Sunday, December 24, 2006

Mengenang 100 Tahun Bapak Djawoto

Mengenang Bapak Djawoto (1906-2006)

Oleh A.Supardi Adiwidjaya

Di Peking pada bulan Juli (tanggalnya tidak ingat) 1964, untuk pertama kali dan bersamaan dengan itu juga terakhir kali, saya bertemu dan sekaligus berkenalan dengan (waktu itu) Duta Besar RI untuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok, atau sekarang sering disebut RRC – Republik Rakyat Cina) Bapak Djawoto.

Keberadaan saya di Peking selama hampir dua bulan (Juli-Agustus 1964) karena liburan musim panas, berkunjung ke tempat seorang paman, yang ketika itu kebetulan bertugas sebagai salah seorang diplomat di KBRI Peking.

Pertemuan dan perkenalan saya pribadi dengan Bapak dan Ibu Djawoto, jika tidak salah, berlangsung di Wisma Duta KBRI di Peking. Pertemuan tersebut adalah pertemuan ramah tamah, bersifat kekeluargaan, tidak ada pembicaraan mengenai soal politik. Karena saya pribadi ketika itu (meskipun mahasiswa, berumur 23 tahun) boleh dibilang tidak ikut kegiatan atau organisasi politik. Jika toh dikaitkan dengan soal politik, yang menjadi pegangan saya sebagai mahasiswa ikatan dinas waktu itu adalah 9 (sembilan) poin isi surat perjanjian yang saya tandatangani dengan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) di Jakarta pada tanggal 9 (sembilan) Juli 1962. Dari sembilan poin isi perjanjian dengan Departemen PTIP itupun, yang saya ingat di luar kepala hanyalah poin-poin 1, 2 dan 3 saja, sebagai berikut: (ejaan lama) I. Bahwa saja akan tetap setia kepada Kepala Negara Republik Indonesia; II. Bahwa saja akan tetap setia kepada Pemerintah Indonesia; III. Bahwa saja akan tetap setia kepada Pantjasila sebagai Falsafah Negara dan USDEK beserta Manifesto Politik sebagai Haluan Negara. Itu saja.

Yang paling saya ingat, ketika bertemu di Wisma Duta itu, Ibu Djawoto memberi hadiah kenangan dua buah baju lengan pendek merk “Arrow” (sebuah merk baju yang beken di tahun 60-an) kepada saya. Salah sebuah hadiah baju tersebut berwarna kuning. Tentu saja bukan warna kuning Partai Golkar, karena jelas, waktu itu Partai Golkar belum ada, hehehe... Saya menerima dua baju tersebut dengan mengucapkan banyak terimakasih, sebagai kenangan yang selalu saya ingat mengenai pertemuan dengan Bapak dan Ibu Djawoto di Peking dulu itu.

Tentang keberadaan dan wafatnya (pada tahun 1992) Bapak Djawoto di Belanda, saya baru mengetahuinya beberapa tahun kemudian. Hal itu mungkin, karena begitu tiba di Belanda pada bulan Mei 1990, saya bersama keluarga (isteri dan ketika itu tiga orang anak kami) sibuk dengan persoalan yang berkaitan dengan permintaan perlindungan politik di negeri “Kincir Angin” ini. Dan dalam periode 1990-1993, selain dengan beberapa orang Belanda (yang banyak membantu saya untuk mendapatkan perlindungan politik di Belanda), saya hanya berhubungan terutama dengan beberapa teman, yang memang pernah bergaul cukup akrab ketika masih mahasiswa.

Saya tidak tahu (atau lupa) kapan persisnya saya mengetahui, bahwa Bapak Djawoto telah meninggal dunia dan Ibu Djawoto bersama putra-putrinya tinggal di Belanda.
Baru kemudian, setelah saya sekeluarga (akhir tahun 1993 mendapat status A/sebagai pelarian politik), saya pernah bertamu (kapan persisnya, saya tidak ingat) dengan diantar oleh seorang kenalan dari/orang Timor Timur (yang ternyata kenalan baik keluarga Ibu Djawoto) ke rumah Ibu Djawoto. Dan setelah itu, dua atau tiga kali saya pernah bertemu dan bersalaman dengan beliau di acara-acara pertemuan masyarakat Indonesia, di mana kami saling tegur sapa (tepatnya, sayalah yang menghampiri dan menyapa beliau), tetapi tidak pernah terlibat pembicaraan panjang.

Hal-hal tersebut di atas saya utarakan, terus terang, karena saya memang tidak sempat mengenal Bapak Djawoto dengan baik secara pribadi. Kecuali bertemu sekali di Peking (tahun 1964) dulu, saya tidak pernah bertemu lagi dengan beliau.
Namun, dari pertemuan singkat dengan Bapak dan Ibu Djawoto, saya merasakan keramahan beliau berdua ketika menerima saya di Wisma Duta di Peking. Bapak Djawoto tampaknya orangnya tenang, berwibawa. Nada bicaranya kalem dan terasa orangnya tegas. Hal yang saya sebut terakhir mungkin karena beliau berbincang-bincang dengan saya seorang mahasiswa, yang relatif masih berumur muda, yang pantas disebut anak olehnya? Entahlah. Tetapi kesan saya, Bapak Djawoto - seorang yang tenang, tegas dan berwibawa. Saya memperkirakan umur beliau ketika itu sekitar 60 tahunan. Dan ternyata (setelah saya membaca biografi singkatnya) pada tahun 1964 itu beliau berumur 58 tahun. Jadi dugaan saya tentang usia beliau tidak terlalu meleset. Sedang Ibu Djawoto tampak sekali orangnya ramah dan saya rasa beliau itu baik hati sekali. Secara pribadi, itulah kenangan yang saya ingat tentang Bapak dan sekaligus juga Ibu Djawoto dari pertemuan sangat singkat di Peking, yang berlangsung sekitar 42 tahun yang lalu.

Melawan rezim Orba

SETELAH terjadinya peristiwa apa yang disebut Gerakan 30 September 1965 di tanah air, perjalanan hidup saya pribadi boleh dibilang berubah cukup drastis, terutama dalam soal kegiatan, yang berkaitan dengan politik. Yang saya maksud terutama kegiatan saya dalam persoalan politik praktis. Sebelum peristiwa G30S di tanah air, di luar kegiatan studi saya senang olahraga (terutama main badminton). Disamping itu, saya cukup sering ikut “kumpul-kumpul” dengan teman-teman, yang disebut “golongan nasionalis”. Dalam konteks yang disebut belakangan ini, konkretnya dengan teman-teman mahasiswa yang mengaku pengikut dan para simpatisan Bung Karno dan ajaran-ajarannya.

JAUH berbeda dengan saya yang ketika berumur sekitar 23-24 tahun dalam kegiatan bidang politik merupakan pupuk bawang, (dari riwayat hidupnya yang saya baca) Pak Djawoto dalam usia muda belia sudah sangat aktif berkecimpung dalam kegiatan politik. Ketika berumur 21 tahun, beliau sudah menjadi sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto) di Makasar dan sekaligus bekerja sebagai guru. Beliau juga pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Bung Karno.

Sesudah terjadinya peristiwa G30S/1965 di tanah air, berdasarkan pengamatan yang baik dan saksama atas berita-berita yang masuk waktu itu, sangat jelas bahwa kekuatan-kekuatan yang anti terhadap Bung Karno menjadi (sedang) naik daun. Sejak bulan Oktober 1965 Jenderal Soeharto cs secara perlahan-lahan namun pasti mengisolir Bung Karno dari rakyat dan mulai mendongkel kedudukan Bung Karno. Atau lebih tepatnya, dengan kelihaian dan kelicikan yang luar biasa - tahap demi tahap, perlahan-lahan - Jenderal Soeharto dengan jitu dan bahkan brilian melakukan kudeta merangkak terhadap Presiden Sukarno. Soeharto dengan kelihaiannya yang luar biasa itu berhasil (dengan menggunakan situasi gawat dan dengan tekanan kekuatan tiga jenderal kroni Jenderal Soeharto terhadap Bung Karno) mendapatkan apa yang disebut Surat Perintah 11 Maret (Super-Semar) 1966 dari Presiden Sukarno.

Dengan senjata Super-Semar 1966 (dengan memanipulasinya, berdasarkan versi dan interpretasinya sendiri) itulah Jenderal Suharto pertama-tama membubarkan PKI, menumpas secara fisik beberapa pemimpin puncak partai tersebut. Aparat Jenderal Soeharto menangkap Menteri-Menteri Kabinet Presiden Sukarno, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pemimpin ormas-ormas yang berafiliasi pada PKI dan menjebloskan mereka ke penjara, dan banyak di antara mereka yang langsung dibunuh; melakukan pembunuhan besar-besaran dengan kekejaman yang luar biasa terhadap siapa saja yang dituduh terlibat G30S dengan embel-embel PKI, dus yang dicap terlibat G30S/PKI; tanpa proses pengadilan apapun ratusan ribu dari mereka disiksa secara kejam dan dijebloskan ke penjara-penjara. Banyak dari mereka yang ditangkap karena tuduhan terlibat G30S/PKI dibuang ke pulau Buru. Hampir bersamaan dengan itu, juga para pemimpin PNI ASU (pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman) dan banyak para pengikut setia Bung Karno yang juga dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan dan juga terjadi pembantaian dan pengejaran terhadap para pengikut setia Bung Karno.

Dalam situasi demikian itu, pada tahun 1966 Bapak Djawoto dengan tegas berpihak dan membela Presiden Sukarno, memutuskan meletakkan jabatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk RRT dan Republik Mongolia, karena tidak mau bekerja dibawah pemerintahan Jenderal Soeharto. Sejak itu beliau aktif kembali selaku Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika dan melakukan perjuangan politik melawan rezim Orba Soeharto.

Saya pribadi dalam situasi di tanah air, di mana Jenderal Soeharto cs melakukan kudeta merangkak terhadap Presiden Sukarno, karena merasa terikat akan perjanjian dengan Pemerintah Presiden Sukarno cq Departemen PTIP yang saya tandatangani, dengan tegas tanpa ragu memutuskan sepenuhnya berpihak kepada Presiden Sukarno, dan bergabung dengan teman-teman sepaham, yang a.l. berpijak pada nasionalisme ajaran Bung Karno. Dan sejak itulah, bersama teman-teman yang berhaluan nasional – para pengikut dan simpatisan Bung Karno, saya mulai aktif dalam perjuangan politik praktis melawan pemerintah/rezim Orde Baru (Orba) di bawah Jenderal Soeharto, yang terkenal dengan kezalimannya, yang membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia. Jenderal Soeharto cs dengan para pemikir apa yang disebut “Mafia Berkeley” merangkul liberalisme dalam pembangunan ekonomi, yang akibatnya jelas di depan mata: Bangsa Indonesia semakin bergantung pada utang luar negeri, pengangguran semakin tinggi, kemiskinan di kalangan rakyat banyak semakin merajalela.

Dus, meskipun antara Bapak Djawoto (yang adalah salah seorang pejuang/perintis kemerdekaan, diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Duta Besar, salah seorang wartawan senior kondang) dan saya (yang ketika terjadinya peristiwa G30S/1965 itu hanyalah mahasiswa ikatan dinas, yang kebetulan dikirim oleh pemerintah Presiden Sukarno) samasekali tidak pernah saling berhubungan setelah pertemuan pertama dan terakhir kali di Peking dulu itu, tetapi kami berada di barisan yang sama, yakni sama-sama berpihak kepada Presiden Sukarno dan melawan rezim Orba dibawah Jenderal Soeharto cs.

Sayangnya, ketika pada tanggal 21 Mei 1998 Jenderal (purn) Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari kedudukannya sebagai presiden, Bapak Djawoto telah wafat. Namun demikian, hingga saat ini, apa yang diperjuangkan oleh Bapak Djawoto, oleh siapa saja yang menginginkan tegaknya demokrasi dan keadilan bagi rakyat banyak di Indonesia masih terus berlangsung. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan penuh berdasarkan Trisakti yang diajarkan oleh Bung Karno (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan) hingga kini masih terus dan harus dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro-demokrasi di Indonesia.

Amsterdam, 23 September 2006.