Monday, October 25, 2010

Ekonomi Kerakyatan Itu Sangat Simpel


WAWANCARA (4)

Ekonomi Kerakyatan Itu Sangat Simpel

Senin, 25 Oktober 2010 , 20:09:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya


RMOL. Cornelis Lay, Gurubesar Universitas Gadjah Mada mengingatkan kita tentang bahaya neoliberalisme. Sebuah ideologi yang mengedepankan ekonomi pasar yang cenderung tidak berpihak pada rakyat.

Sebaliknya, ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan sebagai solusi permasalahan bangsa.

Lalu bagaimana Cornelis Lay berbicara mengenai teori ini. Inilah petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay di Leiden, Negeri Belanda.

Bisa anda ungkapkan tentang hakekat ekonomi kerakyatan?

Menurut saya, ekonomi kerakyatan itu sangat simpel, tidak terlalu rumit. Karena memang sudah dikonstruksikan di dalam Konstitusi (1945) yang lama. Pertama, seluruh kekayaan alam, bumi, dan semua yang terkandung di dalamnya itu harus berada di tangan negara. Dan semua itu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manifestasinya itu di dalam bentuk hadirnya perusahaan-perusahaan publik, yang mengontrol sumberdaya-sumberdaya strategis.

Kita memang trauma dengan permasalahan korupsi di perusahaan-perusahaan negara (BUMN - Badan Usaha Milik Negara) itu. Namun, menurut saya, korupsi itu yang harus dihilangkan, bukan BUMN nya yang harus dihilangkan. Itu lah problema Indonesia. Karena efesiensi, efektivitas dan tidak korup itu sebenarnya soal manejemen, bukan soal kepemilikan.

Dengan cara seperti itu fungsi-fungsi sosial dari berbagai institusi itu berjalan dengan baik. Tapi sekaligus Konstitusi kita yang lama mengatakan, bahwa usaha-usaha ekonomi itu disusun dengan keseimbangan, antara usaha-usaha yang sifatnya berbasis kolegialitas masyarakat, yang kita sebut koperasi, dengan usaha-usaha yang sifatnya individual yang kita sebut perusahaan swasta dan juga BUMN itu. Jadi ada peran, di mana negara memegang peran yang besar, ada peran koperasi dan peran perusahaan orang perorang. Problema kita saat sekarang ini adalah peran negara (BUMN) dan peran koperasi itu kita bunuh. Kita melepaskan semuanya itu kepada privat, kepada individual.

Kedua, ekonomi kerakyatan itu juga berkaitan dengan tata cara kita mendistribusikan resource (sumber daya) nasional. Kalau kita menganggap, bahwa kekuatan ekonomi Indonesia itu terletak pada sektor pertanian, karena itu adalah sektor yang paling banyak melibatkan tenaga produktif rakyat Indonesia dan di sanalah masa depan dari masyarakat justru ada. Maka distribusi sumber daya nasional kita harusnya menggambarkan keyakinan itu. Uang itu harusnya lebih banyak dikasihkan ke situ, ke sektor pertanian.

Kenyataannya sekarang ini sebaliknya. Pertanian kita mengalami deagrarisasi , seluruh infrastrukturnya hancur berantakan tidak ada yang memperhatikan, nggak ada insentif apapun membuat orang masih senang atau berkeinginan menjadi petani. Sekarang ini sebagian besar petani kita usianya 50-an ke atas. Akhirnya sektor pertanian ini mengalami kehancuran secara total. Dan justru yang kita kembangkan adalah sektor-sektor yang samasekali tidak menghasilkan apa-apa kecuali janji, jasa - pasar obligasi, pasar uang. Itu semua, orang berspekulasi di situ. Gambaran dari kerakyatan itu ada pada policy (kebijakan) yang memihak pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat, misalnya pertanian, perikanan, sektor-sektor informal itu adalah sektor atau aktivitas-aktivitas ekonomi pokok yang mestinya ditopang secara habis-habisan oleh keuangan negara. Dan itu yang tidak terjadi.

Kita lebih suka membantu bank yang bangkrut sampai triliunan rupiah, ketimbang, misalnya saja, membantu petani yang kena pajak. Itu penggambaran pada level policy (kebijakan). Tetapi ekonomi kerakyatan juga sekaligus menggambarkan bukan saja pola kita mendistribusikan sumber nasional , tetapi pola kita mengkonsumsi. Kalau kita percaya, bahwa tumpuan ekonomi kita itu ada di dalam, yang paling gampang sajalah, yakni pertanian tadi. Nah, kan mestinya, tata cara kita merancang pola konsumsi kita juga sama. Lha kita yang kita dorong adalah mie yang gandumnya didatangkan dari Amerika. Itu sudah aneh. Jadi pola konsumsi nasional juga harus dipakai untuk mendorong pertanian kita.

Kita lihat orang Jepang saja gampang, ke mana dia pergi keluar negeri yang tidak membeli produk buatan Jepang, restoran Jepang, kamera Jepang, semuanya serba Jepang. Kita pergi ke Korea Selatan, 99 persen kendaraannya pasti produk Korea Selatan. Demikian juga ke China, penduduknya membeli produksi dalam negerinya sendiri.

Nah, kita ini terbalik. Jadi kira-kira itu penggambaran-penggambaran. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, harus ada sistem pengorganisasian produksi ekonomi yang jelas, dengan memberikan kepercayaan pada negara untuk terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Tetapi juga ada kesempatan diberikan kepada kolektivitas masyarakat dalam bentuk koperasi dan sebagainya. Disamping sudah tentu, hak secara individual juga diberikan, distribusi keuangan negara, prioritas konsumsi kita, skala prioritas pembangunan kita itu mestinya jalan semua. [arp]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home