Sunday, September 12, 2010

Mengenang Ibadah Puasa Bersama KRI Dewaruci


Mengenang Ibadah Puasa Bersama KRI Dewaruci

Sabtu, 11 September 2010 , 17:51:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Dalam kesempatan berlayar dengan KRI Dewaruci, amat menyenangkan bisa berbincang-bincang dengan Letkol (P) Suharto, SH., Komandan KRI Dewaruci mengenai suasana Ramadhan dan pengalaman puasa dalam pelayaran dengan kapal yang bersejarah dan antik ini.

“Pengalaman puasa di Dewaruci ini saya alami untuk yang kedua kalinya berturut-turut. Dan kebetulan tarawih pertama dalam bulan puasa juga berada di laut sewaktu hari pertama berangkat,” ujar Letkol (P) Suharto, membuka bincang-bincangnya dengan Rakyat Merdeka Online, sewaktu sahur pada Kamis (26/8) sebelum waktu Imsak.

Yang paling menarik pada tahun 2009, lanjut Suharto, mengenai panjangnya waktu dalam menjalankan ibadah puasa tidaklah berat dirasakan, karena kita berada di lautan wilayah Indonesia, di mana waktu puasa itu rata-rata 12 jam. Kalau saat ini dalam pelayaran di wilayah Eropa kita harus puasa sampai 17 jam dan bahkan ada yang sampai 20 jam pada hari pertama puasa karena mereka berada di lintang yang tinggi.Namun ada juga yang menguntungkan, karena pada saat kita masih berada di Inggris hasil perhitungan kita secara astronomi, kata Suharto, hari pertama puasa mendapat mundur satu hari. Kita berada di posisi yang belum wajib puasa pada tanggal 11 Agustus, tetapi karena kita berada di lintang 58 di wilayah Inggris, maka puasa dimulai pada tanggal 12 Agustus 2010.

Di atas Dewaruci yang sedang berlayar mengarungi badai di Laut Utara dengan suhu udara yang sangat dingin di wilayah Belanda menuju Bremerhaven, Jerman ini menjalankan ibadah puasa dirasakan sangat berat. Namun dalam suasana yang berat tersebut, beberapa awak kapal sanggup bertahan, hingga puasanya tidak batal.Selain melakukan sembahyang wajib lima waktu setiap hari, awak kapal yang beragama Islam di KRI Dewaruci ini juga menjalankan sembahyang berjamaah, misalnya sembahyang Jumat. Dan dalam bulan puasa ini juga dilakukan sembahyang taraweh.

“Kita juga melaksanakan taraweh. Kita memulai dengan takbil, kemudian shalat maghrib. Selanjutnya setelah memasuki waktu Isya, maka kita melakukan sembahyang Isya dan dilanjutkan dengan taraweh,” ujar Komandan Dewaruci.

Tetapi pada hari Senin (23/8) dan Selasa (24/8) dalam situasi yang boleh dibilang ekstrim dan gawat di mana angin bertiup sangat kencang hingga menyebabkan gelombang air laut atau ombak mencapai ketinggian antara 5 sampai 6 meter yang menggoyang Dewaruci dengan hebatnya, sangat menyulitkan untuk melakukan sembahyang berjamaah ataupun taraweh.

Di hari-hari yang relatif tenang seperti pada hari Kamis (26/8) dimana Dawaruci bersandar di darmaga Bremerhaven ini kegiatan sembahyang berjamaah pun bisa dilaksanakan dengan baik. Sewaktu Dewaruci bersandar di darmaga Bremerhaven, karena kegiatan yang berkaitan dengan Sail Bremerhaven 2010, kegiatan sembahyang berjamaah dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil di ruang anak buah kapal. Atau sendiri-sendiri melakukan sembahyang maghrib sesudah membatalkan puasa. Dan melakukan sembahyang Isya setelah berbuka puasa.

Tentang rasa rindu, terutama terhadap keluarga di tanah air bisa dipastikan dirasakan oleh semua awak kapal Dewaruci tanpa kecuali. Dalam abad modern sekarang ini, rasa rindu bisa dilepaskan para awak kapal dengan keluarga masing-masing, antara lain dengan bincang-bincang lewat peralatan canggih hubungan telepon seluler atau HP.

Untuk melepas kerinduan dengan Isteri dan anak-anaknya yang masih berusia empat dan lima tahun, Kapten Laut (P) Waluyo, Kepala Departemen Operasi KRI Dewaruci berbincang-bincang dengan mereka lewat HP. Jika tidak salah, isterinya yang dosen Unair saat ini sedang studi di salah satu universitas di Australia, sedang anak-anaknya berada di Lamongan diurus oleh embahnya dari pihak isterinya.

Ada juga yang melakukan pembicaraan atau chatting dengan Isteri dan anak atau anak-anak dengan menggunakan saluran komputer.Ditanya soal kerinduan terhadap keluarga di tanah air, Komandan Dewaruci mengatakan, tentu saja ada rasa sedih tidak bertemu dengan keluarga selama berlayar, apalagi keadaan ini berlangsung dua tahun berturut-turut melakukan tugas berlayar dengan Dewaruci. “Itu terasa berat bagi orang-orang seperti saya, yang hampir enam tahun saya bekerja di darat, yang ketika itu bisa liburan bersama-sama keluarga. Tapi dua tahun belakangan ini berturut-turut berlayar dengan Dewaruci.

Berpuasa dan di hari Lebaran jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat memang suatu hal saya rasakan agak berat. Tetapi saya yakin, bagi keluarga di tanah air, mereka mengerti mengenai tugas suami mereka, bapak-bapak mereka masing-masing yang sedang menjalankan tugas di Dewaruci,” ujar Suharto.Mengenai Hari Lebaran, jauh-jauh hari sudah diperhitungkan oleh Komandan KRI Dewaruci. “Lebaran 1 Syawal 1431 H ini saya usahakan di darat. Kita akan ber-Lebaran di tengah-tengah Festival di wilayah sekitar dermaga Cagliari di Italia,” kata Suharto mengakhiri bincang-bincangnya dengan Rakyat Merdeka Online.

*****

BAGI Sersan Mayor Kadet (P) Marjudin Saputra ( 22 th) berlayar menjalankan tugas latihan dan belajar di Kapal Latih Dewaruci adalah untuk pertama kalinya. Marjudin Saputra yang menamatkan sekolah dasar di Kota Subang dan kemudian menyelesaikan SMP nya di pesantren di Tangerang. Setelah itu tamat SMA Negeri 41 di Jakarta.

Selama lebih lima bulan berjalan dalam pelayaran ini sungguh banyak tantangannya. Apalagi pada bulan puasa atau Ramadhan ini Marjudin juga menjalankan ibadah puasa.Menurut Marjudin, suasana pada bulan Ramadhan pada hakekatnya tidak jauh berbeda untuk di kapal dan di darat. Bedanya, katanya, mungkin soal tantangannya. Di laut, kalau misalkan ada ombak tinggi mencapai 5-6 meter yang disebabkan angin kencang atau badai, maka para prajurit harus bekerja lebih keras, baik sesuai dengan tugas mereka masing-masing, maupun saling bekerjasama untuk menanggulangi kemungkinan-kemungkinan kerusakan yang tidak diinginkan di kapal.

Sekaitan ini, memang tepat apa yang dikemukakan Komandan Dewaruci Letkol (P) Suharto, SH. (43 tahun), kepada Rakyat Merdeka Online, “Di lautan itu kita mengalami suatu kepastian di dalam ketidakpastian.” Kebersamaan dalam setiap kegiatan, menurutnya, mempererat ikatan emosi antar personel Dewaruci apalagi di lautan dan meningkatkan disiplin, produktivitas dan kualitas kerja. Dimulai dari hal yang terkecil, mulai dari diri sendiri dan bersama-sama.

Dan memang, setelah mengalami badai dan terjangan ombak yang dahsyat, Dewaruci bersandar di darmaga Bremerhaven di tengah malam buta, maka di pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 koridor, lorong, geladak kapal sudah kelihatan bersih, rapi dan kembali mengkilat. Seolah kapal tidak mengalami terjangan badai, ombak yang cukup dahsyat tersebut beberapa jam sebelumnya.Engsel pintu masuk ke anjungan yang patah itu segera diganti dan pintunya pun kembali dipasang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Bendera tengkorak yang tadinya kelihatan hampir separuh robek-robek sudah diganti yang baru dan berkibar kembali ditiup angin pantai Bremerhaven yang juga cukup keras.

Sehubungan dengan ini tampak nyata, disiplin dan semangat kerja para anak buah kapal (81 orang) dan kadet (68 orang) sungguh luar biasa.Patut kiranya juga dicatat. Hujan dan angin yang cukup kencang bertiup di dermaga Bremerhaven di pagi hari (Kamis, 26/8) juga berhasil merobohkan sebuah kios minuman, di pinggir pantai di dekat Dewaruci bersandar. Dan apalagi di lautan, terutama hujan dan badai, serta ombak setinggi 5-6 meter, yang terjadi di Laut Utara pada tanggal 23-24 Agustus 2010, bukan lah hal main-main.

“Kami sangat mensyukuri berpuasa pada bulan Ramdhan di kapal ini. Untuk kegiatan-kegiatan yang kami jalankan di Dewaruci ini, kami berusaha tidak jauh untuk melaksanakan segala perintah Allah. Mengerjakan kewajiban shalat lima waktu, sembahyang Jumat. Melakukan tadarus Alquran,” ujar pemuda kelahiran Subang, yang berdomisili di rumah bersama kakek dan neneknya di Jakarta kepada Rakyat Merdeka Online, ketika bincang-bincang di salah satu ruang istirahat di kapal Dewaruci, Rabu (25/8) malam.

Dalam bulan Ramadhan ini, lanjut Marjudin, kami melakukan taraweh. Setelah taraweh kami mengadakan diskusi mengenai masalah agama, tentang apakah yang harus kami lakukan ke depannya nanti sebagai calon-calon (atau yang kemungkinan bisa menjadi) pemimpin juga di bidang keagamaan.

Menjawab pertanyaan apakah puasanya tidak pernah batal selama pelayaran dengan Dewaruci, Marjudin Saputra mengatakan terpaksa batal sehari pada hari Rabu (25/8) pagi. Jadi bukan ketika berlayar di kapal, tetapi justru setelah kapal bersandar di dermaga Bremerhaven, Jerman. “Pagi itu entah kenapa kepala pusing, perut terasa sakit, dan terlambat sahur pula,” sesal Marjudin. Godaan dilaut berhubungan dangan puasa, menurut Marjudin, mungkin lamanya berpuasa, yang sampai 17-20 jam.

Kedua, menghadapi ombak yang benar-benar menggoyang Dewaruci, misalnya yang terjadi di Laut Mediterania dan tiga hari yang baru lalu (23-24 Agustus) di Laut Utara.Dalam situasi dan keadaan jauh dari tanah air, dari orang tua keluarga dan kerabat lainnya, kata mantan anak pesantren di Tangerang ini, bersama rekan-rekan sesama kadet dan prajurit, kami merasakan hidup itu senasib dan sepenanggungan bisa mengenal satu sama lain lebih jauh dan lebih baik. Apabila ada yang sakit, kami memberikan bantuan, misalnya membantu mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang seharusnya diselesaikan rekan tersebut. Rasa solidaritas antara sesama prajurit/pelaut sungguh tinggi sekali.Dalam waktu istirahat, kata Marjudin, kami selalu berusaha saling bercerita mengenai kejadian-kejadian lucu-lucu, yang membesarkan hati, yang membuat kami bergembira.

“Alhamdulillah, dalam pelayaran ini kami selalu bergembira, tertawa. Karena tertawa itu sehat,” ujar Marjudi menutup bincang-bincangnya dengan Rakyat Merdeka Online.Waktu sahurKegiatan anak buah kapal (ABK) terutama yang bertugas di dapur sudah mulai sibuk sebelum pukul 03.00 pagi buta. Mereka menyiapkan makanan dan minuman untuk sahur bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa dan juga sekaligus menyiapkan makanan untuk sarapan bagi para non muslim dan atau pun mereka yang tidak puasa atau berhalangan melakukan ibadah puasa.

Toleransi antara para awak kapal, yang beragama Islam, mereka yang menjalankan ibadah puasa dan umat Kristen, Budha ataupun para penganut agama lainnya sungguh baik. Persoalan agama dan kepercayaan dari para awak kapal diserahkan kepada pribadi mereka masing-masing. Dan apalagi dalam ketentaraan, baik darat, laut dan udara terdapat garis tegas hierarkhi dan yang tidak kurang pentingnya masing-masing individu dalam hal ini pelaut memiliki dan diajarkan dan ditempa untuk memiliki disiplin dan rasa solidaritas yang tinggi, hormat menghormati di antara mereka.

Subuh

Sehabis sahur dan setelah waktu Imsak tiba, perwira rohani Mayor Laut (KH) Achmad Fauzan (38 tahun) berkenan bincang-bincang dengan Rakyat Merdeka Online di pagi hari (Jumat, 27/8). Baru saja kami akan memulai perbincangan, ternyata azan berkumandang memanggil kaum muslim untuk sembahyang subuh.Karena ruangnya sangat sempit, hanya beberapa orang saja yang bisa melakukan sembahyang subuh berjamaah. Sedang yang lainnya melakukan sembahyang subuh di kamar masing-masing.Barulah setelah selesai sembahyang subuh, di ruang ABK Achmad Fauzan memulai perbincangannya dengan Rakyat Merdeka Online.

Musyafir

Melakukan ibadah puasa pada tahun 2010 ini, dalam pelayaran dengan Dewaruci baru kali ini saya alami. Suatu pengalaman yang baru bagi saya,” ujar Achmad Fauzan mengawali pembicaraannya.

Dalam perjalanan berlayar yang iklimnya jauh berbeda dengan iklim Indonesia. Meskipun musim panas, misalnya di Jerman ini hawa udaranya saya rasakan cukup dingin. Di mana siang hari waktunya lebih panjang dari pada malam hari.

“Menurut perkiraan saya, ketika masih berada di Indonesia, berpuasa dalam iklim yang demikian itu akan terasa berat. Namun setelah saya benar-benar alami, suasana iklimnya atau cuacanya malah mendukung. Dalam pengertian, dalam hawa udara yang terasa tidak panas dan tidak terlalu dingin itu, menahan haus lebih ringan dibanding dengan di tanah air, yang hawa udaranya panas. Lebih-lebih panas terik di kota Surabaya di waktu bulan puasa cukup berat dirasakan untuk menahan rasa haus bagi mereka yang berpuasa,” tutur Achmad Fauzan.

Dalam pelayaran dengan Dewaruci , menurut perwira rohani ini, melaksanakan puasa disamakan sebagai seorang musyafir. Ada dua kemungkinan. Yang akan melaksanakan ibadah puasa selama 19 jam atau bahkan 20 jam dalam perjalanan jauh atau pelayaran ini dipersilakan. Tetapi apabila tidak sanggup menjalankan puasa selama pelayaran panjang ini, ya berlaku hukum bagi para musyafir. Namun samasekali tidak berarti dia itu bebas tidak puasa. Tetapi karena puasa itu adalah suatu kewajiban untuk dilaksanakan, maka bukan berarti gugur dari kewajiban atau boleh tidak dilakukan. Dia (sang musyafir) itu tetap mempunyai hutang, ya puasanya itu harus dibayar nanti sewaktu tiba di tanah air dan ketika tidak sedang berlayar.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home