Monday, September 20, 2010

Ketika Laut Utara Menggoyang KRI Dewaruci



JOURNALIST’S DIARY

Ketika Laut Utara Menggoyang KRI Dewaruci

Sabtu, 28 Agustus 2010 , 17:17:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Sejak pembukaan SAIL 2010 (Kamis, 19/8) sampai dengan hari Minggu (22/8) cuaca kota Amsterdam sangat cerah. Dan antara lain itulah sebabnya jumlah pengunjung SAIL 2010 Amsterdam pada hari pertama atau pembukaan mencapai sekitar 300 ribu orang.

Hanya pada hari Minggu (22/8) pada sore hari hujan mulai turun, meskipun tak deras. Dan begitu juga pada Senin (23/8) pagi ketika Rakyat Merdeka Online berangkat naik bus dari kota Zaandam menuju Ijhaven, Amsterdam, hujan turun boleh dibilang cukup deras. Rakyat Merdeka Online bersama dua orang wartawan lainnya (Gatra/TVOne dan Kompas) diperkenankan Komandan KRI Dewaruci Letkol (P) Suharto ikut berlayar meninggalkan Amsterdam menuju Bremerhaven, Jerman.

Tampak Gubernur Akademi Angkatan Laut Laksda Hari Bowo bersama isteri, dan Dubes Junus Effendi Habibie dengan sejumlah stafnya menyempatkan diri melambaikan tangan mengantarkan keberangkatan KRI Dewaruci untuk melanjutkan muhibah menuju Jerman.

Baru beberapa jam berlayar, Komandan Dewaruci memutuskan menyandarkan kapalnya di dermaga IJmuiden, karena menurut perhitungannya angin di Laut Utara pada saat itu bertiup sangat kencang. Diputuskan untuk bersandar di dermaga tersebut selama dua jam, dengan harapan angin bertiup akan mereda. Selama dua jam bersandar di darmaga IJmuiden tersebut mahal juga bayarannya, yakni 125 Euro. Jumlah biaya sandaran itupun sudah dengan potongan, karena Dewaruci termasuk peserta SAIL 2010 Amsterdam.

Setelah dua jam bersandar, Dewaruci mulai bergerak meninggalkan IJmuiden melanjutkan pelayarannya. Dan baru beberapa jam berlayar di Laut Utara pada Senin (23/8) sore sampai malam harinya, angin bertiup bukanlah mereda, malah bertambah kencang, hingga menyebabkan ombak naik. Namun Dewaruci tetap berlayar, jalan mundur bukan opsi, karena dermaga IJmuiden pun sudah jauh di belakang. Sampai jauh malam angin berhembus tak henti-hentinya.

Malam gelap gulita. Kapal tak mungkin berhenti. Harus terus berlayar untuk mencapai tempat tujuan. Dengan demikian, Dewaruci tak pernah berhenti diombang-ambing ombak yang mencapai 5-6 meter tingginya dan mengalirkan air laut melalui haluan dan cocor, serta juga lewat jendela-jendela kapal.

“Kegiatan ritual mengirim "sesajen" pun kembali terjadi sebagaimana di Laut Mediterania pertengahan bulan Juni 2010 yang lalu. Berbagai makanan yang masih berdiam diperut, terpaksa dikeluarkan di sembarang tempat,” ujar Komandan Dewaruci kepada Rakyat Merdeka Online.

Di geladak, di lorong dan di kamar mandi, sesajen alias muntah tidak bisa dikendalikan. Dan kali ini, bukan saja Rakyat Merdeka Online, wartawati Gatra/TVOne, wartawan Kompas, pejabat KBRI Brussel yang mengikuti pelayaran ini dari Amsterdam, tetapi juga beberapa prajurit mengalami sea sick.

Namun bukan saja kejadian sea sick, yang menimpa awak kapal dalam pelayaran di Laut Utara ini. Dewaruci benar-benar digoyang ombak, bukan main-main, setinggi 5 hingga 6 meter itu. Geladak kapal menjadi licin, karena air laut mengalir membasahinya. Ditambah hujan dan angin yang semakin kencang, air laut yang digulung ombak pun mulai masuk ke dalam kapal lewat beberapa jendela, yang kebetulan belum tertutup rapat. Hal ini menyebabkan lantai beberapa kamar tergenang air.

Dan karena ada sumbatan di tempat-tempat aliran air di kapal, maka beberapa bagian lorong kapal pun tergenang air; ada yang hingga sebetis kaki tingginya. Semua tenaga awak kapal dikerahkan untuk mengatasi, agar air surut di beberapa lorong kapal itu. Dalam keadaan darurat, semua personil kapal tetap tenang, tidak panik dan mampu mengendalikan situasi yang ada.

Bukan itu saja. Ada jemuran baju yang terjatuh karena goyangan kapal dan ditakutkan jemuran itu bisa menutupi saluran air di koridor, maka diumumkan lah peran kebocoran. Yang berarti sampah atau bekas-bekas makanan yang ada di kantung-kantung plastik khusus dan berbagai benda yang terendam di lorong terpaksa dibuang ke laut.

Dalam stuasi hiruk-pikuk awak kapal mengatasi ketidaknyamanan itu, rupanya ada beberapa sepatu yang ikut terbuang. Demikianlah, sepasang sepatu milik Sekretaris III Pensosbud KBRI Brussel, Punjul Setya Nugraha, pun ikut melayang ke laut menjadi tumbal. Kasur di kamar di mana wartawati Gatra/ TVOne Miranti menginap basah kena air laut, sehingga tidak bisa dipakai untuk tidur. Wartawati pun diungsikan, dan tidur di ruang makan/tamu. Ia sendiri tergeletak beberapa waktu tak berdaya menahan rasa mual. Dan terpaksa dipapah menuju kamar mandi membuang sesajen.

Kecepatan angin mencapai lebih dari 35 knot dan kemiringan kapal mencapai 25-30 derajat; barometer terendah menunjukkan angka 998 mbar dari ploting. Kencangnya angin atau badai di Laut Utara ini memang betul-betul dahsyat. Salah satu engsel dari pintu untuk masuk ke anjungan pun bisa dibuatnya patah, sehingga pintunya juga perlu dilepas. Hal itu menyebabkan tangga yang untuk ke anjungan menjadi basah dan licin kena udara lembab, yang menyebabkan tangga menuju anjungan menjadi licin. Karena tangga licin tersebut wartawan Kompas, Wahyu Haryo P.Sasongko lah salah satu korbannya. Ketika menuruni tangga dimaksud dia terpeleset dan terguling ke bawah.

Beruntunglah alat kamera yang dibawanya utuh dan kepala, badan serta kaki dan tangannya tidak terluka. Dan puji Tuhan, katanya, tidak ada anggota badannya yang keseleo ataupun patah. "Yang penting, beruntung kamera saya utuh, tidak rusak," rintihnya menahan rasa sakit. Tapi rasa sakit di bagian badan dirasakan juga olehnya akibat jatuh itu. Selain itu, beberapa kali dia juga mengadakan ritual mengirim sesajen.

“Untuk makanan ikan Laut Utara,” gurau salah seorang crew Dewaruci.

Barulah, sekitar pukul 21.10 waktu setempat, setelah Dewaruci masuk ke alur (kanal) Hohewegrinne, angin mulai mereda. Kemudian sesudah kapal masuk ke alur Fedderwarder Fahrwasser Dewaruci berlayar dengan normal tidak diombang-ambing ombak yang besar lagi. Di alur, kecepatan kapal tidak lebih dari 4 Knot. Dan sekitar pukul 01.00 Dewaruci berhasil bersandar di darmaga Bremerhaven, Jerman.

Kejadian-kejadian di atas hanyalah sekelumit tambahan pengetahuan kita, bahwa betapa sulitnya menjadi pelaut-prajurit Angkatan Laut RI. Mental dan fisik mereka harus benar-benar kuat, selain tentu saja berbagai ilmu mengenai kelautan dan masalah teknik kapal harus mereka kuasai. Juga mereka yang bekerja di dapur tidak bisa dianggap enteng. Sungguh besar peranan mereka, agar makanan dan minuman para prajurit AL terjaga baik.

Dari pengalaman sekitar 38 jam berlayar dengan Dewaruci kali ini, Rakyat Merdeka Online berpendapat, perlu ada bagian-bagian tertentu KRI Dewaruci diperbaiki secara signifikan, supaya bisa melanjutkan misinya sebagai kapal pelatih dan agar bisa kembali melakukan muhibah ke berbagai negara lagi. [guh]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home