Monday, July 21, 2008

GMF AeroAsia Teken Kontrak Dengan KLM

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=57210
Rakyat Merdeka, Senin, 03 Maret 2008, 03:59:12

CORPORATE:

GMF AeroAsia Teken Kontrak Dengan KLM
Nilainya 300 Juta Dolar AS

PUSAT perawatan pesawat milik Garuda Indonesia Airways (GIA) yakni GMF Aero­Asia men­dapatkan kontrak ker­ja dari peru­sahaan pener­bangan Belanda, KLM untuk perawatan pesawat-pe­sawat KLM, khu­susnya pesa­wat-pesawat KLM berbadan lebar tipe Boeing 747.

Penandantanganan kesepa­ka­tan kontrak kerja ini ditanda­ta­ngani Presiden & CEO GMF (Ga­ruda Maintenance Facility) Aero­Asia, Richard Budiha­dian­to dan Wa­kil Direktur Eksekutif KLM Engeneering & Maintenance, Peter Somers, Kamis (28/2) lalu di Schiphol, Amsterdam.

“Ditandatanganinya kontrak ini, karena KLM dan Air France sela­ku pemilik KLM memer­lukan partner untuk mengerja­kan pesawat-pe­sawat mereka, khu­susnya pesa­wat-pesawat ber­badan lebar tipe Boeing 747,” ujar Richard kepada Probisnis.

Pihak KLM sendiri telah me­ngadakan kunjungan ke be­ngkel GMF AeroAsia pada Oktober 2007. Setelah itu pada November 2007 mereka mengirim tim ke In­do­nesia untuk mengadakan se­m­a­cam audit, me­lihat fasilitas dan cara kerja. Tim ini terdiri dari 10 orang, yang meru­pa­kan gabu­ngan dari KLM dan Air France.

“Ternyata mereka melihat bahwa kita mampu mengerja­kan itu, sehingga kita follow up lagi dan bertemu di kantor KLM untuk me­nandatangani kontrak pe­rawa­tan pesawat-pesawat KLM dan Martin Air. Diharapkan kerjasama atau kontrak ini segera direalisasi bulan depan untuk pelaksanaan pengerjaan perawatan pesawat KLM,” imbuh Richard.

Menurutnya, KLM melihat pe­me­liharaan pesawat yang diker­ja­kan GMF AeroAsia ini ongkos­nya relatif lebih murah, tetapi kua­litas pekerjaannya sama dan memenuhi persyara­tan standar pemeliha­raan pesa­wat di Eropa. Adapun nilai kontrak ini kurang lebih senilai 300 juta dolar AS un­tuk jangka waktu tiga tahun ke depan.

Hadir dalam penandatangan kontrak ini Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubu­ngan, Budi M Suyitno, Direktur Uta­ma Garuda Indonesia, Emir­­­syah Satar, Ketua Biro Kon­sultan Public Advice Inter­nasional Foundation-Asia (PA-Asia), bekas Du­bes RI untuk Australia Sabam Sia­gian dan Wakepri untuk Ke­rajaan Belan­da, Djauhari Orat­mangun. rm

Bos BKPM: Tak Kenal, Maka Tak Sayang...

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=62076
Rakyat Merdeka, Minggu, 18 Mei 2008, 01:06:56

Bos BKPM: Tak Kenal, Maka Tak Sayang...

Produk Indonesia Dipamerin Di Polandia

PAMERAN perdagangan, in­ves­tasi dan pariwisata terbesar di Ero­pa Tengah dan Timur “1st In­do­nesia Trade, Investment and Tourism Exposition in Central and East Europe (1st IE-CEE)”, baru saja digelar pada 7 Mei lalu.

Koresponden Rakyat Merdeka A.Supardi Adiwidjaya mela­por­kan, event besar itu digelar KBRI Warsawa, ibukota Polandia. Didu­kung delapan Dubes RI di Beo­grad, Bratislava, Bukares, Bu­da­pes, Kiev, Moskow, Praha dan Sofia, 1st IE-CE berhasil mem­be­tot perhatian warga Polandia.

Ketua Badan Koordinasi Pena­naman Modal (BKPM) Mu­ham­mad Lutfi yang mewakili Presiden SBY, membuka Expo tersebut. Me­nurut Lutfi, event ini bisa dija­dikan ajang untuk berinteraksi dalam bentuk perdagangan dan investasi.

“Memang saya merasakan, ada benarnya juga ketika orang me­nga­takan tak kenal maka tak sayang. Perhatian kita pada ne­gara-negara eks Eropa Timur bo­leh dibilang terputus selama 30 ta­hun. Tapi hubungan dengan me­reka itu kan pernah ada dan harus dijalin semakin erat,” ungkap Lutfi ketika bincang-bincang de­ngan Rakyat Merdeka di Warsawa.

Menurut Lutfi, dengan hu­bu­ngan yang saat ini terjalin, kita ti­dak hanya bisa saling tukar di bi­dang budaya dan membawa turis Polandia ke Indonesia. Tetapi juga berinteraksi dalam bentuk per­dagangan dan investasi.

“Jadi inilah misi-misi yang sangat penting dari event yang sekarang ini kita lakukan,” ucapnya.

Expo dengan tema “Bridging the Distance” itu sungguh me­nge­na. “Supaya jarak yang dengan jam penerbangan Jakarta-War­sa­wa selama 15 jam ini jadi bisa le­bih dekat dan kita bisa lebih akrab lagi,” ujar Lutfi.

Sementara itu, Dubes Indonesia di Polandia Hazairin Pohan yang juga Ketua Penyelenggara Expo Indonesia di Warsawa, menga­takan, kehadiran Wakil Perdana Me­nteri (PM) Polandia Waldemar Pawlak di acara pembukaan Expo, me­nun­jukkan bahwa pihak Polan­dia sa­ngat serius meng­im­ple­men­tasikan hubungan politik yang sa­ngat baik ke dalam langkah-lang­kah pe­ning­katan di bidang eko­nomi.

“Beliau adalah Wakil Perdana Men­teri yang ditugaskan untuk me­nangani seluruh masalah ekonomi Polandia, baik dalam negeri mau­pun luar negeri. Dan beliau sangat bersimpati sekali dengan Indonesia,” ujar Hazirin dalam wa­wancara khusus dengan Rakyat Merdeka.

Sebagai salah satu negara Uni Eropa (UE), lanjut Hazirin, peme­rintah Polandia berusaha agar ba­rang-barang pameran tidak men­dapat hambatan untuk masuk ke wilayah Uni Eropa. Dukungan pemerintah Polandia lainnya adalah memberikan kemudahan dokumen perjalanan berupa visa, karena Polandia sudah masuk ke dalam Schengen country.

“Prosedur untuk memperoleh visa Schengen saat ini tidaklah mudah. Namun, Polandia telah menunjukkan secara nyata du­kungan mereka kepada kita demi peningkatan hubungan ekonomi secara keseluruhan,” jelasnya.

Diakui Hazirin, jarak Indo­nesia-Polandia memang menjadi alasan klasik mandeknya hu­bu­ngan dagang kedua negara. “Na­mun di era globalisasi, malu jika kita berargumentasi kurangnya ekspor ke Eropa Timur hanya ka­rena jarak yang jauh. Tetapi, me­ngapa China, Thailand, Malay­sia dan lain-lain yang juga berja­rak jauh kok angka perda­gangan­nya me­ningkat terus?” kata Hazirin.

Untuk itulah, tambah Dubes Hazirin, muncul tema “Bridging the Distance”. Artinya, ada jarak waktu dan tempat, tapi kita per­singkat. “Kami menyikapi jarak itu dalam artian mental, tidak fisik. Artinya, kita bisa saja ber­tetangga, tetapi jika hati kita jauh malah kita akan lebih dekat de­ngan teman di luar kota. ­

Ditanya apa yang diharapkan dari Expo Indonesia ini, Hazirin menyatakan, dengan tema “Brid­ging the Distance” bertujuan un­tuk mendekatkan produk In­do­nesia dari pasar Eropa, yang me­rupakan pasar yang paling penting bagi Indonesia. rm

Energi Langka Cemaskan RI-UE

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=58983
Rakyat Merdeka, Senin, 31 Maret 2008, 00:55:05

Energi Langka Cemaskan RI – UE

KEBUTUHAN dan kelangkaan energi, meningkatnya harga dan aspek perlindungan lingkungan menjadi keprihatinan Uni-Eropa (UE) dan Indonesia bersama.– Demikian sebagian isu yang mencuat dalam dialog terbuka Kamis (27/03) para diplomat Indonesia dengan wakil anggota parlemen Eropa di Brussel.

Koresponden Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwijaya dari Belanda melaporkan bahwa menurut Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Brussels PLE Priatna, dialog terbuka ke-35 diplomat RI dengan anggota parlemen Eropa di Gedung Parlemen Eropa ini berlangsung dalam rangka pertemuan para counselor ekonomi dan atase perdagangan, ITPC (Indonesian Trade Promotion Center) dan atase perindustrian se wilayah Eropa di Brussel, 26-28 Maret 2008.

Pertemuan yang berlangsung dua hari tersebut digagas KBRI Brussel-Belgia dengan bekerjasama dengan Komisi Eropa. Tujuannya untuk melakukan koordinasi dan sosialisasi dalam rangka memahami kebijakan ekonomi Uni Eropa dan antisipasi bersama yang dilakukan Indonesia terhadap pasar Uni Eropa ini.

Pertemuan koordinasi para pejabat di bidang ekonomi wilayah Eropa di Brussel ini dibuka Nadjib RIPHAT Kesoema, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa. Hadir juga Hazairin Pohan, Duta Besar RI untuk Warsawa yang akan bertindak sebagai tuan rumah 1st IE-CEE, serta Djauhari Oratmangun - Wakil Kepala Perwakilan RI untuk Kerajaan Belanda.

“Langkah koordinasi dan sosialisasi para pejabat bidang ekonomi se-wilayah Eropa ini mendapat respons baik dari kedua belah pihak dan akan dilakukan secara regular serta melibatkan juga para pejabat bidang lain dengan komisi dan parlemen Uni Eropa. Dialog terbuka ini semakin membuka wacana kerjasama Indonesia baik dengan pihak komisi maupun parlemen UE,” ujar PLE Priatna.

Dialog dan pembicaraan dengan Komisi Eropa pada hari pertama diisi dialog mengenai kerjasama ekonomi UE-Indonesia dalam konteks ASEAN-UE. Materi Perjanjian Lisbon dan Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa berikut konsekuensi yang dihadapi. Peningkatan Hubungan Perdagangan dan Investasi, Kebijakan UE di Bidang Keamanan Pangan, Kebijakan UE di Bidang Energi dan Biofuel.

Kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang isu khusus menyangkut regulasi di bidang perdagangan, industri dan pertanian. Pemanfaatan data perdagangan, dan sosialisasi persiapan Indonesia Expo in Central and East Europe (1st IE-CEE), yang akan digelar di Warsawa, 7-10 Mei 2008 mendatang. Sebuah dialog promosional agar para pengusaha, buyers dari Uni Eropa berminat untuk mengunjungi pameran dagang di Warsawa, Mei mendatang itu. rm

Perawat Indonesia Incar Pasar Negeri Kincir Angin

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=57648
Rakyat Merdeka, Minggu, 09 Maret 2008, 04:25:49

Perawat Indonesia Incar Pasar Negeri Kincir Angin

SUNGGUH miris ketika mendengar julukan yang diberikan kepada negeri kita tercinta sebagai pengekspor tenaga kerja Indonesia (TKI) non formal tanpa pendidikan dan keahilan. Faktanya, Indonesia ngetop sebagai pengekspor TKI tang tidak punya skill dan pendidikan seperti pembantu rumah tangga (PRT) atau buruh perkebunan yang sebagian besar bekerja di Malaysia, Hong Kong, Taiwan dan sejumlah negara di Timur Tengah.

Namun, kondisi itu tidak terjadi di Belanda. Kebanyakan warga Indonesia yang bekerja di Negeri Kincir Angin adalah mereka yang punya skill, di antaranya perawat. Tak mengherankan jika baru-baru ini, digelar acara peresmian dan pelantikan pengurus organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia/Indonesian Nasional Nurses Association (PPNI/INNA) cabang Belanda di Aula Nusantara KBRI Den Haag.

Koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya melaporkan, tujuan didirikannya PPNI adalah untuk mempersatukan seluruh perawat yang bekerja di Belanda, melindungi, mengayomi, membina dan mengem­bangkan perawat Indonesia di Belanda dalam upaya meningkatkan keilmuan, asuhan keperawatan yang profe­sional, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum. Untuk periode 2007-2009, PPNI cabang Belanda diketuai Syafii Kamil dan Ade Ika Palupi (Sekretaris).

Acara pendirian PPNI itu dihadiri Wakil Kepala Perwakilan RI (Wakepri) KBRI Den Haag Djauhari Oratmangun. Menurut Djauhari, untuk memperluas kesempatan dan peluang kerja bagi TKI, KBRI Den Haag juga berupaya untuk melakukan riset di lapangan terhadap kebutuhan Belanda atas tenaga kerja asing, khususnya dari Indonesia.

“KBRI juga ikut mempromosikan TKI serta pendekatan-pendekatan kepada sejumlah pejabat di instansi-instansi terkait yang berwewenang mengenai penempatan tenaga kerja asing,” kata Djauhari.

Djauhari mengingatkan, dengan diberlakukannya pengaturan penggunaan tenaga kerja asing/non UE (Uni Eropa) melalui Aliens Employment Act (Keputusan Uni Eropa), telah menyebabkan peluang kerja bagi TKI semakin terbatas. Sesuai peraturan Aliens Employment Act di sektor tenaga kerja, menurut Djauhari, Belanda memprioritaskan penerimaan tenaga kerja asing yang berasal dari negara-negara anggota UE.

Penggunaan tenaga kerja asing hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan, bahwa tenaga kerja yang dibutuhkan tidak terdapat baik di dalam negeri Belanda maupun di negara-negara anggota UE lainnya. “Hal ini sangat membatasi kesempatan bagi TKI untuk bekerja di Belanda, kecuali tenaga kerja kita memiliki kualitas, keahlian dan daya saing yang tinggi,” ujarnya.

Untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kualitas TKI, lanjut Djauhari, Pemerintah Indonesia dituntut untuk dapat memfasilitasi pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kualitas dan kualifikasi TKI sesuai standar internasional. rm

SBY Juga Masih Budayakan Kebal Hukum

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=44399

LAPORAN DARI BELANDA

SBY Juga Masih Budayakan Kebal Hukum

myRNnews, Jumat, 05 Oktober 2007, 11:37:49 WIB


Diemen, myRMnews. Pada Minggu 30 September 2007 yang lalu, di Diemen (di pinggir Kota Amsterdam) Lembaga Pembela Korban 1965 telah menggelar pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965”. Tiga tema yang diangkat oleh masing-masing pembicara dalam pertemuan tersebut: (1) Sambutan M.D.Kartaprawira (Ketua Lembaga Pembela Korban /LPK/ 1965) dengan tema “Semakin Gelap Jalan Menuju ke Kebenaran dan Keadilan”; (2) sambutan Cipto Munandar (Ketua Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie) berjudul “42 Tahun Tragedi Nasional 1965”; (3) sambutan Martha Meijer (Ketua HOM - Humanist Committee on Human Rights) bertemakan “Impunitas di Indonesia”.

Sulit untuk dibantah dan adalah suatu kenyataan, bahwa setelah terjadinya peristiwa apa yang disebut G30S tahun 1965, berlangsunglah kudeta merangkak yang dilakukan oleh (ketika itu) Letjen Soeharto dan para pendukungnya untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari kedudukannya.

Proses pengambilalihan kekuasaan Presiden Soekarno ke tangan Letjen Soeharto cs tersebut berlangsung perlahan-lahan namun pasti. Dan dalam proses untuk pengambilan kekuasaan oleh Letjen Soeharto cs tersebut dilaksanakan dengan melakukan pembunuhan massal terhadap mereka yang terindikasi atau diindikasikan sebagai anggota PKI ataupun organisasi-organisasi massanya.

Berbagai pembantaian yang kejam juga dilakukan terhadap para pendukung setia Presiden Soekarno. Tanpa proses pengadilan jutaan orang tak bersalah apapun dengan kekejaman yang luar biasa disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara-penjara dan ribuan orang diasingkan ke Pulau Buru. Bagi warganegara RI yang berada di luar negeri, yang mendukung pemerintah dibawah Presiden Soekarno, rezim Orba mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka.

“Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran HAM berat tersebut harus diselesaikan”, tegas M.D. Kartaprawira.

Menyinggung soal TAP MPRS Nomor XXV/1966, M.D.Kartaprawira menyatakan, adalah kesalahan besar menjadikan TAP MPRS Nomor XXV/1966 sebagai dasar untuk menghalalkan pembantaian massal dan pembuangan/penahanan massal 1965-1967. Sebab TAP tersebut, menurut Kartaprawira, dengan jelas hanya menyatakan pembubaran PKI serta onderbouw-nya dan pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, yang tidak dapat diartikan sebagai perintah pembantaian massal tersebut di atas. Bahkan kalaupun PKI terbukti bersalah, pembantaian massal dan semacamnya tetap tidak dapat dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan.

“Watak otoriter rejim Orde Baru berbeda seperti bumi dan langit dibandingkan dengan kebijakan Soekarno, di mana ketika Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena terbukti tersangkut dalam pemberontakan PRRI-Permesta, toh tidak terjadi pembunuhan terhadap anggota-anggota kedua partai tersebut, apalagi pembantaian massal”, tegas M.D.Kartaprawira.

“Pada 42 tahun yang lalu terjadi peristiwa 30 September 1965 yang disusul dengan naiknya kekuasaan militer Orde Baru Soeharto dan terjadi pembantaian jutaan manusia Indonesia tak berdosa, perampasan segala hak sipil dan kemanusiaan jutaan keluarga Indonesia. Hingga saat ini diskriminasi atas sebagian besar bangsa Indonesia masih berlangsung”, ujar Cipto Munandar dalam sambutannya. Walaupun presiden Soeharto sudah lengser, lanjut Munandar, pada Mei 1998, hampir sepuluh tahun yang lalu dan secara formal kita berada pada apa yang dikatakan “era reformasi”, belum ada perubahan mendasar dalam situasi tersebut.

“Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat rezim berkuasa akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain yang tak bernama,” papar tegas Cipto Munandar.

Sesuai dengan tema yang dibawakannya “Impunitas di Indonesia”, Martha Meijer menegaskan, berbagai kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi sejak tahun 1965 sampai saat ini masih terus berlangsung. Meskipun diakuinya bahwa dia tidak membikin analisis yang mendalam tentang G30S sendiri. “Saya mencoba untuk melihat bagaimana pelaku pelanggaran HAM tanpa mendapat hukuman, impunitas di Indonesia masih terus berlangsung”, kataya. “Itu pertanyaan yang paling penting untuk saya sendiri’, ujar Martha Meijer.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa 1965 tersebut adalah pelanggaran berat HAM. Dalam konteks ini ada banyak bentuknya: dengan penghilangan orang secara paksa; penahanan semena-mena; pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang yang tidak bersalah dan sebagainya – semua itu adalah termasuk kategori pelanggaran berat HAM. Dan itu harus ada proses keadilan,” ujar Mugiyanto - Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) - seusai pertemuan ketika bincang-bincang dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya. Berikut ini petikannya.

Kami dengar Anda baru saja datang dari Jenewa. Dalam rangka apa Anda ke sana?
Saya ke Jenewa untuk menghadiri Sidang Dewan HAM PBB dan juga peluncuran Koalisi Internasional Melawan Penghilangan Paksa ( International Coalition Against Enforced Disappearances - ICAED) di Jenewa pada tanggal 26 September 2007 yang lalu. Koalisi Internasional ini didirikan dan diluncurkan oleh organisasi-organisasi yang bergerak di bidang HAM, khususnya penghilangan orang secara paksa. Dan saya mewakili AFAD (Asian Federation Against Disappearances/Federasi Organisasi Orang Hilang Asia). Yang menjadi anggota ICAED ini pada saat ini adalah Amnesty Internasional, Human Rights Watch, AFAD, HOM (Humanist Committee on Human Rights), FIDH (Federation Internationale des Leagues des Droits de l’Homme) yang berbasis di Paris (Perancis), kemudian FEDEFAM (Fighting Against Forced Disappearances in Latin America/Federasi Keluarga Orang Hilang di Amerika Latin), ICJ (International Commission of Jurists), Federasi Organisasi Keluarga Orang Hilang di Europa Mediterranean. Jadi organisasi-organisasi inilah yang meluncurkan Koalisi Internasional Melawan Penghilangan Paksa (ICAED) ini dengan tujuan supaya negara-negara melakukan ratifikasi atas konvensi yang baru saja diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 2006 yang lalu, yaitu Konvensi Internasional Melawan Penghilangan Orang Secara Paksa. Dan kemarin, hari Sabtu (29/09), kami bertemu dengan Perwakilan Tetap RI di Jenewa. Kami menanyakan tentang janji pemerintah Indonesia, karena sebagaimana disampaikan oleh Hamid Awaluddin (yang ketika itu) sebagai Menteri Hukum dan HAM pada bulan Maret 2007 yang lalu pada Sidang HAM di Jenewa mengatakan, bahwa Indonesia akan menandatangani Konvensi ini, sebelum melakukan ratifikasi.

Jadi, kami mempertanyakan janji ini kepada staf Perwakilan Tetap RI untuk PBB di Jenewa. Dan mereka mengatakan, memang Indonesia merencanakan untuk melakukan suatu penandatanganan di New York. Dan kebetulan pada saat ini Menlu RI sedang berada di luar negeri.

Maksud kedatangan Anda ke Belanda?
Keberadaan saya di Belanda ini untuk beberapa tujuan, antara lain untuk mensosialiskan perkembangan di mana ada konvensi baru, ada organisasi koalisi internasional HAM yang baru untuk kasus penghilangan orang secara paksa. Dan saya tahu di Belanda ini banyak korban peristiwa tahun 1965. Banyak saudara-saudara mereka di Indonesia yang juga hilang. Dan menurut saya, akan bagus jika teman-teman di Belanda ini juga melakukan presure (tekanan) dari sini. Dan bagus juga untuk mulai mengambil inisiatif-inisiatif untuk membawa kasus-kasus peristiwa tahun 1965, terutama mengenai penghilangan paksa ke arena internasional.

Sebelum berangkat ke Jenewa, saya sudah tahu akan ada pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965” di Amsterdam hari ini (Minggu, 30/09 – red.). Dan saya memang merencanakan untuk hadir dalam pertemuan ini untuk juga berbagi pengalaman dan menyampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan perkembangan situasi HAM di Indonesia. Dan saya juga memberikan masukan apa yang mungkin bisa dilakukan oleh para korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Pendapat Anda mengenai pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965” ini?
Pertemuan ini menurut saya bagus. Karena mereka yang selama ini berada di sini bisa bertemu dan saya tidak begitu yakin, bahwa mereka sering mengadakan pertemuan seperti ini. Bagus dalam artian juga mereka membicarakan hal-hal yang menurut saya cukup konkret. Yaitu, apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menangani dan menyelesaikan kasus yang menimpa mereka – peristiwa tahun 1965. Dan kebetulan hari ini adalah peringatan peristiwa tersebut.

Sehubungan dengan ini, saya berpendapat, pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa 1965 adalah pelanggaran berat hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ini ada banyak bentuknya: dengan penghilangan orang secara paksa; penahanan semena-mena; pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang yang tidak bersalah dan sebagainya – semua itu adalah termasuk kategori pelanggaran berat HAM. Dan itu harus ada proses keadilan.

Dalam pertemuan ini, saya mendapat kesempatan menyampaikan beberapa pendapat: Pertama, korban peristiwa 1965 harus berpartisipasi aktif pada proses ke depan dalam merumuskan ulang sebuah Undang-undang tentang Komisi Kebenaran. Menurut saya, Komisi Kebenaran sangat penting sebagai instrumen non judicial yang bisa digunakan untuk menangani kasus ’65.

Kedua, saya juga mengharapkan ada partisipasi aktif dari korban peristiwa ’65 untuk merumuskan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ke depan yang berpihak kepada korban. Karena Undang-undang KKR yang sebelumnya, yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni UU No.27 tahun 2004, menurut saya memang tidak bagus. Salah satu alasannya mengapa saya katakan tidak bagus, karena partisipasi korban sangat minim. Sehingga undang-undang tersebut tidak sensitif.
Ketiga, mulai mengambil inisiatif-inisiatif untuk mengumpulkan data-data konkret, membawa kasus-kasus peristiwa tahun 1965, terutama mengenai penghilangan paksa ke arena internasional.

Sebagai jalan keluar atau penyelesaian persoalan eks mahasiswa ikatan dinas (eks-Mahid) dan “orang-orang terhalang pulang” lainnya, pemerintah SBY tampaknya atau paling tidak ada kecenderungan kuat “menawarkan” UU No.12 tahun 2006 (yang diundangkan pada pada tgl 1 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara RI tahun 2006 nomor 63) tentang Kewarganegaraan RI pasal 41 (Tatacara Pendaftaran untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI) dan pasal 42 (tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia). Komentar Anda?
Menurut pendapat saya, apa yang terjadi terhadap mereka ini, yang dimaksud dalam UU Kewarganegaraan ini adalah mereka yang menjadi korban politik. Jadi ini sebuah peristiwa politik. Sehingga tidak bisa diperlakukan seperti, kalau saya mengatakan, itu adalah negara memperlakukan sebagai kriminal atau orang yang abai, orang yang ignorant sehingga( selama lima tahun berturut-turut) tidak melaporkan kewarganegaraannya. Padahal persoalannya tidak demikian. Mereka adalah warganegara Indonesia, yang karena sebuah peristiwa politik di Indonesia mereka dicabut hak kewargenegaraan/paspornya. Jadi menurut saya ini adalah bukan masalah paspor. Tetapi bagaimana negara memposisikan mereka, memposisikan warganegara pada posisi yang sebenarnya. Jadi bukan sekedar masalah paspor.

Menurut saya, jika langkah ini yang diambil pemerintah pada saat ini (untuk penyelesaian masalah “orang-orang terhalang pulang” – red), maka kelihatan sekali pemerintah masih tidak mengubah wataknya dari pemerintah sebelumnya, terutama pemerintahan Orde Baru Soeharto. Menurut saya, langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat ini berhubungan dengan warganegara Indonesia yang berada di luar negeri, antara lain yang berada di Negeri Belanda ini, adalah meminta maaf bahwa apa yang terjadi pada masa lalu, apa yang dilakukan oleh rezim pada masa lalu adalah sebuah kesalahan, suatu pelanggaran HAM.

Baru ketika, pemerintah mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan pada masa lalu adalah sebuah kesalahan, menurut saya, hal-hal yang berhubungan dengan paspor dan lain-lain adalah masalah teknis yang bisa diselesaikan kemudian. Tapi pada prinsipnya, harus ada pengakuan negara, bahwa negara melakukan kesalahan, melakukan perampasan hak-hak warganegara pada masa lalu, dan ini adalah pelanggaran HAM. ***

200 Ribu Turis Belanda Siap Geruduk Indonesia


200 Ribu Turis Belanda Siap Geruduk Indonesia
Selasa, 15 Januari 2008, 17:00:37 WIB

Laporan: A.Supardi Adiwidjaya, Koresponden Rakyat Merdeka dan myRMnews di Belanda.

Den Haag, myRMnews. Setiap permulaan tahun di gedung Jaarbeurs di kota Utrecht diselenggarakan (kali ini tanggal 8-13 Januari 2008) Vakantiebeurs (Travel Fairs).

Ini merupakan kegiatan yang terbesar di Belanda. Ada sekitar 140 ribu pengunjung setiap tahun yang mengunjungi tempat ini dan ada sekitar 1600 pengusaha travel dari berbagai negara.

“Ini adalah salah satu kegiatan KBRI dalam usaha untuk mensukseskan kunjungan para wisatawan ke Indonesia pada tahun 2008 ini”, ujar Kepala Bidang Pensosbud KBRI Den Haag, Firdaus Dahlan, kepada Rakyat Merdeka baru-baru ini.

Dikatakan Firdaus, setiap tahun calon potensial turis berkunjung ke Travel Fairs ini. Dalam pameran ini antara pengusaha dan calon wisatawan bertemu, merencanakan perjalanan mereka pada musim panas atau pada akhir tahun ini.

“Nah event ini adalah salah satu kegiatan yang sangat potensial yang kita ikuti sebagai upaya untuk meningkatkan atau menjaring lebih banyak lagi wisatawan Belanda datang ke Indonesia”, kata Firdaus.

Menurut Firdaus, kebetulan juga pemerintah Indonesia menggalakkan tahun 2008 ini sebagai tahun kunjungan wisata. Nah, KBRI berusaha untuk mensukseskan tahun kunjungan wisata ini.

“Kita tahu persis, Belanda adalah salah satu potensial market untuk wisatawan yang akan berkunjung ke Indonesia. Dan Belanda adalah satu pasar yang terbesar di Eropa setiap tahun”, kata Firdaus.

Dubes untuk Belanda Junus Effendi Habibie mempertegas apa yang dikemukakan oleh Firdaus.
“Kita melihat kegiatan Vakantiebeurs ini sebenarnya suatu tempat yang paling strategis dan baik sekali untuk mempromosikan datangnya para turis Belanda ke Indonesia”, kata Junus Habibie yang akrab dipanggil Fannie ini.

“Belanda ini penduduknya sekitar 10 persen ada ikatan dengan Indonesia. Jadi tahun 2007 yang baru lalu itu saja sekitar 130-an ribu turis Belanda datang ke Indonesia. Dan pada tahun 2008 ini kita berusaha untuk mendatangkan turis Belanda sekitar 200 ribu orang”, terang Dubes Junus Effendi Habibie optimis.

Yang saya sayangkan, lanjut Fannie, pemerintah ini masih kurang memanfaatkan tempat ajang di Belanda ini. Pemerintah tidak mengorganisir berbagai travel biro Indonesia untuk datang ke sini. “Padahal pasaran ini sungguh banyak. Seperti di Inggris ketika saya di sana sebagai Dubes, ada sepuluh lebih tempat digunakan oleh travel biro Indonesia untuk mempromosikan parawisata ke Indonesia”, kata Fannie.

Untuk mempromosikan Indonesia di mata Belanda dan Belgia, belum lama ini
ini juga digelar pentas seni dan budaya Indonesia dengan tajuk “One Hour across Archipelago”.

Hadir dalam acara malam seni budaya tersebut Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa Nadjib Riphat Kesoema, yang datang khusus dari Belgia. Dari Brussels Nadjib Riphat bersama stafnya membawa gamelan Bali lengkap dengan para penabuh dan juga para penarinya.

Pertunjukan gamelan Bali dipimpin oleh I Made Agus Wardana. Sedang KBRI Den Haag menampilkan grup tari Wayang Srikandi dengan koreografer Agustina Supardi. Pertunjukan seni budaya Indonesia tersebut mendapat sambutan hangat dan meriah dari para penonton. yat