Tuesday, November 02, 2010

Cornelis Lay Beberkan Kekuatan Pembendung Neolib



WAWANCARA (6)

Cornelis Lay Beberkan Kekuatan Pembendung Neolib

Selasa, 02 November 2010 , 17:58:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Kekuatan neo liberalisme diprediksi akan meluluhlantakan perekonomian Indonesia. Perlahan demi perlahan bukan hanya perekonomian yang akan dikuasai, tapi semua sendi perekonomian bangsa dan negara.

Lalu kekuatan manakah yang bisa menandingi kekuatan modal asing ini?

Berikut adalah penuturan Gurubesar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Cornelis Lay, ketika berbincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda tentang kekuatan yang bisa membendung kekuatan neoliberalisme.

Dalam situasi demikian itu di Indonesia saat ini, kekuatan atau partai politik yang mana yang bisa menandingi kekuatan neoliberal?

Agak sulit kita mau menyebutkan dengan nama. Tetapi kekuatan yang dari sudut sejarah. Dari sudut ideologi yang dipegang, mestinya kekuatan-kekuatan nasionalis seperti yang dipresentasikan oleh PDI Perjuangan.

Semua orang akan mudah menerima itu. Akan tetapi ini juga bukan merupakan jaminan. Kenapa? Karena neoliberal ini sebuah gagasan yang susah ditangkap. Meraba-raba itu. Dia tidak datang menempelengi orang. Dia tidak datang langsung membuat orang miskin. Karena ideologi, penetrasinya perlahan-lahan. Karena itu, sekalipun partai seperti PDI Perjuangan itu secara ideologis dia bisa kita harapkan menjadi alternatif dan menjadi kekuatan yang mampu melawan ide-ide neoliberal, orang per orang yang ada di PDI Perjuangan belum tentu paham itu.

Orang seperti Kwik Kian Gie, dia akan paham dengan sangat luar biasa. Karena itu dia bisa menjelaskan, dia bisa menulis, dia bisa menggambarkan dengan sangat detail dan dengan cara cukup sederhana apa itu neoliberal, bagaimana dia bekerja, apa akibatnya, apa bukti-buktinya dan seterusnya.

Tapi kalau kita nanya ke orang PDI Perjuangan yang sama sekali tidak punya pengetahuan ideologi, ya sudah di depan matanya neoliberal pun bekerja, dia nggak bakal nangkap hakekatnya.

Kenapa saya harus katakan ini? Karena proses pembuatan berbagai undang-undang yang sangat neoliberal itu, yah orang dari PDI Perjuangan juga terlibat. Ada satu dua orang dari PDI Perjuangan yang saya tahu melawan dengan sangat luar biasa. Tetapi lebih banyak yang nggak ngerti juga. Karena itu, menurut saya, pertanyaan apakah ada partai atau apakah ada kekuatan, yang lebih penting pertanyaannya adalah apakah ada ideologi yang melekat di dalam bukan saja partai, tetapi juga di dalam pelaku-pelaku politik, yang bisa kita percayai sebagai penyeimbang.

Nah, kalau itu memang semua kita punya, tapi nyebar ke partai-partai bervariasi sebenarnya, kekuatan yang paham betul tentang neoliberal itu.Nah, kekuatan yang sebenarnya bisa menjalankan fungsi dengan baik itu adalah kampus. Tetapi fakultas ekonomi kita di seluruh kampus di seluruh Indonesia, dugaan saya lebih dari 90% orang percaya kepada gagasan neoliberal.

Kemudian kalau ada partai atau politisi yang tidak mengikuti itu dianggap bodoh. Orang seperti Revrisond Baswir itu kan dianggap orang aneh. Untuk ekonom-ekonom kita yang di perguruan tinggi dianggap orang aneh, orang yang sedang mau memelihara atau membangkitkan sesuatu yang dianggap pasti nggak ada gunanya. Nah ini kan membuat ekonom berikutnya juga ragu-ragu untuk mengikuti. Orang seperti Kwik Kian Gie itu kan nggak dianggap apa-apa oleh ekonom yang lain, ngerecokin saja. Kalau ilmuwannya sendiri saja sudah ragu-ragu terhadap kekuatan negara sebagai alternatif terhadap pasar, ya politisi lebih-lebih lagi. Jadi memang kompleks dan sangat besar persoalan kita di situ.

Tadi sudah saya sebutkan, kalau kita melihat qua ideologi, PDI Perjuangan itulah tumpuan bagi mereka yang percaya, bahwa neoliberal itu bukan jalan keluar bagi Indonesia. Itu pertama. Kedua, tapi juga saya sebutkan bahwa bukan sekedar nama dan ideologi yang disandang yang menyebabkan bisa menghadang kekuatan neoliberal. Ketiga, alasannya sangat praktis. Jika berkompetisi Mega sama SBY, kan masing-masing menawarkan platform yang berbeda. Dalam Pemilu 2009 yang lalu, Mega menawarkan ekonomi kerakyatan. SBY yang jelas menekankan, lanjutkan apa yang sudah dikerjakan, yang waktu itu orang menafsirkan, lebih-lebih karena Boediono ada di dalam, lanjutkan kebijakan neoliberal.

Rakyat sudah memutuskan memilih. SBY yang menang. Dan dua ideologi ini adalah ideologi yang terpisah dan saling berhadapan. Dan tidak mungkin mereka itu disatukan. Cara berfikir sederhana, ya bagaimana caranya air dan minyak bisa dipersatukan. Yang mereka itu memang berbeda samasekali , yang memang kontras.

Nah, menurut saya, sama halnya kalau ketika itu seandainya Mega menang, maka adalah lebih sehat SBY bertidak sebagai oposisi.

Dan yang terakhir, menurut saya, juga sekaligus mendidik orang untuk menghargai perjuangan dan sekaligus menghormati kekalahan. Jika orang itu bertarung, ya menang nggak masalah, ya kalau kalah nggak masalah. Artinya kalah juga dapat bagian. Maka nggak bakalan orang menghargai kemenangan. Nggak bakalan orang ingin menang secara bermartabat, kalah secara terhormat itu tidak bisa. Ini bagian pendidikan politik yang harus dijalankan. Perjuangan politik, yang menurut saya harus dijalankan, orang tahu kalau saya menang, saya akan ada di sana. Tapi orang lain juga tahu, kalau saya kalah saya juga tetap akan ada di sana. Tapi kalau kalah dan memang, tempatnya sama saja. Saya tidak melihat lagi apa gunanya perjuangan. Ya sudahlah kita duduk-duduk, bersekongkol saja, sepakat saja siapa Presiden, atau pakai lotre atau pakai apa, engga ada bedanya.

Saya orang yang sangat-sangat setuju, bahwa qua prinsip apa yang disebut dengan oposisi itu harus dilembagakan. Oposisi itu harus terus ada. Banyak orang yang cuma bersembunyi di dalam jargon, bahwa kita ini gotong royong. Gotong royong tidak berarti tidak ada oposisi.

Oposisi itu, menurut pendapat saya, adalah penggambaran dari alternatif kebijakan. Karena itu oposisi yang saya bayangkan dan mudah-mudahan bisa dijalankan oleh PDI Perjuangan itu bukan dia punya presiden bayangan (Megawati), wakil presiden bayangannya siapa, menteri-menterinya siapa. Bukan itu yang dimaksudkan dengan oposisi itu. Tetapi sekarang ini, dia punya gubernur, punya bupati di seluruh Indonesia, dia punya platform, dia punya ideologi ataupun platform yang disebut ekonomi kerakyatan, dia harus kerjakan itu sebagai alternatif cara berpemerintahan yang berbeda. Kemudian, coba dibuktikan dia punya gubernur itu, bahwa sebagai gubernur itu coba dia buktikan bisa melaksanakan ekonomi kerakyatan yang berbeda dengan ekonomi neoliberal, yang dijalankan oleh pemerintah nasional (pemerintah SBY) atau oleh gubernur lain.

Dengan cara seperti itu, kita mendidik rakyat untuk mulai melihat, ini lho, kalau anda berjalan dalam ide-ide ekonomi kerakyatan itu hasilnya ini. Cara kerjanya seperti ini. [arp]

Monday, November 01, 2010

Inilah yang Neolib Inginkan




Inilah yang Neolib Inginkan


Sabtu, 30 Oktober 2010 , 18:31:00 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

RMOL. Neoliberalisme mengungkung segala lini kehidupan bangsa Indonesia. Ini yang dipaparkan Gurubesar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay tatkala berbincang dengan Rakyat Merdeka Online di Leiden, Negeri Belanda.

Namun, memang ini yang kaum neolib inginkan. Merubah paradigma kerakyatan dengan ideologi pasar.

Berikut ini adalah sambungan wawancara tentang perang ideologi neolib melawan ekonomi kerakyatan seperti yang sebelumnya pernah dimuat.

Menyimak keterangan anda, tampaknya suram sekali masa depan kita ini. Komentar Anda?

Ya, tergantung bagaimana orang melihatnya. Kalau orang neoliberal, dia akan mengatakan tidak suram. Orang neoliberal akan mengatakan, bahwa masa depan kita akan cerah.

Mengapa? Karena kesulitan-kesulitan yang tampak saat sekarang ini muncul, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, hancurnya perusahaan-perusahaan nasional, hancurnya ekonomi nasional itu sekedar harga wajar yang harus dibayar dalam proses kita sungguh-sungguh menjadi bagian dari praktek neoliberal secara global.

Jadi mereka bilang, ya ada rupa ada harganya. Itu harga yang harus dibayar. Itu bagi mereka-mereka yang percaya pada neoliberal , yang melihat masa depan itu cerah lewat pasar.

Tapi bagi orang seperti saya yang pertama-tama juga sudah mempelajari perkembangan dari berbagai peradaban, bagaimana harga kemanusiaan itu harus dibayar dengan begitu mahal, kemiskinan yang sangat massal, dari peradaban-peradaban di Eropa yang tumbuh, di Amerika Serikat yang tumbuh dan seterusnya, merasa bahwa ya memang masa depan kita suram dengan neoliberal. Karena dia akan mengulangi lagi keganasannya untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang di bawah, seperti yang dia lakukan pada periode-periode yang lalu di Barat.

Saya percaya betul, bahwa justru karena itu kita memutuskan punya negara. Justru karena Indonesia itu habis-habisan dieksploitasi oleh gagasan pasar pada waktu itu dalam bentuk imperialisme, kapitalisme itu, maka kita memutuskan berkelahi habis-habisan, nyawa banyak yang hilang untuk membentuk sebuah negara dengan asumsi , bahwa sebagai otoritas politik dia itu menjalankan tanggungjawab bagi kepentingan warganegaranya. Dan hal ini mestinya kita jaga terus.Kalau nanya ke orang-orang yang percaya kepada neolib itu udah benar.

Kalau nanya ke orang seperti saya, saya akan mengatakan, ya kita sedang menggali kuburan kita. Saya orang yang sangat percaya, bahwa proses kita menjadi bagian dari praktek neoliberal secara global itu sebenarnya cara yang paling cepat untuk kita sebagai bangsa mati. Mungkin kita sebagai sebuah negara kita tidak akan bubar. Tapi apa sih makna dari sebuah negara kalau dia samasekali tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri seperti yang Bung Karno ajarkan.

Benar sebuah negara itu harus tampak dari kualitasnya, yang bisa berdaulat ketika dia memutuskan kehidupan politiknya. Dia bisa tegak di atas kakinya sendiri ketika membangun ekonominya. Tapi sekaligus Indonesia bisa dibedakan dari bangsa-bangsa yang lain, ketika orang merujuk pada dentitas kultural, kebudayaan dia. Itulah Triksakti, yang saya kira menjadi ukuran paling sedikit, paling minimal ukuran yang paling rendah yang harus dipunyai oleh sebuah bangsa sebelum dia bisa mengatakan dirinya dia sebuah bangsa, sebuah negara. [arp]