Sunday, August 31, 2008

Hassan Tiro Ogah Menemui Delegasi DPR Aceh


LAPORAN DARI BELANDA (2)

Hassan Tiro Ogah Menemui Delegasi DPR Aceh
Minggu, 31 Agustus 2008, 11:14:22 WIB

Laporan: A.Supardi Adiwidjaya

Den Haag, myRMnews. Di Aula KBRI Den Haag diadakan pertemuan terbatas masyarakat Aceh dan beberapa wakil organisasi nonprofit Belanda yang memberikan bantuan bagi korban bencana alam (tsunami) dengan delegasi DPRD Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam atau DPR Aceh (DPRA), Kamis (28/08).

Seusai pertemuan tersebut koresponden Rakyat Merdeka dan myRMnews di Belanda A.Supardi Adiwidjaya bincang-bincang dengan Sekretaris Pansus XI DPRA Yusrizal Ibrahim masalah sekitar Wali Nanggroe Aceh Darussalam.

Salah satu poin yang dibahas adalah Wali Nanggroe Aceh. Sejauh ini referensi yang digunakan adalah Yang Dipertuan Negeri di Malaysia di empat negeri yang tidak mempunyai Kesultanan, seperti Pinang, Malaka, Sabah dan Serawak.

“Di sana kan tidak ada Sultan. Jadi di sana setiap lima tahun sekali dipilih seorang untuk menduduki jabatan yang Dipertuan Negeri, karena di sana tidak ada Sultan. Jadi itu bisa dijadikan model,” ujar Yusrizal Ibrahim.

Menurut Yusrizal, Wali Nanggroe ini memang amanah UU 11/2006. Kita di DPRA ini sebenarnya sudah terlambat, seharusnya Wali Nangroe ini setahun atau dua tahun yang lalu sesudah pengesahan UU 11/2006 kita sudah buat ini. Sementara sekarang sudah berjalan tiga tahun.

“Jadi memang dalam perjanjian Helsinski itu ada ketentuan bahwa akan ada Wali Nanggroe di Aceh lengkap dengan segala perlengkapan dan gelar kebesarannya. Jadi ini kan sangat kabur,“ kata Yusrizal.

Terdengar kabar, delegasi DPR Aceh tidak bisa bertemu dengan Teuku Hassan di Tiro di Swedia. Bagaimana penjelasan Anda?
Jadi memang hal ini menjadi suatu penilaian tersendiri bagi Pansus XI DPRA. Kita kan sebagai perancang qanun ini mencari informasi dari berbagai pihak, baik dari perunding dari pihak RI maupun dari pihak GAM. Memang dikatakan ada kesepakatan bersama untuk membuat Wali Nanggroe.

Tapi kesepakatan tersebut sangat sederhana. Oleh karena itu kami ingin tahu lebih jelas, lebih jauh, karena informasi di dalam pertemuan ketiga di Helsinski itu disepakati secara lisan bahwa Wali Nanggroe Aceh pertama itu adalah Teuku Hassan di Tiro.

Jadi kita tidak keberatan mengenai kesepakatan tersebut. Dan kita pun berpendapat bahwa Wali Nanggroe pertama itu memang sebaiknya Teuku Hassan di Tiro. Oleh karena itu kita harus bertemu dengan beliau. Ternyata ketika kita datang ke Swedia tidak bisa bertemu dengan beliau. Katanya kita tidak melalui prosedur dan sebagainya.

Kami sudah menempuh segala cara, perlu prosedur apa lagi. Ini menurut kami. Tapi bagi kami wacana bahwa Wali Nanggroe yang pertama Hassan Tiro dan kami tidak bisa bertemu dengan beliau, maka wacana itu gugur.

Kalau beliau ada tamu dari jauh dan orang-orang dekatnya tidak mau bertemu, maka hal itu saya pikir beliau tidak layak jadi Wali Nanggroe. Dan kami mendapat informasi di Swedia, jangankan kami yang datang dari jauh, orang-orang Aceh yang tinggal di Swedia sendiri tidak bisa bertemu dengan beliau.

Jadi hal ini aneh. Pemimpin yang bagaimana ini. Seharusnya pemimpin yang kini berada di rantau itu kan harus dekat dengan rakyatnya, dia harus mengayomi. Jadi ini, berdasarkan kunjungan ini kenyataan di lapangan sebagian dari anggota Pansus XI ini berubah pikiran. Mungkin wacana tentang Wali Nanggroe pertama Hassan Tiro itu akan kita kesampingkan.

Karena ini kan kita dalam membuat qanun Wali Nanggroe ini kan ada rapat-rapat, dilakukan berbagai pertemuan, ada tahapan-tahapan. Di Swedia kita ingin bertemu dengan Teuku Hassan di Tiro untuk meminta kesediaan beliau menjadi Wali Nanggroe yang pertama dari Aceh Darussalam.

Jika beliau bersedia, wewenang macam apa yang beliau kehendaki. Karena di sana ada suara-suara dari pihak KPA (Komite Peralihan Aceh) atau GAM, yang ingin supaya wewenang Wali Nanggroe itu memecat Gubernur, membubarkan parlemen. Ini kan sesuatu yang mustahil.

Tetapi kalau kita ketemu, kita kan bisa bicara, kita berunding. Tetapi jika beliau ketemu saja tidak mau, ya bagaimana? Berarti gugurlah wacana beliau dijadikan Wali Nanggroe yang pertama. Jadi hal ini buntu. Dengan kebuntuan ini, tetap saja Wali Nanggroe ini kan harus dibentuk.

Kemudian siapa yang akan menjadi Wali Nanggroe. Artinya kita akan membuat peraturan sesuai dengan draft qanun tentang Wali Nanggroe yang ada.

Siapa saja yang memenuhi syarat, kan ada syarat-syaratnya: warganegara Indonesia, beragama Islam, memahami budaya Aceh kharakter Aceh, memahami nilai-nilai keacehan, dan sebagainya.

Mungkin karena ketentuan yang menjadi Wali Nanggroe itu warganegara Indonesia itulah Teuku Hassan Tiro tidak berkenan bertemu?
Tapi kan Aceh ini bagian dari Republik Indonesia. Dan pemerintah pusat kan sudah memutuskan bagi orang-orang Aceh yang ingin pulang kembali ke Aceh dan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sangat dipermudah, tidak dipersulit.

Ini kan satu peluang besar. Tidak mungkin kan orang akan menjadi Wali Nanggroe di Aceh apabila bukan warganegara Indonesia. Itu tidak mungkin, tidak masuk akal.

Tapi ini pun bisa kita bicarakan. Dan terobosan-terobosan tentu kita bisa usahakan. Tetapi kalau ketemu saja tidak bisa, ya akhirnya wacana ini ya bisa saja kita kesampingkan.

Namun ini hanyalah pendapat saya pribadi. Mengenai hal ini Pansus XI akan membicarakannya secara baik dan menyeluruh, dan baru setelah itu akan mengambil keputusan yang terbaik bagi Aceh. [yat]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home