Monday, October 25, 2010

Ekonomi Kerakyatan Itu Sangat Simpel


WAWANCARA (4)

Ekonomi Kerakyatan Itu Sangat Simpel

Senin, 25 Oktober 2010 , 20:09:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya


RMOL. Cornelis Lay, Gurubesar Universitas Gadjah Mada mengingatkan kita tentang bahaya neoliberalisme. Sebuah ideologi yang mengedepankan ekonomi pasar yang cenderung tidak berpihak pada rakyat.

Sebaliknya, ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan sebagai solusi permasalahan bangsa.

Lalu bagaimana Cornelis Lay berbicara mengenai teori ini. Inilah petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay di Leiden, Negeri Belanda.

Bisa anda ungkapkan tentang hakekat ekonomi kerakyatan?

Menurut saya, ekonomi kerakyatan itu sangat simpel, tidak terlalu rumit. Karena memang sudah dikonstruksikan di dalam Konstitusi (1945) yang lama. Pertama, seluruh kekayaan alam, bumi, dan semua yang terkandung di dalamnya itu harus berada di tangan negara. Dan semua itu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manifestasinya itu di dalam bentuk hadirnya perusahaan-perusahaan publik, yang mengontrol sumberdaya-sumberdaya strategis.

Kita memang trauma dengan permasalahan korupsi di perusahaan-perusahaan negara (BUMN - Badan Usaha Milik Negara) itu. Namun, menurut saya, korupsi itu yang harus dihilangkan, bukan BUMN nya yang harus dihilangkan. Itu lah problema Indonesia. Karena efesiensi, efektivitas dan tidak korup itu sebenarnya soal manejemen, bukan soal kepemilikan.

Dengan cara seperti itu fungsi-fungsi sosial dari berbagai institusi itu berjalan dengan baik. Tapi sekaligus Konstitusi kita yang lama mengatakan, bahwa usaha-usaha ekonomi itu disusun dengan keseimbangan, antara usaha-usaha yang sifatnya berbasis kolegialitas masyarakat, yang kita sebut koperasi, dengan usaha-usaha yang sifatnya individual yang kita sebut perusahaan swasta dan juga BUMN itu. Jadi ada peran, di mana negara memegang peran yang besar, ada peran koperasi dan peran perusahaan orang perorang. Problema kita saat sekarang ini adalah peran negara (BUMN) dan peran koperasi itu kita bunuh. Kita melepaskan semuanya itu kepada privat, kepada individual.

Kedua, ekonomi kerakyatan itu juga berkaitan dengan tata cara kita mendistribusikan resource (sumber daya) nasional. Kalau kita menganggap, bahwa kekuatan ekonomi Indonesia itu terletak pada sektor pertanian, karena itu adalah sektor yang paling banyak melibatkan tenaga produktif rakyat Indonesia dan di sanalah masa depan dari masyarakat justru ada. Maka distribusi sumber daya nasional kita harusnya menggambarkan keyakinan itu. Uang itu harusnya lebih banyak dikasihkan ke situ, ke sektor pertanian.

Kenyataannya sekarang ini sebaliknya. Pertanian kita mengalami deagrarisasi , seluruh infrastrukturnya hancur berantakan tidak ada yang memperhatikan, nggak ada insentif apapun membuat orang masih senang atau berkeinginan menjadi petani. Sekarang ini sebagian besar petani kita usianya 50-an ke atas. Akhirnya sektor pertanian ini mengalami kehancuran secara total. Dan justru yang kita kembangkan adalah sektor-sektor yang samasekali tidak menghasilkan apa-apa kecuali janji, jasa - pasar obligasi, pasar uang. Itu semua, orang berspekulasi di situ. Gambaran dari kerakyatan itu ada pada policy (kebijakan) yang memihak pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat, misalnya pertanian, perikanan, sektor-sektor informal itu adalah sektor atau aktivitas-aktivitas ekonomi pokok yang mestinya ditopang secara habis-habisan oleh keuangan negara. Dan itu yang tidak terjadi.

Kita lebih suka membantu bank yang bangkrut sampai triliunan rupiah, ketimbang, misalnya saja, membantu petani yang kena pajak. Itu penggambaran pada level policy (kebijakan). Tetapi ekonomi kerakyatan juga sekaligus menggambarkan bukan saja pola kita mendistribusikan sumber nasional , tetapi pola kita mengkonsumsi. Kalau kita percaya, bahwa tumpuan ekonomi kita itu ada di dalam, yang paling gampang sajalah, yakni pertanian tadi. Nah, kan mestinya, tata cara kita merancang pola konsumsi kita juga sama. Lha kita yang kita dorong adalah mie yang gandumnya didatangkan dari Amerika. Itu sudah aneh. Jadi pola konsumsi nasional juga harus dipakai untuk mendorong pertanian kita.

Kita lihat orang Jepang saja gampang, ke mana dia pergi keluar negeri yang tidak membeli produk buatan Jepang, restoran Jepang, kamera Jepang, semuanya serba Jepang. Kita pergi ke Korea Selatan, 99 persen kendaraannya pasti produk Korea Selatan. Demikian juga ke China, penduduknya membeli produksi dalam negerinya sendiri.

Nah, kita ini terbalik. Jadi kira-kira itu penggambaran-penggambaran. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, harus ada sistem pengorganisasian produksi ekonomi yang jelas, dengan memberikan kepercayaan pada negara untuk terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Tetapi juga ada kesempatan diberikan kepada kolektivitas masyarakat dalam bentuk koperasi dan sebagainya. Disamping sudah tentu, hak secara individual juga diberikan, distribusi keuangan negara, prioritas konsumsi kita, skala prioritas pembangunan kita itu mestinya jalan semua. [arp]

Friday, October 22, 2010

Rakyat Dipaksa Senang dengan Neolib



Rakyat Dipaksa Senang dengan Neolib

Jum'at, 22 Oktober 2010 , 22:30:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang digawangi SBY-Boediono juga dinilai lebih merepresentasikan semangat neolib dibanding kepentingan nasional. Lalu apa kata Cornelis Lay tentang hal itu. Berikut ini adalah kutipan pembicaraannya.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dibawah Presiden SBY boleh dibilang tidak berhasil membuat kehidupan rakyat menjadi sejahtera. Meskipun begitu dalam Pemilu bulan Juli 2009 Susilo Bambang Yudhoyono, yang memilih Boediono sebagai pasangan Cawapresnya, telah berhasil memenangkan Pemilu hanya dalam satu putaran saja. Bagaimana pendapat Anda?

Karena memang masyarakat kita tidak melihat sampai sejauh itu. Resiko-resiko dari pekerjaannya ide neoliberal dalam keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, berekonomi kita, bersosial kita, berkebudayaan kita - itu kan tidak bisa ditangkap oleh semua rakyat sebagai pemilih. Yang bisa ini kan cuma beberapa orang. Orang yang mempelajari betul akibat-akibat, yang sifatnya permanen, sifat merusak, jangka panjang sifat negatif dan seterusnya, bertugas untuk memberi tahukan hal-hal negatif tersebut.

Nah, rakyat kebanyakan kan yang dipikirkan adalah ya udahlah, kalau partai ini bisa menyediakan beras atau uang sekian ribu Rupiah untuk selama Pemilu itu, pasti itu bagus. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, bahwa rakyat pemilih tidak memilih berdasarkan kebijkan yang ditawarkan. Mereka memilih berdasarkan apa yang bisa ditawarkan kepada mereka sebagai orang perorang, individu.

Dengan kembali SBY terpilih sebagai Presiden, apakah itu bukan bukti bahwa rakyat atau para pemilih senang dengan neolib?

Menurut saya bukan karena rakyat Indonesia senang dengan neolib, mereka sebenarnya tidak tahu, bagaimana neolib itu bekerja, apa akibatnya. Mereka cuma melihat, SBY populer, ya sudah selesai urusannya. Ya, itu memang masalah kita sebagai bangsa yang masih sebatas itu. Rakyat Indonesia rata-rata cuma lebih memperhatikan popularitas, lebih memperhatikan apa yang tampak orang ngomong, tapi sebenarnya dia tidak menyimak sebenarnya apa yang terjadi. [arp]

Thursday, October 21, 2010

Inilah Cara Mengantisipasi Kedigdayaan Ekonomi Neoliberal


Inilah Cara Mengantisipasi Kedigdayaan Ekonomi Neoliberal
Kamis, 21 Oktober 2010 , 17:54:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) sempat berbincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia itu, bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Lalu bagaimana untuk mencegah penjajahan neoliberalisme, berikut lanjutan petikan wawancara Rakyat Merdeka Online dengan Cornelis Lay.

Bagaimana menurut Anda mengantisipasi kedigdayaan ekonomi neo liberal?

Ya, mestinya fungsi-fungsi negara itu diletakkan secara wajar. Artinya ada fungsi di mana negara itu memang harus berperan sebagai regulator. Dia mengatur saja, dia tidak perlu terlibat di dalam proses , tidak perlu mengintervensi dalam produksi, tidak perlu mengintervensi dalam distribusi. Tetapi dia mengatur agar supaya proses itu berjalan dengan baik, adil untuk semua orang.

Nah, mungkin pasar bekerja di situ. Tetapi ada saatnya negara itu berfungsi cukup sebagai fasilitator. Di mana dia hanya akan membantu mereka-mereka yang tidak punya kapasitas untuk berkompetisi. Tetapi ada saatnya memang negara itu harus berfungsi sebagai produsen dan distributor. Terutama untuk produk-produk yang memang tidak mungkin dibiarkan ke publik. Ini contoh saja pendidikan, kesehatan. Itu harusnya tanggungjawab pokok negara untuk membuat rakyatnya sehat, membuat rakyatnya cerdas.

Nah itu tidak bisa negara kemudian sudahlah, negara hanya sekedar ngatur, bikin peraturan pemerintah atau undang-undang , agar supaya perguruan tinggi ini tidak saling membunuh dengan perguruan tinggi yang lain dan seterusnya. Karena idenya itu bukan sekedar mengajarkan satu tambah satu berapa, satu kali satu itu berapa. Tetapi idenya itu adalah, bahwa pendidikan itu sekaligus medan untuk membentuk keindonesiaan, medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan bangsa.

Mengapa itu menjadi penting?

Karena semua bangsa yang besar itu pasti punya kekuatan dalam pendidikan, yaitu medan untuk membentuk kharakter bangsa, medan untuk membangun kebudayaan itu tadi. Jepang tidak mungkin tumbuh menjadi negara besar tanpa karakteristik yang sangat keras dari Jepang yang diturunkan dari generasik ke generasi dalam proses pendidikan. Di Amerika Serikat, memang karena nilai yang diajarkan dari dulu memang nilai individualitas dan kapasitas kompetisi itu tradisi yang dikembangkan seperti di Eropa.

Kalau di Indonesia mana yang mau diturunkan? Tidak ada. Karena isu-isu pendidikannya hanya itu. Atau hal-hal yang memang amat strategis yang tidak bisa dialihkan. Amerika Serikat sangat liberal. Tetapi ketika ada perusahan dari Negara Arab mau membeli port (dermaga)nya, yang ditinjau dari sudut keuangan, efesiensi macam-macam tidak menguntungkan, itu ditutup habis oleh Kongres AS tidak boleh dijual. Tidak boleh yang namanya portnya Amerika Serikat itu djual, diswastakan apalagi dijual kepada pihak asing dari Negara Arab itu.

Nah, AS-negara yang kita anggap setia kepada prinsip-prinsip neoliberal atau liberalisme secara keseluruhan saja masih merasa perlu melindungi rakyatnya, kepentingan nasionalnya. Masa Indonesia boleh atau kok begitu mudahnya memberika ruang bagi pasar itu masuk ke mana-mana saja. Ini contoh yang paling konkret.

Sampai hari ini, petani di Eropa, di AS, tetap dilindungi oleh pemerintahnya dengan diberi subsidi yang sangat luar biasa besarnya. Di Indonesia, kita merasa bahwa, kalau kita melindungi petani kita adalah kejahatan. Ini agak aneh, karena kita dianggap melakukan kejahatan terhadap pasar. Padahal dengan tidak melindungi petani kita, justru kita melakukan kejahatan terhadap rakyat kita.

Permasalahan yang mungkin memprihatinkan adalah soal penanaman modal asing. Seperti diketahui Undang-undang Penanaman Modal Asing diganti dengan Undang-undang Penanaman Modal. Bagaimana penilaian Anda?

Justru itu, salah satu indikasi paling kuat kenapa orang mengatakan kita (Indonesia) itu sudah betul-betul ditekuk oleh ide neoliberal. Ya ditetapkannya UU Penanaman Modal itu. Undang-undang tentang kepabeanan, UU tentang pelabuhan dan undang-undang tentang apalagi itu semuanya pokoknya tidak ada lagi pembeda antara dalam negeri dan luar negeri. Para pemilik perusahaan-perusahan dari luar negeri dan dalam negeri silakan berkelahi, silakan bunuh-bunuhan, silakan cekik-cekikan, yang penting adalah anda jalan. Dan hasilnya kita bisa bayangkan, tidak mungkin perusahaan-perusahaan nasional kita itu bisa mampu bersaing dan bertahan. Bukan karena mereka tidak cukup cakap, tetapi secara kultural mereka sudah terlampau lama hidup dalam proteksi negara, terlampau lama dipaksa untuk menjadi outlooking hanya berkompetisi kedalam. Karena ketika itu dilepas, ya bubar semua. (Bersambung). [arp]

Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal


Cornelis Lay: Indonesia Sudah Betul-betul Ditekuk oleh Ide Neoliberal

Kamis, 21 Oktober 2010 , 14:17:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Pada akhir bulan September yang lalu, Drs Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (Universitas Gajah Mada) berkesempatan bincang-bincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Dalam perbincangan tersebut, Cornelis Lay berbicara panjang lebar mengenai gagasan neoliberal, tentang ide ekonomi kerakyatan.Cornelis Lay berpendapat, liberalisasi dan penerapan kebijakan neoliberal sangat berkembang sekarang ini di Indonesia.

Itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar.

Sedangkan gagasan ekonomi kerakyatan, menurut Cornelis Lay, diilhami atau didorong oleh keresahan masyarakat terhadap dominasi ide pasar atau ide neoliberal yang sudah praktis menguasai seluruh kehidupan kita. Dan gagasan yang namanya ekonomi kerakyatan ini sebenarnya diturunkan dari gagasan-gagasan yang sudah lama dipikirkan dan sudah lama ditulis oleh Bung Karno.

Berikut ini petikan perbincangannya.

Sulit dibantah bahwa gagasan neoliberal memang sudah benar-benar mencengkram Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?

Itu kan merupakan kesimpulan yang praktis sudah disepakati oleh banyak orang. Pertama-tama, karena orang melihat pada produk-produk policy atau kebijakan, yang dihasilkan oleh baik parlemen maupun pemerintahan atau kabinet setelah Pemilu 1999 itu, memang lebih mempercayai pasar sebagai kekuatan untuk men-drive ekonomi, pasar sebagai kekuatan untuk mendistribusi sumberdaya-sumberdaya publik. Sementara pemerintah itu hanya melibatkan diri sebagai fasilitator yang cenderung pasif.

Dan fungsi negara sebagai fasilitator, fungsi negara sebagai institusi yang harusnya melindungi, memberdayakan dan sekaligus membela kepentingan-kepentingan sebagian besar kelompok masyarakatnya yang tertindas secara ekonomi itu memudar secara sangat luar biasa. Ide bahwa pasar itu adalah kekuatan utama sebagai alokator sumber daya yang paling baik dan paling adil itu adalah inti dari gagasan neoliberal.

Gagasan yang mengandaikan atau mengasumsikan institusi di luar pasar itu harus mundur, perannya harus terbatas. Dan itu digambarkan oleh permintaan untuk negara itu mundur dari banyak sektor, termasuk di dalamnya adalah negara tidak boleh mensubsidi, peran-perannya dibatasi. Nah ini yang menyebabkan orang berkesimpulan seperti itu.

Tetapi ini bukan sesuatu yang khas Indonesia dan kecenderungan neoliberal sebagai ideologi yang menuntun kebijakan-kebijakan itu berlangsung praktis di seluruh dunia. Sangat sedikit kita bisa melihat negara yang masih mampu bertahan dengan memberikan peran jauh lebih besar atau paling tidak sebanding antara negara dan pasar.

Apa hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh kekuatan neoliberal?

Ya, negatifnya sudah dibuktikan oleh pengalaman sejarah panjang, bahkan negara-negara Barat yang sekarang ini banyak juga mempromosikan gagasan neoliberal. Bahwa bekerjanya pasar itu pasti akan memarjinalkan sebagian terbesar dari masyarakatnya, melahirkan akumulasi ekonomi, kapital di tangan orang yang semakin terbatas, yang membuat memang kesenjangan antara orang-orang yang mampu dan orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar itu semakin melebar.

Dan ini kemudian itu yang paling ditakutkan banyak orang. Dan sebenarnya pengalaman-pengalaman dari negara-negara Eropa itu sudah menunjukkan kenapa mereka habis-habisan membangun sistem welfare state (negara kesejahteraan), justru karena itu merupakan koreksi terhadap kepercayaan yang berlebihan terhadap pasar yang melahirkan marjinalisasi sebagian besar kelompok masyarakat.

Di negara berkembang semacam Indonesia, dengan menjalankan neoliberal itu, produk-produk yang mereka hasilkan itu sulit bersaing dengan komoditi sejenis yang diproduksi negeri lain. Bukankah demikian?

Hal itu jelas merupakan persoalan tersendiri. Liberalisasi atau penerapan policy (kebijakan) neoliberal itu perkembangan sekarang ini termasuk di Indonesia itu bukan saja berlangsung ke dalam negara dalam arti institusi politik tidak terlibat sebagai pengatur sumber daya dan membiarkan kepada pasar, tetapi juga ekonomi domestik dalam negeri kita itu dipaksa untuk bersaing dengan kekuatan ekonomi yang datang dari luar. Misalnya saja bidang pendidikan. Dulu pendidikan itu adalah sebuah sektor yang dianggap strategis dalam rangka pembangunan kharakter dan sekaligus juga membuat demokrasi dari bangsa. Karena itu dia (pendidikan) menjadi bidang yang tertutup. Sekarang ini pendidikan diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

Dan sekarang ini, ya perguruan tinggi dari negara mana pun boleh membuka perguruan tinggi di Indonesia atas nama liberalisasi, atas nama neoliberal, atas nama keunggulan pasar. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan. Akibatnya kita akan menyaksikan dan ini yang paling ditakutkan banyak orang dan kenapa orang cemas terhadap gagasan neoliberal ini nanti seluruh kekuatan produksi domestik kita hancur.

Rumah sakit kita boleh jadi akan bangkrut dan kita cuma punya rumah sakit asing. Boleh jadi perguruan tinggi kita, sekolah-sekolah kita akan bangkrut, atau berada di pinggiran nggak ada lagi orang yang mau masuk. Dan karena itu seluruh pendidikan kita, kita akan serahkan kepada asing, dan itu punya banyak implikasi. Implikasi di dalamnya adalah, antara lain, tempat bagi orang atau tempat bagi proses pendidikan warga bangsa, kharakter bangsa, kebudayaan bangsa dan seterusnya tidak relevan lagi. Karena bagi mereka kan bukan itu yang penting. Pendidikan itu kan perkembangan skill.

Contoh yang paling gamblang dalam hal ini?

Taruhlah kalau nanti rumahsakit-rumahsakit negara itu sudah hilang, karena memang tidak efisien, karena memang pelayanannya lebih buruk. Dan seluruhnya itu menjadi rumahsakit swasta. Dan swastanya itu swasta luar negeri. Pertanyaannya, kalau ada si Poniman, Poniran, Pariyem yang tidak punya uang, siapa yang tanggungjawab?

Contohnya sekarang jelas, rumahsakit kita itu sudah proses yang kemaren ribut-ribut itu di rumahsakit internasional itu. Itu sangat jelas. Itu gambarannya. Contoh yang gamblang lainnya lagi, lihat saja di Jakarta. Semua perguruan dari negara-negara lain itu sudah buka cabang. Jadi sudah seperti membuka franchise. Jadi membuka perguruan tinggi sudah sama seperti orang membuka Mc Donald. Ada cabang di Jalan Sudirman, nanti ada cabang di mana lagi. Ada cabang di mana-mana, itu sudah menjadi waralaba. Bukan lagi menjadi konsep awal, bahwa itu konstitusi kita mengatakan bahwa kewajiban negara itu mencerdaskan kehidupan berbangsa itu sudah hilang. Karena tidak ada itu urusannya perguruan tinggi dari luar negeri bicara soal itu. (Bersambung). [arp]

Monday, October 04, 2010

Putu Oka: Kabarnya, SBY Mau Juga Berbicara Soal Peristiwa 1965



Putu Oka: Kabarnya, SBY Mau Juga Berbicara Soal Peristiwa 1965

Senin, 04 Oktober 2010 , 10:24:00 WIB

RMOL. PADA waktu rehat dalam acara Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang digelar di Diemen, Belanda, Sabtu (2/10), sastrawan juga aktivis kemanusiaan yang pernah diasingkan ke Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, Putu Oka Sukanta berkesempatan diwawancarai oleh A.Supardi Adiwidjaya, koresponden Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka Online di Belanda. Berikut ini petikannya.

Suatu kenyataan, sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak dituntaskan. Bagaimana pendapat anda?

Saya berharap bahwa pemerintah mau membuka mata lebih lebar, mau mendengarkan suara hati orang-orang yang sempat menjadi korban tragedi kemanusiaan 1965-66. Yaitu mungkin dengan mengakui, bahwa negara memang pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Dan sekarang diharapkan juga, pemerintah bisa menindak lanjuti untuk mengembalikan hak-hak mereka yang sudah tersempat terkoyak-koyak akibat peristiwa tersebut.

Mantan Presiden Gus Dur sudah sempat memulai mencoba menyelesaikan persoalan apa yang disebut orang-orang terhalang pulang di luar negeri, karena dicabut paspornya. Tapi ternyata usaha beliau itu gagal. Komentar anda?

Iya, Gus Dur memang adalah salah satu Presiden Republik Indonesia yang berusaha untuk menyelesaikan atau merintis jalan penyelesaian masalah ini. Di Indonesia ini kan anehnya, setiap pergantian penguasa, mereka membawa ide-ide baru, policy (kebijakan) baru, sehingga apa yang sudah pernah dirintis oleh orang yang lebih dahulu itu menjadi macet. Sehingga upaya untuk dilakukannya suatu apa itu rehabilitasi atau kemudahan untuk menyelesaikan masalah-masalah bagi teman-teman yang terhalang pulang bisa dimulai lagi.

Dalam situasi kondisi politik sekarang ini di Indonesia, mereka yang menjadi korban dari peristiwa Gerakan Tigapuluh September (G30S) tahun 1965, boleh dibilang sampai saat ini masih saja diperlakukan sebagai layaknya warganegara kelas dua. Pandangan anda?

Sampai saat sekarang ini masih ada dua keputusan dan instruksi pemerintah Indonesia yang mengganjal upaya-upaya untuk mendudukan warganegaranya secara equal. Yaitu TAP MPRS No.XXV tahun 1966 dan juga Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1981 No.30. Kalau ada kebijakan penguasa mencabut regulasi tersebut, saya sangat optimis bahwa masalah masyarakat kelas satu dan masyarakat kelas dua akan bisa teratasi.

Bagaimana, menurut anda, apakah mungkin pemerintah saat ini berkeinginan mencabut regulasi tersebut?

Saya dengar suara-suara burung, Pak SBY mau juga berbicara tentang peristiwa 1965, tapi sampai saat sekarang belum muncul realisasi dari suara-suara burung itu.

Khusus mengenai TAP MPRS No.XXV tahun 1966, apakah mungkin penguasa sekarang ini berkeinginan untuk mencabutnya?

Sekarang kan kita melihat, mencoba memetakan kenapa pembedaan warganegara Indonesia ini terjadi. Kan karena adanya aturan-aturan yang melegalkan orang memperlakukan pembedaan dan perbedaan terhadap warganegara Indonesia. Dari sudut pandang kami, kedua peraturan atau keputusan itulah salah satu sumber yang menyebabkan terjadinya pembedaan dan perbedaan terhadap warganegara Indonesia.

Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat) RI sekarang ini melontarkan lagi apa yang disebut bahaya laten komunis atau seperti diberitakan di koran: Laten Komunis Tetap Patut Diwaspdai. Komentar anda?

Ya, saya melihat kan karena tidak adanya perubahan watak kekuasaan dari zaman pemerintahan Suharto sampai sekarang. Sehingga kata komunis tetap menjadi kambing hitam dalam segala macam keterbelakangan yang terjadi di Indonesia. Ya pejabat-pejabat militer atau sipil siapapun juga saya harapkan supaya wawasan berfikirnya diperkaya dengan mencoba melihat fakta-fakta sejarah yang disembunyikan oleh kekuasaan Orde Baru. Hanya dengan kesadaran dan goodwill (keinginan baik) untuk melihat situasi Indonesia itu melalui data-data sejarah, maka saya harapkan dia akan berubah pikirannya.

Dalam rangka apa kedatangan anda ke Eropa ini?

Saya diundang ke Eropa terutama ke Paris untuk presentasi mengenai dunia kepengarangan saya, dan juga memutar film-film dokumenter yang saya buat dengan tema besar “Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965-66 di Indonesia”. Jadi, saya diundang untuk berkunjung ke beberapa negara oleh Universitas, oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk berdialog dan mempresentasikan karya-karya saya.

Konkretnya, siapa yang mengundang?

Misalnya, di London saya diundang oleh London University, yang pengunjungnya sebagian besar peneliti-peneliti study Indonesia. Kemudian, saya di Aachen diundang oleh masyarakt Indonesia dan masyarakat Jerman, di Koln - oleh para peneliti. Demikian juga di Berlin saya diundang oleh para peneliti Indonesia. Dan di Leiden pada Minggu (3/10), saya akan bicara di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Menurut rencana, beberapa hari lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengadakan kunjungan resmi ke Negeri Belanda. Apa harapan anda kepada Beliau?

Ya, saya harapkan Presiden membuka hatinya untuk mendengarkan keluhan-keluhan, penderitaan-penderitaan dan harapan-harapan dari “teman-teman yang terhalang pulang”. [wid]

Inilah Petisi Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 untuk SBY




Inilah Petisi Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 untuk SBY

Minggu, 03 Oktober 2010 , 19:37:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Pada Sabtu (2/10) di Diemen, tepatnya pinggir kota Amsterdam, Belanda, panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965, yang terdiri dari para wakil dari berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Nederland, menggelar pertemuan untuk memperingati peristiwa tersebut.

Acara peringatan ini sekaligus sebagai upaya untuk ikut serta dalam usaha pelurusan sejarah yang berkaitan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965” demi penegakan kebenaran dan keadilan, demikian panitia.

Pertemuan dihadiri oleh lebih dari 90 peserta, yang sebagian besar adalah “orang-orang yang terhalang pulang” atau mereka yang dicabut paspornya oleh rezim Orba. Beberapa di antaranya sengaja datang dari Swedia, Jerman, Perancis. Termasuk sastrawan yang juga aktivis kemanusiaan, Putu Oka Sukanta, sang penghuni ”Pulau-Buru” era rezim Orde Baru, diundang datang sebagai salah seorang pembicara utama dalam pertemuan tersebut.

Menutup pertemuan pada hari Sabtu (2/10) tersebut, Panitia Peringatan Tragedi Nasional 1965 mengeluarkan sebuah Pernyataan yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tembusan ke berbagai instansi, seperti DPR, Kejagung, Mahkamah Agung, Dephuk dan HAM, Komisi Nasional HAM RI, dan juga Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional. Berikut ini pernyataan dimaksud secara lengkap.

Setelah terjadi peristiwa Gerakan Tigapuluh September (G30S) 1965, di banyak daerah di Indonesia terjadi pembunuhan massal atas jutaan manusia, penahanan ribuan orang selama bertahun-tahun di pulau Buru, Nusakambangan dan di berbagai rumah tahanan, penganiayaan dan lain-lainnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Suharto tanpa proses hukum. Semua tindakan tersebut tidak bisa lain dinilai selain merupakan pelanggaran HAM berat - kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun dan kapan pun. Kasus besar tersebut sudah semestinya harus dituntaskan seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan yurisprudensi hukum internasional.

Sudah 45 tahun berlalu kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa G30S) hingga dewasa ini belum/tidak pernah ditangani secara serius dan tuntas oleh penyelenggara negara. Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara negara cenderung cenderung untuk membiarkan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 dilupakan, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tampak dengan jelas adanya rekayasa untuk untuk menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Tapi kapan pun lembaran-lembaran sejarah tidak mungkin bisa dihapus begitu saja, dan tidak mungkin dimanipulasi yang hitam diputihkan dan yang putih dihitamkan.

Kenyataan bahwa sudah 45 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak dituntaskan. Hal ini membuktikan bahwa norma-norma hukum yang tercantum di dalam UUD 1945, perundang-undangan tentang hak asasi manusia, termasuk konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Parlemen Indonesia, tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggran HAM berat 1965-66. Dengan demikian membuktikan juga bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan oleh penyelenggara negara secara jujur dan konsekuen, tetapi sangat diskriminatif.

Adalah suatu hal yang wajar bahwa para korban menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan baginya tanpa diskriminasi, sebab hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan bagi semua warga bangsa, tidak tergantung agama, ideologi, suku, etnik dan kepartaian mereka.

Di samping itu, tanpa diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 berarti membiarkan langgengnya proses impunitas di Indonesia. Dan dengan demikian membuktikan kegagalan kebijakan penguasa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan. Norma-norma hukum HAM nasional maupun internasional hanya dijadikan pajangan saja untuk mengelabui massa luas seolah-olah Indonesia adalah negara hukum yang peduli HAM.

Kondisi tersebut di atas tentu akan menjadi penghalang bagi terjadinya rekonsiliasi nasional, yang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk pembangunan Indonesia yang demokratik, sejahtera, adil, makmur, aman dan damai.

Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas, pertemuan “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965”, yang diselengarakan oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda dan didukung oleh para korban pelangaran HAM 1965 di negeri-negeri Eropa, menuntut kepada penyelengara negara c.q. Pemerintah Indonesia agar:

1. Mengakui bahwa tlah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 (pasca peristiwa G30S), yang mengakibatkan jatuhnya korban yang luar biasa besar jumlahnya tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut dan atas terbengkalainya penanganan kasus-kasus tersebut yang sudah berlangsung 45 tahun.

3. Segera melakukan kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut secara adil dan manusiawi, terutama menyangkut masalah pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang mereka alami.

4. Bagi para korban yang telah dinyatakan bersalah dalam pengadilan sandiwara rezim Orba diberi rehabilitasi nama baiknya.

5. Tidak diskriminatif dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penuntsan kasus-kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif.

Pernyataan tersebut di atas atas nama Panitia Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 ditandatangani oleh M.D. Kartaprawira (Ketua) dan S.Pronowardojo (Sekretaris).

Acara “Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965” yang diselenggarakan selama dua hari berturut-turut di Diemen, di pinggir kota Amsterdam, yang dimulai pada Sabtu (2/10) tersebut ditutup hari ini (Minggu, 3/10) dengan pemutaran dua film dokumentasi: Cidurian 19 dan Forty Years of Silence. [wid]