Isak lahir pada tahun 1928 di Kampung Ketapang, Jakarta. Pada akhir Perang Dunia II serta pendudukan Jepang, Joesoef bekerja sebagai wartawan dan muncul sebagai seorang cendekiawan yang menonjol serta merupakan salah seorang penganjur ide nasionalisme-patriotisme Soekarno.

Setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965, Jendral Soeharto berhasil naik panggung kekuasaan melalui represi berdarah yang sangat kejam dan dengan korban pembunuhan yang paling besar dan biadab dalam sejarah Indonesia. Para pengikut Bung Karno dan sejumlah intelektual yang progresif dijadikan sasaran oleh rezim Soeharto (atau rezim Orba) ini. Joesoef Isak diinterogasi, dibebaskan beberapa kali antara tahun-tahun 1965 dan 1967. Pada tahun 1967-1977 Joesoef Isak dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan.

Pada hari Sabtu (30/10/2004) lalu di Amsterdam, Yayasan (Stichting) INDONESIA MEDIA di Belanda, yang diketuai oleh Arief Tahsin mengadakan acara temu wicara masyarakat Indonesia dengan Joesoef Isak, yang kebetulan dari Paris (Perancis) berkunjung ke Belanda untuk beberapa hari dan kemudian akan meneruskan perjalanannya (31/10) ke Stockholm, Swedia. Sesaat sebelum temu wicara dimulai, koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A.Supardi Adiwidjaya mendapat kesempatan bincang-bincang dengan Joesoef Isak dan bersama dengan Bari Muchtar - wartawan Radio Hilversum mewawancarainya. Berikut ini petikannya.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Tugas negara dan pemerintah ke depan bagaimana kejahatan pelanggaran HAM berat, korupsi, dan terorisme dapat dicegah. Penegakan tersebut bukan hanya tugas penegak hukum, tetapi tugas semua masyarakat._ Sehubungan dengan ini, patut kiranya dipertanyakan, bagaimana dengan pelanggaran HAM berat masa lalu, yang dilakukan terutama oleh rezim Orba terhadap orang-orang yang tak bersalah, tanpa proses pengadilan dijebloskan kedalam penjara; mereka yang dituduh terlibat G30S/PKI dibuang ke pulau Buru dan banyak dari mereka yang dibunuh.Bagaimana pandangan anda?

Memang itu satu masalah yang kita tunggu-tunggu apa sikap SBY sebagai presiden. Soal pelanggaran hak asasi itu salah satu poin disamping masalah korupsi. Tapi ijinkanlah saya kemukakan pendapat yang mungkin sangat pribadi. Pelanggaran hak asasi itu menyeluruh, jadi bukan hanya orang-orang yang terlibat, yang katanya terlibat PKI atau gerakan Sukarno. Tapi sebenarnya rakyat biasapun itu terkena pelanggaran hak asasi, mereka pun menderita Jadi buat saya, saya tidak merasa perlu (bukan saya tidak setuju) untuk minta perhatian khusus pada bekas tapol artinya orang bekas tapol seperti saya. Sebenarnya yang menderita karena pelanggaran hak asasi, bukan hanya tapol, tapol PKI, tapol Islam. Seluruh rakyat sebenarnya menderita.

Karena itu saya harapkan, perhatian diberikan pertama-tama kepada rakyat. Sebab pemulihan hak-hak sipil, penegakkan hukum bagi seluruh rakyat, itu dengan sendirinya kami akan ikut menikmati. Jadi tidak perlu khusus penanganan terhadap eks tapol.

Tapi satu poin lagi yang saya ingin kemukakan di sini, barangkali ini suatu kesempatan yang baik, sebab jarang dikemukakan. Coba mulailah lebih dahulu, kalau bicara mengenai rehabilitasi, mengenai penegakkan kembali hukum, saya ingin sekali menyarankan kepada SBY sebagai presiden, melakukan pertama-tama rehabilisasi terhadap Bung Karno. Sebab dari sana dimulainya sebenarnya. Begitu Presiden Sukarno dijatuhkan, menderita kita semuanya. Akibatnya luar biasa.

Setelah Sukarno jatuh, kita tidak ada pegangan, kaum buruh, kaum tani, rakyat biasa tidak ada pegangan, tidak ada lagi andalan yang bisa diharapkan. Jadi saya senang mendengar SBY berbicara mengenai penegakkan hukum. Itu memang bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tugas masyarakat dan itu benar. Jadi persepsinya terhadap penegakkan hukum itu memang harus melibatkan rakyat.

Tapi bukankah masalah tapol itu masalah yang paling berat dalam sejarah Indonesia?

Betul sekali, betul sekali. Tetapi sekali lagi saya ingin katakan. Jangan sampai seakan-akan tapol ini dimanjakan, harus diprioritaskan Kalau disejajarkan antara eks tapol/napol dengan rakyat, saya pikir saya akan pilih dahulukanlah rakyat. Sebab, bila hak-hak rakyat, kalau hak asasi rakyat - kalau itu ditegakkan, saya kira dengan sendirinya tapol juga akan terbawa, akibat-akibat positifnya juga akan kami rasakan.

Saya membenarkan anda, kalau berbicara mengenai penindasan, tapol. Pemerintah sendiri (pada saat Menteri Dalam Negeri dibawah Jenderal Rudini) telah mengumumkan 1,3 juta korban. Dan di sini saya keliling di Belanda, di Perancis, itu tema yang memang saya kedepankan. Sebab begini. Saya banding-bandingkan, pada saat orang Belanda atau orang Perancis berbicara mengenai Pol Pot, misalnya, kekejaman yang dilakukan oleh Pol Pot, itu orang Belanda mengatakan hal itu menjijikan (walgelijk) itu. Akan tetapi, ini saya berbicara masalah dulu, ketika tahun 1965 dulu itu, pers Belanda tidak pernah menulis apa-apa.

Tidak pernah memberikan perhatian, bahwa di Indonesia ada seorang Pol Pot. Ada Pol Pot di Kamboja, tapi ada Pol Pot di Indonesia. Jika membandingkan-bandingkan angka korban pembunuhan, mengemukakan angka korban, di Indonesia juga lebih besar dari apa yang terjadi di Kamboja, yang dibunuh maupun yang ditahan.

Mengenai korban sejumlah yang disebutkan 1,3 juta, tapi itu pun angka yang kita ragukan. Karena tidak selamanya konsisten, kadang-kadang disebutkan 1,7 juta menjadi korban pembunuhan rezim Orba, tapi kadang-kadang disebutkan 1,3 juta korban.

Mungkin dalam hal menyebut angka, jumlah korban ini, kan tapol dibagi dalam golongan A,B,C, D. Mungkin kategori golongan D ini menyebabkan angka, jumlah korban membengkak menjadi 1,7 juta. Jendral Sarwo Edi pernah menyatakan sebanyak 3 juta korban.

Sampai sekarang sebenarnya angka, berapa yang telah dibunuh selama setelah terjadi peristiwa 1965 itu, sebenarnya belum pernah diadakan penelitian/penyelidikan (survey) yang resmi yang jelas, yang tegas. Jadi angka-angka korban pembunuhan rezim Orba itu berkisar dari 500 ribu sampai yang disebut oleh Jendral Sarwo Edi sebanyak 3 juta korban jiwa. Mungkin saja dia (Jendral Sarwo Edi _ red.) benar.

Akan tetapi mungkin juga pada saat dia kemukakan angka yang disebutkannya itu, dia sedang membanggakan diri, bahwa dia berhasil memberantas PKI ini bukan 500 ribu, tapi 3 juta, saya babat mereka. Mungkin saja dia ingin membesar-besarkan bagaimana _prestasi_nya, mau membanggakan _prestasi_nya itu. Tapi apakah angka itu benar, saya kira, suatu waktu mesti ada penelitian yang benar, serius. Sampai sekarang tidak ada yang mengadakan penelitian, atau perhatian khusus untuk mengetahui angka/jumlah korban yang meninggal atau mati itu.

Misalnya saja, di pulau Buru selama sekitar 10 tahun, kalau penguasa (komandan-komandan yang mendapat giliran) bertugas di sana ditanya, mereka tidak pernah punya data berapa yang mati selama Buru itu menjadi pulau tahanan. Yang bikin catatan justru Pramudya Ananta Tur. Memang Pramudya ini bukan hanya seorang novelis besar, dia juga seorang dokumentalis besar. Segala macam dia catat.

Dan kalau baca bukunya _Nyanyi Seorang Bisu_ appendix (lampiran)nya itu kita bisa lihat: Daftar yang meninggal itu teliti sekali: meninggal karena sakit, meninggal karena dibunuh, meninggal karena kecelakaan. Dan jelas dari mana asalnya seseorang yang meninggal itu, dari desa apa di pulau Jawa, misalnya, itu lengkap.

Tapi pemerintah sendiri ataupun usaha swasta (atau sebutlah LSM) sampai sekarang saya lihat belum ada di dalam agenda mereka meneliti secara tepat angka-angka itu: angka yang dibunuh, angka yang terbunuh, angka yang ditahan sampai sekarang belum ada yang resmi.

Banyak orang yang mengatakan perlunya rekonsiliasi.Bagaimana pandangan anda mengenai rekonsiliasi?

Kalau hanya ditanyakan atau digunakan istilah itu rekonsiliasi, saya dengan sendirinya sangat setuju. Kan dibalik kata itu mengandung kerukunan nasional, rujuk nasional, damai. Kan ideal sekali. Akan tetapi antara apa yang kita ingini dan realitas apa yang bisa kita capai saya kira jaraknya sangat jauh.

Kenapa?

Begini. Kita suatu waktu, saya kira itu terjadi sebelum Gus Dur naik menjadi presiden Mendadak sontak, dilangsir di masyarakat istilah rekonsiliasi itu. Saya kira asal usulnya itu dari sini, dari Belanda.

Jadi ada teman-teman Indonesia di sini, yang dengan sendirinya punya fasilitas jauh lebih baik dari kita di Indonesia, mampu lewat televisi melihat apa yang terjadi di Afrika Selatan. Mereka mengikuti komisi kebenaran, sidang-sidang komisi kebenaran yang dipimpin oleh Desmon Tutu dan itu memang saya sendiri pernah melihat di CNN itu sangat mengharukan, di mana pihak yang terdakwa, katakanlah yang tertuduh polisi kulit putih berhadapan dengan orang yang menjadi korban.

Dan kan ada syarat-syaratnya tentang rekonsialisi, amnesti, bahwa yang melakukan kesalahan mengakui secara terbuka. Pengakuan terbuka itu memberikan hak bagi dia untuk mendapatkan amnesti.

Adegan-adegan komisi kebenaran yang dipimpin oleh Desmon Tutu itu memang sangat mengharukan. Dan bisa dibayangkan, di Indoneia satu segmen besar masyarakat mengalami selama 30 tahun diinjak-injak terus, underdog.

Jadi bagaimana apakah pola (rekonsiliasi) ini bisa dilakukan di Indonesia?

Memang ideal sekali, akan tetapi, ini pendapat saya pribadi. Tidak bisabegitu saja bisa berlangsung kita mau rekonsiliasi, ada statement oleh LSM, perorangan atau kelompok yang menghendaki rekonsiliasi, lantas langkah rekonsililiasi itu otomatis bisa berjalan, saya kira samasekali tidak bisa berjalan. Karena apa? Di Afrika Selatan, ini yang sering dilupakan, oleh kawan-kawan di Indonesia.

Bahwa yang terjadi di Afrika Selatan yang terjadi di sana adalah pengalihan kekuasaan secara kualitatif. Kekuasaan yang selama ini berada di tangan apartheid, yang diskriminatif, yang sangat represif mendadak sontak berada ditangan kekuatan demokratis dibawah Nelson Mandela, kekuatan yang anti diskriminasi, kekuatan demokratis. Itu perubahan yang kualitatif.

Sementara yang terjadi di Indonesia tidak demikian, maksud anda?

Apa yang terjadi di Indonesia? Saya bertanya, apakah ada perubahan kekuasaan secara kualitatif? Maksud saya terutama tentang watak kekuasaan. Saya kira tidak. Hanya Soeharto yang berhenti. Dia melengserkan diri, tetapi watak kekuasaannya berjalan terus, aparat kekuasaannya masih lengkap, masih utuh dan berjalan terus.

Ya, bagaimana mau diselenggarakan rekonsiliasi, kalau kekuasaan masih tetap yang itu-itu juga sebenarnya. Watak kekuasaannya masih yang itu-itu juga. Dan kalau saudara lihat, tidak ada kan indikasi dari pemerintah - yang terbuka, yang jelas-jelas mengingini rekonsiliasi. Kalaupun pemerintah sekali-sekali bicara juga mengenai rekonsiliasi, itu karena pemerintah menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada di masyarakat. Jadi belum menjadi program dari pemerintah itu sendiri.

Mungkin karena adanya tuntutan dari luar negeri?

Persis. Mengenai tuntutan luar negeri ini, saya berpendapat bahwa faktor intern selalu yang terpenting. Tetapi di dalam pergolakan politik yang kita alami, nasional maupun internasional, misalnya di dalam penahanan tapol, faktor luar negeri memang ikut berbicara.

Pulau Buru bubar itu tahun 1979 itu karena adanya tekanan kuat dari Presiden Jimmy Carter. Dan saya kira juga, bagusnya saya ada kesempatan sekarang, saya ucapkan di sini terima kasih kepada semua teman-teman, kawan-kawan, perorangan maupun lewat organisasi memobilisasi gerakan solidaritas. Itu memang merupakan faktor penting. Walaupun saya katakan yang terpenting tetap adalah faktor dalam negeri.

Mantan tapol dan aktivis HAM kawakan asal Inggris Carmel Budiardjo, kalu tidak salah mengemukakan bahwa tanpa rekonsiliasi, tanpa diselesaikannya masalah tapol, masalah kejadian yang besar itu Indonesia belum betul-betul menjalankan demokrasi. Komentar anda bagaimana?

Saya sepenuhnya setuju akan pendapat ini. Akan tetapi, saya cukup realistis, saya setuju dengan rekonsiliasi. Dari mana, siapa yang harus menjalankan rekonsiliasi itu.

Saya lihat di sini, dan ini selalu saya katakan, rekonsiliasi pada akhirnya adalah masalah kekuasaan atau lebih tepatnya adalah masalah watak kekuasaan.Jadi bukan masalah goede bedoelingen, kemauan baik dari perorangan atau kemauan baik dari kelompok-kelompok. Sebenarnya contoh sudah ada. Anak-anak yang dikatakan korban, misalnya anak Jendral Jani dengan anak Aidit, anak Karto Soewirjo itu berkumpul.

Antara mereka itu memang terjadi rekonsiliasi. Tapi itu pribadi, inisiatif-inisiatif perorangan, inisiatif-inisiatif kelompok, dan tidak bisa menjadi sebagai prilaku masyarakat. Kalau rekonsiliasi dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana yang kita ingini - kerukunan nasional, kerujukan nasional itu adalah masalah kekuasaan. Bukan inisiatif pribadi, bukan kemauan baik saja.

Oleh karena itu kalau bicara mengenai kekuasaan sebenarnya ada dua aspek kekuasaan. Kekuasaan yang di saat ini dipegang pemerintah, tetapi ada kekuasaan yang di tangan rakyat, kedaulatan rakyat.

Dengan ini saya ingin katakan, bahwa juga rakyat artinya juga masyarakat punya andil untuk menyelenggarakan atau untuk mendesakkan perlunya rekonsiliasi. Itu tidak bisa lain dengan berorganisasi. Ya, kembali kepada kata-kata Bung Karno harus ada massa aksi, harus diselenggarakan bersama. Rakyat menuntut, menyusun barisan, berjuang untuk menegakkan rekonsiliasi itu.

Kita boleh harapkan, kita boleh bikin resolusi kepada pemerintah, tapi apakah mereka laksanakan atau tidak, tergantung dari watak kekuasaan itu sendiri, komposisi kekuasaan itu sendiri, terdiri dari apa, akan mampu atau tidak. Tapi yang penting kekuatan rakyat ini. Jika kekuatan rakyat ini bisa kita mobilisasi, saya kira pemerintah harus menyesuaikan diri.

Nah, ini saya bicara sedikit mengenai bidang saya sekarang - pers, sebagai bekas wartawan maupun sebagai penerbit. Sebenarnya semua, pers luar negeri maupun pemerintahan-pemerintahan di dunia menyatakan, di Indonesia sudah terdapat, sudah berlangsung vrijheid van pers, kebebasan pers. Luar biasa kebebasan pers itu. Betul. Tapi yang ingin saya katakan itu bukan hadiah pemerintah.

Bukan pemerintah yang membikin, yang memberikan kepada rakyat kebebasan itu. Rakyat yang merebutnya. Rakyat yang menegakkan kebebasan pers itu. Pemerintah terpaksa menyesuaikan diri, bukan pemerintah yang memberikan kepada kita kebebasan pers itu. Itu yang ingin saya sampaikan. Karena ini sangat penting.

Sebab, pada akhirnya ini pelajaran bagi semua kita, bahwa kebebasan pada akhirnya tergantung dipundak kita sendiri. Kebebasan adalah sesuatu yang harus kita tegakkan sendiri, tidak bisa itu kita harapkan itu sebagai hadiah dari penguasa, yang bagaimana pun bentuknya siapapun presidennya. Kecuali memang kita suatu waktu, kita mendapatkan pemerintah yang wataknya memang demokratis. Selama itu tidak ada, ya harus kita sendiri _ masyarakat, ormas-ormas yang harus memperjuangkannya. Kebebasan itu memang harus diperjuangkan.

Secara sederhana, kecil-kecilan Hasta Mitra memberikan contoh. Ketika Soeharto jatuh, pers luar negeri datang kepada saya: Joesoef, apakah Hasta Mitra akan menerbitkan kembali buku-buku Pram? Saya langsung menjawab, bahwa pertanyaan itu salah.Itu berangkat dari asumsi Soeharto jatuh, maka sekarang ada kebebasan, saya bisa menerbitkan kembali buku-buku Pram. Itu salah, tidak benar. Coba diperhatikan, semua buku-buku Pramudya Ananta Tur, yang terpenting ditulis di pulau Buru diterbitkan pada saat Soeharto sedang sekuasa-kuasanya. Kita terbitkan dengan tidak menunggu Soeharto jatuh. Kita tidak mengemis mendapatkan kelonggaran untuk penerbitan.

Ini pelajaran bagi kita semua, bahwa demokrasi, kebebasan yang kita ingini tidak bisa dipersembahkan dari atas. Kita harus merebutnya sendiri, menegakkannya sendiri. (ASA)

Catatan:
Wawancara Rakyat Merdeka dengan Joesoef Isak ini juga dimuat dalam buku berjudul "Kebebasan Pers Harus Diperjuangkan" Sehari Bersama Joesoef Isak di Belanda, Penerbit: Stichting Indonesia Media, Amsterdam, 2005; hal. 67 - 74 .

0 Comments:

<< Home