Sunday, October 30, 2005

Belanda Dulu Bilang, Indonesia Merdeka 27-12-1949

Rakyat Merdeka, Kamis, 18 Agustus 2005

Takut Dibilang Langgar HAM Setelah Proklamasi RI
Belanda Dulu Bilang, Indonesia Merdeka 27-12-1949

Catatan Wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya

Koran Belanda NRC Handelsblad, edisi Rabu, 27 Juli lalu memberi ulasan sekitar rencana kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda, Dr Bernard Rudolf (Ben) Bot ke Indonesia. Di antara isi ulasan itu misalnya berbunyi: "Een gevoelig bezoek, want wat zegt dat over de politionele acties?" ("Suatu kunjungan yang peka, sebab bagaimana tentang aksi-aksi polisionil?)". Sedangkan koran de Volkskrant edisi yang sama tentang rencana kunjungan Menlu Ben Bot tersebut mensinyalir: "Bot menekankan bahwa kunjungannya tidak berarti memvonis aksi-aksi polisionil, yang dilakukan militer Belanda waktu itu ('47-'49) untuk mempertahankan Hindia-Belanda sebagai negeri jajahannya". "Met bezoek Bot 'aanvaardt' Nederland onafhankelijkheid Indonesie vanaf 1945". Atau "Dengan kunjungan Bot, Belanda 'menerima' kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945", demikian sub judul ulasan Redaksi "NRC Handelsblad".

Sementara menurut Ranesi/Radio Nederland Seksi Indonesia/ edisi Kamis (28/7), Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Bot akan menjadi pejabat tinggi Belanda pertama yang menghadiri perayaan 60 tahun proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus mendatang. Selama ini, Belanda tidak mengakui tanggal itu sebagai hari kemerdekaan RI. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada tanggal 27 Desember 1949 dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. "Jadi apakah kehadiran Menlu Bot dapat dikatakan sebagai pengakuan atas 17 Agustus?", tanya Ranesi (28/7).

WAKTU sudah berjalan sekitar 60 tahun, sejak Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam konteks ini, persoalan yang selalu mencuat adalah, sampai sekarang pemerintah Belanda tidak pernah secara resmi mengakui hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut. Mengapa?

Hampir bisa dipastikan, sebab utamanya adalah ketidakmauan, atau mungkin juga ketakutan Belanda untuk mempertanggungjawabkan aksi-aksi intervensinya, yakni apa yang mereka sebut aksi polisionil I (1947) dan aksi polisionil II (1948) terhadap Republik Indonesia dengan segala eksesnya, baik dari segi moral maupun material. Dus, dalam kaitan ini terutama soal yang menyangkut pertanggungjawaban atas kejahatankemanusiaan atau pelanggaran HAM berat dan juga peranan yang (barangkali) sangat penting adalah soal duit jadi bahan pertimbangan bagi Belanda untuk tidak (belum?) mengakui Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan tidak kurang pentingnya, para veteran KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) menentang habis-habisan hal itu.

Memang, siapapun paham. Bahwa memberikan pengakuan secara resmi Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 bagi Belanda itu berarti mengakui telah melakukan intervensi bersenjata terhadap Republik Indonesia. Tidak kebetulan kiranya, jika Belanda menyebut aksi-aksi intervensi yang dilakukannya itu sebagai aksi-polisionil I dan II - suatu aksi kekerasan senjata untuk menumpas apa yang mereka namakan "pemberontakan penduduk" di wilayah kekuasaannya. Namun, apakah usaha Belanda dengan berbagai manuver politiknya untuk menghindari pertanggungjawaban atas intervensi bersenjata yang dilakukannya terhadap Republik Indonesia akan terus dilanjutkan? Sampai kapan?

Tampaknya, usaha-usaha Belanda untuk memutihkan intervensi hitamnya semakin sulit untuk terus dipertahankan. "Selama ini rakyat dan para pemimpin Republik Indonesia tidak pernah memperhatikan atau menyadari, bahwa tidak satu kali pun ada Duta Besar Belanda yang pernah menghadiri Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang setiap tahun dilakukan tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka dan dihadiri oleh para Diplomat luar negeri", ungkap Ketua Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung, saat bertandang ke Rakyat Merdeka pertengahan Maret 2005 lalu. Lepas dari benar atau tidaknya apa yang dikatakan Batara Hutagalung itu, yang jelas memang pemerintah Belanda tidak (atau mungkin juga: belum?) mengakui tanggal 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Belanda hanya mengakui apa yang disebut hari penyerahan kedaulatan RI berdasarkan Perjanjian KMB pada tanggal 27 Desember 1949.Kelihatannya, suara tuntutan agar Belanda minta maaf atas agresi militernya (antara tahun 1947 - 1949) terhadap RI dengan apa yang disebut dengan aksi-polisionil mereka terhadap Indonesia tahap demi tahap semakin keras berdengung. Dalam konteks ini, misalnya, terutama Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dengan konsisten, teguh dan tekun memelopori berbagai kegiatan dengan ujungtombaknya menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda untuk meminta maaf atas penjajahan dan berbagai pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan terhadap bangsa Indonesia, terutama yang dilakukan setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945; dan dengan resmi mengakui Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kiranya dicatat, KNPBMI didirikan tanggal 8 Maret 2002 dan diketuai Batara R Hutagalung. Dia juga menjadi Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

Sebagai penutup catatan ini, penulis ingin melontarkan sebuah petisi tertanggal 20 Mei 2005 dari KUKB yang ditandatangani Batara R Hutagalung (Ketua) dan Teuku H Agam Saifudin (Sekretaris). Petisi KUKB tersebut ditujukan kepada Perdana Menteri Kerajaan Belanda Dr Jan Peter Balkenende, Den Haag, Nederland, yang isi pokoknya sebagai berikut:

Seluruh dunia mendengar permintaan maaf yang disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi pada 2 Mei 2005 dalam rangka kunjungannya ke Belanda. Di lain pihak, sejarah juga mencatat, bahwa antara tahun 1946-1949, setelah bangsa Indonesia menyatakankemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tentara Belanda melancarkan agresi militer dan melakukan berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, seperti antara lain perkosaan, penyiksaan dan bahkan pembantaian ribuan rakyat di Sulawesi Selatan bulan Desember 1946 - Februari 1947 dan pembunuhan sekitar 500 penduduk di Rawagede pada bulan Desember 1947.Pemerintah Belanda belum meminta maaf atas berbagai pelanggaran HAM berat tersebut, demikian juga atas penjajahan, perbudakan, berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, yang telah dilakukan selama ratusan tahun di Bumi Nusantara.

Selain itu, yang sangat menyinggung perasaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah fakta, bahwa hingga detik ini Pemerintah Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, melainkan 27 Desember 1949, yaitu pengakuan atas Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) telah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian saat ini Pemerintah Belanda mempunyai hubungan diplomatik dengan Pemerintah Republik Indonesia, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945.

Apabila dua negara menjalin hubungan diplomatik, sudah sewajarnya masing-masing negaramenghormati dan menghargai kedaulatan negara lain yang menjadi mitra diplomatiknya dan tidak mendikte secara sepihak, kapan hari nasional atau hari kemerdekaan negara mitra yang bersangkutan.Sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Belanda selama ini tidaklah mencerminkan sikap bersahabat dan saling menghargai di antara negara-negara merdeka dan saling menjalin hubungan diplomatik, dan bahkan merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia serta merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda menuntut kepada Pemerintah Belanda untuk; 1. Mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945; 2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan.

***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home