Sunday, September 07, 2008

Pemahat Asmat Unjuk Kebolehan di Belanda


LAPORAN DARI DEN HAAG
Pemahat Asmat Unjuk Kebolehan di Belanda
Rabu, 03 September 2008, 14:17:27 WIB

Laporan A.Supardi Adiwidjaya

Jakarta, myRMnews. Baru-baru ini atau Sabtu (30/8), di KBRI Den Haag digelar demonstrasi seni pahat dan tari tradisional Asmat, Papua.

Koresponden Rakyat Merdeka dan myRMnews di Belanda, A.Supardi Adiwidjaya mengaku pernah membaca beberapa artikel atau brosur tentang kebudayaan Asmat, tertama mengenai seni ukirnya.

“Tetapi belum pernah dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana pemahat Asmat itu mewujudkan hasil karyanya. Oleh karena itu, saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk hadir di acara yang berkaitan dengan pertunjukan budaya suku Asmat, salah satu suku bangsa di Papua itu,” kata Supardi dan berikut laporan selengkapnya.

Sungguh kebetulan, cuaca begitu cerah pada hari Sabtu itu. Mentari bersinar terang, paling tidak, di kota Zaandam dan ternyata juga di Den Haag ketika itu. Namun di hari yang cerah itu, saya tiba di KBRI Den Haag terlambat.

Perjalanan kereta api dari kota Zaandam sampai ke Den Haag Centraal Stasiun (Den Haag CS) tidak mulus. Entah kenapa, perjalanan kereta api mengalami kelambatan. Yang jelas, untuk sampai ke stasiun Den Haag CS, saya terpaksa harus pindah kereta tiga kali: Amsterdam Sloterdijk, Hoofdorp dan kemudian di Leiden CS.

Setelah itu, saya baru sampai ke Den Haag CS. Perjalanan dengan kereta api Zaandam-Den Haag CS yang menurut jadwal biasanya bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam. Hari itu jarak tersebut saya tempuh sekitar tiga jam.

Singkatnya, saya sampai di KBRI Den Haag sekitar pukul 18.00. Demonstrasi para seniman Asmat, yang menunjukan kebolehannya mengukir atau memahat kayu, menurut jadwal berlangsung dari pukul 17.00 – 19.00. Jadi toh masih beruntung. Saya masih punya waktu sekitar satu jam untuk bisa mengamati para seniman pahat Asmat tersebut berkreasi.

Ketika saya tiba di pelataran belakang KBRI Den Haag, para seniman Asmat sedang asyik memahat. Saya lihat Dubes Junus Effendi Habibie tampak serius mengamati para seniman Asmat mengukir kayu.

Di samping Fannie Habibie –demikian Dubes sering disapa- duduk seorang Papua. Dengan melihat sekelebatan saja, tampak jelas orang Papua dimaksud berperawakan tinggi besar dan kelihatan tegap.
Pakaian yang dikenakannya, tampaknya pakaian kebesarannya. Ternyata, belakangan saya ketahui, bahwa orang Papua yang duduk berdampingan dengan Fannie adalah Bupati Asmat, Yuven Biakai, yang juga menjadi Kepala Adat masyarakat Asmat.

Tiga pemahat Asmat dengan asyik dan kelihatan ‘khusyuk’ memainkan kedua belah tangan mereka masing-masing dengan pahat dan palu. Demikian juga kaki kiri dan kanan para pemahat masing-masing menahan kayu yang sedang mereka kerjakan.

Kelihatan ketiga pemahat tersebut duduk dengan posisi bersila. Tampak sekali, mereka tidak peduli dengan orang-orang sekeliling, yang melihat dan memperhatikan mereka memahat.

Karena proses kerja para seniman tersebut sudah berlangsung sekitar sejam, kelihatannya mereka masing-masing membuat suatu figur. Namun, belum jelas, paling tidak bagi saya, figur apakah atau figur siapakah yang sedang mereka bentuk atau ukir.

Karena penasaran, saya tanyakan kepada orang Papua yang kebetulan berdiri tak jauh. Menurutnya, figur yang dibuat itu adalah hasil yang tercurahkan dari pikiran dan kemauan hati yang muncul dari para pemahat masing-masing, yang bekerja ketika itu.

Mereka bekerja tanpa membuat sketsa terlebih dulu. Mereka memahat dan membentuk suatu figur, yang berdasarkan apa yang timbul dari fikiran mereka seketika itu dan kemudian langsung ‘ditumpahkan’ ke kayu yang mereka kerjakan. Ada dua macam kayu, yang saya lihat ditangani oleh tiga pemahat Asmat itu: kayu besi yang berwarna cokelat dan kayu yang berwarna putih.

Ketika berkreasi, para pemahat mereka seolah berkomunikasi dengan leluhur mereka yang ada di alam lain. Sekaitan ini mereka mengenal tiga konsep: Alam kehiduan masa sekarang ini (Asmat ow capinmi); alam persinggahan roh yang sudah meninggal dunia (Dampu ow capinmi); dan alam surga (Safar).

Untuk membuat patung atau figur, pemahat tersebut memerlukan waktu yang panjang. Tidak sejam atau dua jam, tetapi bisa berlangsung dua sampai tiga hari. Bisa juga sampai lima hari. Itulah sebabnya, pekerjaan yang baru digarap sekitar sejam lebih itu belum kelihatan jelas figur apa atau figur siapakah yang sedang dibentuk oleh masing-masing para pemahat Asmat itu.

Dan tidak kebetulan kiranya Dubes Fannie Habibie yang dengan serius mengamati bagaimana para pemahat Asmat bekerja menyatakan kekagumannya yang mendalam terhadap kebudayaan Asmat, terutama budaya atau seni pahat patung sebagaimana yang telah dilihatnya sendiri.

“Seni pahat Asmat sangat kental dipengaruhi oleh spirit, roh yang mempengaruhi si pemahat, yang berusaha menuangkannya ke dalam patung yang dibuat. Oleh karena itu hasil akhir dari karya seni pahat Asmat tampak berjiwa, bukan boneka (puppet). Budaya seni pahat suku Asmat ini sangat unik dan terus bertahan hingga sekarang ini,” ujar Dubes Fannie.

Saya juga cukup asyik memperhatikan para pemahat atau mungkin lebih tepat saya katakan para seniman itu bekerja. Ingin saya menanyakan nama-nama sang seniman secara langsung. Namun tidak jadi saya lakukan, karena takut akan mengganggu konsentrasi pikiran dan kerja seni mereka. Saya pikir, nanti sajalah, ketika istirahat saya akan bincang-bincang dengan mereka.

Namun, setelah pertunjukan tari, eh, seorang teman langsung mengajak pulang bersama, karena dia menuju kota Leiden. Kereta api yang saya tumpangi juga lewat stasiun Leiden. Ajakannya langsung saya setujui.

Teman tersebut mengantar saya dengan mobilnya sampai stasiun Leiden. Kemudian perjalanan saya lanjutkan sendirian dengan kereta api menuju kota Zaandam. Dengan begitu, saya tidak sempat bincang-bincang dengan salah seorangpun dari pemahat Asmat. Sayang. (bersambung) [yat]

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=63764

0 Comments:

Post a Comment

<< Home