Thursday, October 21, 2010

Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal


Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal

Kamis, 21 Oktober 2010 , 14:17:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Pada akhir bulan September yang lalu, Drs Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) berkesempatan bincang-bincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berbicara panjang lebar mengenai gagasan neoliberal, tentang ide ekonomi kerakyatan.Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia.

Itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Sedangkan gagasan ekonomi kerakyatan, menurut Cornelis Lay, diilhami atau didorong oleh keresahan masyarakat terhadap dominasi ide pasar atau ide neoliberal yang sudah praktis menguasai seluruh kehidupan kita. Dan gagasan yang namanya ekonomi kerakyatan ini sebenarnya diturunkan dari gagasan-gagasan yang sudah lama dipikirkan dan sudah lama ditulis oleh Bung Karno.

Berikut ini petikan perbincangannya.

Sulit dibantah bahwa gagasan neoliberal memang sudah benar-benar mencengkram Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?

Itu kan merupakan kesimpulan yang praktis sudah disepakati oleh banyak orang. Pertama-tama, karena orang melihat pada produk-produk policy atau kebijakan, yang dihasilkan oleh baik parlemen maupun pemerintahan atau kabinet setelah Pemilu 1999 itu, memang lebih mempercayai pasar sebagai kekuatan untuk men-drive ekonomi, pasar sebagai kekuatan untuk mendistribusi sumberdaya-sumberdaya publik. Sementara pemerintah itu hanya melibatkan diri sebagai fasilitator yang cenderung pasif.

Dan fungsi negara sebagai fasilitator, fungsi negara sebagai institusi yang harusnya melindungi, memberdayakan dan sekaligus membela kepentingan-kepentingan sebagian besar kelompok masyarakatnya yang tertindas secara ekonomi itu memudar secara sangat luar biasa. Ide bahwa pasar itu adalah kekuatan utama sebagai alokator sumber daya yang paling baik dan paling adil itu adalah inti dari gagasan neoliberal.

Gagasan yang mengandaikan atau mengasumsikan institusi di luar pasar itu harus mundur, perannya harus terbatas. Dan itu digambarkan oleh permintaan untuk negara itu mundur dari banyak sektor, termasuk di dalamnya adalah negara tidak boleh mensubsidi, peran-perannya dibatasi. Nah ini yang menyebabkan orang berkesimpulan seperti itu.

Tetapi ini bukan sesuatu yang khas Indonesia dan kecenderungan neoliberal sebagai ideologi yang menuntun kebijakan-kebijakan itu berlangsung praktis di seluruh dunia. Sangat sedikit kita bisa melihat negara yang masih mampu bertahan dengan memberikan peran jauh lebih besar atau paling tidak sebanding antara negara dan pasar.

Apa hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh kekuatan neoliberal?

Ya, negatifnya sudah dibuktikan oleh pengalaman sejarah panjang, bahkan negara-negara Barat yang sekarang ini banyak juga mempromosikan gagasan neoliberal. Bahwa bekerjanya pasar itu pasti akan memarjinalkan sebagian terbesar dari masyarakatnya, melahirkan akumulasi ekonomi, kapital di tangan orang yang semakin terbatas, yang membuat memang kesenjangan antara orang-orang yang mampu dan orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar itu semakin melebar.

Dan ini kemudian itu yang paling ditakutkan banyak orang. Dan sebenarnya pengalaman-pengalaman dari negara-negara Eropa itu sudah menunjukkan kenapa mereka habis-habisan membangun sistem welfare state (negara kesejahteraan), justru karena itu merupakan koreksi terhadap kepercayaan yang berlebihan terhadap pasar yang melahirkan marjinalisasi sebagian besar kelompok masyarakat.

Di negara berkembang semacam Indonesia, dengan menjalankan neoliberal itu, produk-produk yang mereka hasilkan itu sulit bersaing dengan komoditi sejenis yang diproduksi negeri lain. Bukankah demikian?

Hal itu jelas merupakan persoalan tersendiri. Liberalisasi atau penerapan policy (kebijakan) neoliberal itu perkembangan sekarang ini termasuk di Indonesia itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar. Misalnya saja bidang pendidikan. Dulu pendidikan itu adalah sebuah sektor yang dianggap strategis dalam rangka pembangunan kharakter dan sekaligus juga membuat demokrasi dari bangsa. Karena itu dia (pendidikan) menjadi bidang yang tertutup. Sekarang ini pendidikan diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

Dan sekarang ini, ya perguruan tinggi dari negara mana pun boleh membuka perguruan tinggi di Indonesia atas nama liberalisasi, atas nama neoliberal, atas nama keunggulan pasar. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan. Akibatnya kita akan menyaksikan dan ini yang paling ditakutkan banyak orang dan kenapa orang cemas terhadap gagasan neoliberal ini nanti seluruh kekuatan produksi domestik kita hancur.

Rumah sakit kita boleh jadi akan bangkrut dan kita cuma punya rumah sakit asing. Boleh jadi perguruan tinggi kita, sekolah-sekolah kita akan bangkrut, atau berada di pinggiran nggak ada lagi orang yang mau masuk. Dan karena itu seluruh pendidikan kita, kita akan serahkan kepada asing, dan itu punya banyak implikasi. Implikasi di dalamnya adalah, antara lain, tempat bagi orang atau tempat bagi proses pendidikan warga bangsa, kharakter bangsa, kebudayaan bangsa dan seterusnya tidak relevan lagi. Karena bagi mereka kan bukan itu yang penting. Pendidikan itu kan perkembangan skill.

Contoh yang paling gamblang dalam hal ini?

Taruhlah kalau nanti rumahsakit-rumahsakit negara itu sudah hilang, karena memang tidak efisien, karena memang pelayanannya lebih buruk. Dan seluruhnya itu menjadi rumahsakit swasta. Dan swastanya itu swasta luar negeri. Pertanyaannya, kalau ada si Poniman, Poniran, Pariyem yang tidak punya uang, siapa yang tanggungjawab?

Contohnya sekarang jelas, rumahsakit kita itu sudah proses yang kemaren ribut-ribut itu di rumahsakit internasional itu. Itu sangat jelas. Itu gambarannya. Contoh yang gamblang lainnya lagi, lihat saja di Jakarta. Semua perguruan dari negara-negara lain itu sudah buka cabang. Jadi sudah seperti membuka franchise. Jadi membuka perguruan tinggi sudah sama seperti orang membuka Mc Donald. Ada cabang di Jalan Sudirman, nanti ada cabang di mana lagi. Ada cabang di mana-mana, itu sudah menjadi waralaba. Bukan lagi menjadi konsep awal, bahwa itu konstitusi kita mengatakan bahwa kewajiban negara itu mencerdaskan kehidupan berbangsa itu sudah hilang. Karena tidak ada itu urusannya perguruan tinggi dari luar negeri bicara soal itu. (Bersambung). [arp]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home