Sunday, August 31, 2008

Hassan Tiro Ogah Menemui Delegasi DPR Aceh


LAPORAN DARI BELANDA (2)

Hassan Tiro Ogah Menemui Delegasi DPR Aceh
Minggu, 31 Agustus 2008, 11:14:22 WIB

Laporan: A.Supardi Adiwidjaya

Den Haag, myRMnews. Di Aula KBRI Den Haag diadakan pertemuan terbatas masyarakat Aceh dan beberapa wakil organisasi nonprofit Belanda yang memberikan bantuan bagi korban bencana alam (tsunami) dengan delegasi DPRD Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam atau DPR Aceh (DPRA), Kamis (28/08).

Seusai pertemuan tersebut koresponden Rakyat Merdeka dan myRMnews di Belanda A.Supardi Adiwidjaya bincang-bincang dengan Sekretaris Pansus XI DPRA Yusrizal Ibrahim masalah sekitar Wali Nanggroe Aceh Darussalam.

Salah satu poin yang dibahas adalah Wali Nanggroe Aceh. Sejauh ini referensi yang digunakan adalah Yang Dipertuan Negeri di Malaysia di empat negeri yang tidak mempunyai Kesultanan, seperti Pinang, Malaka, Sabah dan Serawak.

“Di sana kan tidak ada Sultan. Jadi di sana setiap lima tahun sekali dipilih seorang untuk menduduki jabatan yang Dipertuan Negeri, karena di sana tidak ada Sultan. Jadi itu bisa dijadikan model,” ujar Yusrizal Ibrahim.

Menurut Yusrizal, Wali Nanggroe ini memang amanah UU 11/2006. Kita di DPRA ini sebenarnya sudah terlambat, seharusnya Wali Nangroe ini setahun atau dua tahun yang lalu sesudah pengesahan UU 11/2006 kita sudah buat ini. Sementara sekarang sudah berjalan tiga tahun.

“Jadi memang dalam perjanjian Helsinski itu ada ketentuan bahwa akan ada Wali Nanggroe di Aceh lengkap dengan segala perlengkapan dan gelar kebesarannya. Jadi ini kan sangat kabur,“ kata Yusrizal.

Terdengar kabar, delegasi DPR Aceh tidak bisa bertemu dengan Teuku Hassan di Tiro di Swedia. Bagaimana penjelasan Anda?
Jadi memang hal ini menjadi suatu penilaian tersendiri bagi Pansus XI DPRA. Kita kan sebagai perancang qanun ini mencari informasi dari berbagai pihak, baik dari perunding dari pihak RI maupun dari pihak GAM. Memang dikatakan ada kesepakatan bersama untuk membuat Wali Nanggroe.

Tapi kesepakatan tersebut sangat sederhana. Oleh karena itu kami ingin tahu lebih jelas, lebih jauh, karena informasi di dalam pertemuan ketiga di Helsinski itu disepakati secara lisan bahwa Wali Nanggroe Aceh pertama itu adalah Teuku Hassan di Tiro.

Jadi kita tidak keberatan mengenai kesepakatan tersebut. Dan kita pun berpendapat bahwa Wali Nanggroe pertama itu memang sebaiknya Teuku Hassan di Tiro. Oleh karena itu kita harus bertemu dengan beliau. Ternyata ketika kita datang ke Swedia tidak bisa bertemu dengan beliau. Katanya kita tidak melalui prosedur dan sebagainya.

Kami sudah menempuh segala cara, perlu prosedur apa lagi. Ini menurut kami. Tapi bagi kami wacana bahwa Wali Nanggroe yang pertama Hassan Tiro dan kami tidak bisa bertemu dengan beliau, maka wacana itu gugur.

Kalau beliau ada tamu dari jauh dan orang-orang dekatnya tidak mau bertemu, maka hal itu saya pikir beliau tidak layak jadi Wali Nanggroe. Dan kami mendapat informasi di Swedia, jangankan kami yang datang dari jauh, orang-orang Aceh yang tinggal di Swedia sendiri tidak bisa bertemu dengan beliau.

Jadi hal ini aneh. Pemimpin yang bagaimana ini. Seharusnya pemimpin yang kini berada di rantau itu kan harus dekat dengan rakyatnya, dia harus mengayomi. Jadi ini, berdasarkan kunjungan ini kenyataan di lapangan sebagian dari anggota Pansus XI ini berubah pikiran. Mungkin wacana tentang Wali Nanggroe pertama Hassan Tiro itu akan kita kesampingkan.

Karena ini kan kita dalam membuat qanun Wali Nanggroe ini kan ada rapat-rapat, dilakukan berbagai pertemuan, ada tahapan-tahapan. Di Swedia kita ingin bertemu dengan Teuku Hassan di Tiro untuk meminta kesediaan beliau menjadi Wali Nanggroe yang pertama dari Aceh Darussalam.

Jika beliau bersedia, wewenang macam apa yang beliau kehendaki. Karena di sana ada suara-suara dari pihak KPA (Komite Peralihan Aceh) atau GAM, yang ingin supaya wewenang Wali Nanggroe itu memecat Gubernur, membubarkan parlemen. Ini kan sesuatu yang mustahil.

Tetapi kalau kita ketemu, kita kan bisa bicara, kita berunding. Tetapi jika beliau ketemu saja tidak mau, ya bagaimana? Berarti gugurlah wacana beliau dijadikan Wali Nanggroe yang pertama. Jadi hal ini buntu. Dengan kebuntuan ini, tetap saja Wali Nanggroe ini kan harus dibentuk.

Kemudian siapa yang akan menjadi Wali Nanggroe. Artinya kita akan membuat peraturan sesuai dengan draft qanun tentang Wali Nanggroe yang ada.

Siapa saja yang memenuhi syarat, kan ada syarat-syaratnya: warganegara Indonesia, beragama Islam, memahami budaya Aceh kharakter Aceh, memahami nilai-nilai keacehan, dan sebagainya.

Mungkin karena ketentuan yang menjadi Wali Nanggroe itu warganegara Indonesia itulah Teuku Hassan Tiro tidak berkenan bertemu?
Tapi kan Aceh ini bagian dari Republik Indonesia. Dan pemerintah pusat kan sudah memutuskan bagi orang-orang Aceh yang ingin pulang kembali ke Aceh dan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sangat dipermudah, tidak dipersulit.

Ini kan satu peluang besar. Tidak mungkin kan orang akan menjadi Wali Nanggroe di Aceh apabila bukan warganegara Indonesia. Itu tidak mungkin, tidak masuk akal.

Tapi ini pun bisa kita bicarakan. Dan terobosan-terobosan tentu kita bisa usahakan. Tetapi kalau ketemu saja tidak bisa, ya akhirnya wacana ini ya bisa saja kita kesampingkan.

Namun ini hanyalah pendapat saya pribadi. Mengenai hal ini Pansus XI akan membicarakannya secara baik dan menyeluruh, dan baru setelah itu akan mengambil keputusan yang terbaik bagi Aceh. [yat]

Menunggu Hassan Tiro Pulang ke Aceh


LAPORAN DARI BELANDA (1)

Menunggu Hassan Tiro Pulang ke Aceh
Minggu, 31 Agustus 2008, 09:37:08 WIB

Laporan: A.Supardi Adiwidjaya


Den Haag, myRMnews. Di Aula KBRI Den Haag diadakan pertemuan terbatas masyarakat Aceh dan beberapa wakil organisasi nonprofit Belanda yang memberikan bantuan bagi korban bencana alam (tsunami) dengan delegasi DPRD Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam atau DPR Aceh (DPRA), Kamis (28/08).

Pertemuan tersebut dibuka oleh Dubes Junus Effendi Habibie, dan kemudian acara tersebut dipandu oleh Koordinator Fungsi Politik Dr.Siswo Pramono.

Menurut Wakil Ketua DPR Aceh H.Waisul Qaran Aly, beberapa hari yang lalu delegasi Dewan selama tiga malam berada di Swedia. Kemudian pagi harinya sampai di Nederland.

Di Belanda, rombongan DPRA akan menggelar sejumlah acara beberapa hari. Dan pada hari Minggu (30/08) mereka sudah akan kembali ke Indonesia dan singgah beberapa hari di Kuala Lumpur, Malaysia.

“Kunjungan ke Swedia sebenarnya ingin menjajagi dan ingin mendengar bagaimana pendapat masyarakat Aceh yang ada di negeri tersebut terhadap Rancangan Qanun Wali Nanggroe, yang telah diperintahkan dalam UU No.11/2006 sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinski,” ujar Waisul Qaran Aly.

Jadi untuk itu, lanjut Waisul, kita ingin mengumpulkan semua pendapat masyarakat, agar Qanun Wali Naggroe nanti bisa berkualitas dan mumpuni, bisa mengayomi semua pendapat masyarakat Aceh yang ada, baik di Aceh, di luar Aceh maupun di luar negeri.

Rombongan terdiri atas 16 orang anggota Pansus XI DPR Aceh, dan ditambah para ahli, maka rombongan semuanya berjumlah 20 orang. Di Swedia delegasi telah bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang ada di negeri tersebut.

Sedang kunjungan ke Belanda ini, disamping ingin bertemu dengan masyarakat setempat, masyarakat Aceh yang ada di negeri ini, juga ingin meneliti literatur-literatur, yang menyangkut keadaan dan sejarah Aceh yang di Aceh sendiri sudah tidak ditemukan.

Seusai pertemuan tersebut koresponden Rakyat Merdeka dan myRMnews di Belanda A.Supardi Adiwidjaya bincang-bincang dengan Wakil Ketua DPRA H.Waisul Qaran Aly. Berikut ini petikannya.


Lewat berbagai media tampaknya ada dua istilah atau sebutan untuk parlemen setempat: DPRD Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam dan DPR Aceh. Bagaimana penjelasan anda?
Berdasarkan UU 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sebenarnya tidak ada lagi istilah DPRD Aceh, yang ada adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang disingkat menjadi DPRA.

Tahun depan akan digelar Pemilu. Bisa anda terangkan mengenai partai lokal di Aceh, yang juga turut serta dalam Pemilu Nasional?
Begini. Mengenai partai lokal ini juga adalah bagian dari Perjanjian Helsinski yang diwujudkan dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Di situ diperintahkan lahir partai lokal. Mengenai keberadaan partai lokal ini sebenarnya karena perintah UU 11/2006 tersebut. Jadi harus kita jalani atau laksanakan. Tapi sejauh yang kita perkirakan, kita mengharapkan partai-partai lokal ini bisa bergandeng dengan partai-partai nasional. Makanya sekarang ini atau beberapa bulan lagi ke depan semua mata dunia akan tertuju ke Aceh.

Kita harapkan, ini menjadi contoh pula, bagaimana pada saat orang khawatir, misalnya pada saat terjadi Pilkada yang lalu di Aceh dengan terpilihnya Irwandi dari KPA dan GAM.

Hal ini ke depan orang berfikir lagi, bagaimana kalau apa yang terjadi ke depan. Ini masih tanda tanya. Sebenarnya penting, siapapun partai yang menang, kita harapkan kondisi Aceh yang stabil dan aman.

Bagaimana mengenai Wali Nanggroe?
Mengenai Wali Naggroe masih terdapat perbedaan pendapat. Mengingat berbagai UU yang berkaitan dengan Provinsi Aceh dan berdasarkan UU Nomor 11/2006 diperintahkan untuk dibentuk Wali Nanggroe. Jadi hal ini harus kita selesaikan.

Wali Nanggroe ini adalah suatu lembaga di mana secara tersirat dalam rapat-rapat tempo hari ada kesepakatan untuk mengembalikan, supaya Teuku Hassan di Tiro atau Teuku Hassan Tiro itu pulang ke Aceh menjadi seorang Wali Nanggroe yang mumpuni, yang mengayomi rakyat Aceh, sehingga kondisi Aceh akan aman. Untuk itulah kita sekarang ini menjembatani ini semua, supaya teman-teman bisa memahami apa isi qanun Wali Nanggroe nanti.

Wali Nanggroe ini adalah lembaga yang lebih erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh. Mengenai soal Wali Nanggroe ini masih terjadi perdebatan, misalnya, apakah Wali Nanggroe ini kita ambil contoh model di Malaysia, yang misalnya bisa membubarkan parlemen, menghentikan gubernur.

Bagaimana menurut Anda mengenai peranan partai-partai lokal dalam Pemilu 2009 mendatang?
Mengenai Pemilu 2009 yang akan datang kita harapkan Aceh menjadi lebih aman dengan adanya partai-partai lokal. Sehubungan dengan ini kalau dulu mereka di luar sistem, sekarang ini mereka masuk dalam sistem. Dengan sekarang ini mereka masuk dalam sistem apa yang mereka kehendaki. Jika mereka memang dalam Pemilu, apa mau mereka? Bagaimana membuat Aceh ke depan menjadi lebih baik.

Bagaimana pendapat Anda mengenai mereka yang ingin memisahkan Aceh dari Republik Indonesia?
Begini. Sebenarnya masalah pemisahan diri itu sudah selesai dengan Perjanjian Helsinski.
Sudah selesai dengan lahirnya UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sekarang kita lakukan implementasi. Sejauh mana tugas-tugas pemerintah menyangkut UU Nomor 11/2006 tersebut. Ada beberapa tugas mereka juga belum selesai.

Dan ada juga beberapa qanun dari tugas pemerintah daerah, tugas pemerintah Aceh yang juga belum selesai. Nah ini harus kita selesaikan secara bertahap, sehingga persoalan-persoalan yang menjadi kesenjangan antara pemerintah Aceh dengan pusat bisa terselesaikan dengan baik. [yat]

Wednesday, August 20, 2008

Pernak-Pernik Tujuh Belasan Di Negeri "Kincir Angin" (2/Habis)


Rakyat Merdeka, Rabu, 20 Agustus 2008, 06:21:20

Dubes Habibie Terhibur Dorce

Pernak-Pernik Tujuh Belasan Di Negeri Kincir Angin (2/Habis)

Gegap gempita meriahnya perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-63, terasa hingga di Belanda. Bahkan untuk memeriahkan acara tujuh belasan di Negeri Kincir Angin, sejumlah artis dari tanah air pun diboyong oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Dari Dorce hingga Andre Hehanusa, ikut memeriahkan acara tujuh belasan di Belanda. Berikut ini laporan koresponden Rakyat Merdeka di Be­landa A. Supardi Adiwidjaya yang akan disajikan secara bersambung.

SEPERTI tahun lalu, peringatan dan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-63 oleh KBRI Den Haag, Belanda, digelar di dua tem­pat. Selain upacara bendera di ha­laman Wisma Duta, perayaan tu­juh belasan juga digelar di la­pangan Sekolah Indonesia Ne­der­lands (SIN) yang luas.

SIN terletak berseberangan dengan Wisma Duta. Untuk sam­pai ke SIN, yang jaraknya tidak lebih dari 300 meter dari Wisma Duta, cukup degan berjalan kaki.

Cuaca yang pada hari Minggu pagi kelihatan mendung, tetapi men­jelang siang berubah cerah. Ke­adaan ini membuat jumlah pe­ngunjung yang menyempatkan diri ikut merayakan HUT Ke­mer­dekaan RI ke-63 menjadi berjibun.

Menurut Wakil Dubes RI untuk Belanda Djauhari Oratmangun, tahun 2007 lalu jumlah pengun­jung Pesta Rakyat, demikian pesta tujuh belasan di Belanda biasa disebut, diperkirakan sekitar 6.000 orang. Nah, karena udara yang cerah pada hari Minggu (17/8) dan tampilnya sejumlah artis kondang dari Indonesia, jumlah pengun­jung Festival Budaya kali ini dihadiri sekitar 7.000 orang.

“Acara ini kita sebut Festival Budaya, karena dalam pesta pera­yaan tujuh belasan ini, kita mem­per­kenalkan juga wisata Indonesia kepada masyarakat Belanda. Artinya, kita juga mem­pro­mo­si­kan Tahun Kunjungan Wisata In­donesia. Dan inilah yang ingin kita capai,” ujar Koordinator Fung­si Pendidikan, Sosial, Buda­ya dan Pariwisata (Pensosbudpar) KBRI Den Haag Firdaus Dahlan kepada Rakyat Merdeka.

Budaya ini, lanjut Firdaus, menjadi suatu instrumen soft power buat kita untuk lebih men­dekatkan lagi hubungan bilateral Indonesia dengan Belanda.

“Terlebih, antara Indonesia dan Belanda mempunyai sejarah yang panjang. Kita juga memiliki hu­bungan emosional antara dua ma­syarakatnya yang sangat dekat. Ini tidak boleh terputus dan harus kita ditingkatkan,” ucap Firdaus.

Mengenai kehadiran para artis dari Tanah Air dalam perayaan tujuh belasan kali ini, Firdaus menyatakan, tujuan menda­tang­kan mereka adalah untuk mem­pro­mosikan artis-artis Indonesia di luar negeri.

“Ini penting untuk mendorong para artis kita go international. Sa­ya rasa, Belanda adalah pasar yang menarik, karena jumlah ma­syarakat Indonesia yang ting­gal di sini juga besar,” ujar Firdaus.

Dihibur Dorce Cs

Masyarakat Indonesia yang tinggal di Belanda memang ber­untung. Sebab, KBRI Den Haag mendatangkan sejumlah artis top dari Indonesia untuk meramaikan Festival Budaya.

Artis-artis Indonesia yang tam­pil di panggung Festival Budaya untuk memeriahkan HUT RI ke-63 adalah penyanyi dan musisi berbakat Andre Hehanusa. Pe­nyanyi yang punya nama lengkap Andre Ronald Benito Hehanusa itu, sangat po­puler dengan la­gunya antara lain “Kuta Bali” dan “Bidadari”.

Tak ketinggalan Dorce Ga­ma­lama, penyanyi, presenter dan komedian kondang, juga ikut menghibur warga Indonesia di Belanda.

Lalu ada Mozza Fani Meilani, penyanyi pop jebolan Asia Bagus yang sudah merilis album berjudul “Imajinasi” dengan single andalan “Kau yang pertama”. Serta Rhere Kribo, artis multi talenta kelahiran Semarang, Jawa Tengah. Lalu Ira Annisa, penyanyi dangdut yang tahun 2002 mengeluarkan lagu berjudul “Mampir Dong” dan “Joget Koplo”.

Khusus tentang Dorce, Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Jusuf Effendi Habibie punya komentar khusus. “Ada dua hal yang ingin saya kemukakan tentang Dorce, yang sering disebut bun­da. Se­butan bunda buat Dorce itu karena beliau itu punya anak-anak asuh yang jumlahnya banyak se­ka­li. Saat ini ada sekitar 1.600 anak-anak yang dibesarkan dan dibiayai sekolahnya oleh Dorce”.

Menurut Dubes Habibie, Dorce datang ke Belanda dengan me­nanggung biayanya sendiri. “Dor­ce orangnya sangat se­der­hana. Dia adalah teman baik saya,” kata Dubes Habibie. asa

Monday, August 18, 2008

Pernak-Pernik Tujuh Belasan Di Negeri "Kincir Angin"

Rakyat Merdeka, Selasa, 19 Agustus 2008, 01:22:14

Tentara Penjajah Ikut Hormati Merah Putih

Pernak-Pernik Tujuh Belasan Di Negeri "Kincir Angin"

GEGAP gempita meriahnya perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-63, terasa hingga di Belanda. Bahkan untuk memeriahkan acara tujuh belasan di Negeri Kincir Angin, sejumlah artis dari tanah air pun diboyong oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Dari Dorce hingga Andre Hehanusa, ikut memeriahkan acara tujuh belasan di Belanda. Berikut ini laporan koresponden Rakyat Merdeka di Be­landa A. Supardi Adiwidjaya yang akan disajikan secara bersambung.

Masyakarat Indonesia yang tinggal di Belanda, tidak mau ketinggalan ikut merayakan acara tujuh belasan. Dari mulai ikut upacara bendera di halaman Wisma Duta, Wassenaar, sampai pera­yaan tujuh belasan di lapangan Sekolah Indonesia Nederlands (SIN) yang dihibur oleh sejumlah artis ibukota yang secara khusus diboyong ke Negeri Tulip.

Upacara bendera yang digelar Minggu (17/8) di Wisma Duta, dimulai pukul 10.00 pagi waktu setempat. Ada yang menarik di antara hadirin yang ikut dalam upacara bendera yang dipimpin oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Junus Effendi Habibie yang akrab disapa Fannie Habibie itu. Tampak beberapa veteran perang Belanda, yang pernah bertugas di Hindia Belanda, ikut upacara dan menghormati bendera Merah Putih.

Kehadiran para veteran perang Be­landa (yang dulu menjajah Indonesia dan berperang melawan para pejuang Indonesia saat kita berjuang merebut kemerdekaan dari tangan Belanda) dalam upacara tujuh belasan kali ini, di dinilai Wakil Dubes RI (Wakapri) Djauhari Oratmangun suatu hal yang sungguh bersejarah.

“Dan tadi kita lihat para veteran Belanda yang hadir di sini ikut meng­hormati bendera Merah Putih. Itu sebuah langkah maju yang sangat luar biasa. Mereka untuk pertama kalinya hadir pada acara peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia,” terang Djauhari.

Dubes Habibie menimpali,”Ada satu yang istimewa dalam acara peringatan HUT Kemerdekaan RI hari ini. Veteran-veteran Belanda hadir. Ini pertanda bahwa veteran-veteran Belanda yang dulu berhadapan dengan tentara kita, datang memperingati 17 Agustus. Apa artinya? Bagi seorang militer, begitu perdamaian selesai atau tercapai, se­lesailah urusannya.”

Peringatan HUT RI kali ini, lanjut Fannie Habibie, bertepatan dengan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional; 80 Tahun Sumpah Pemuda dan 10 Tahun reformasi.

Menurutnya, bangsa Indonesia telah ber­­hasil menjalani transisi demokrasi yang penuh tantangan, yang kini menja­dikan Indonesia negara demokrasi ke­tiga ter­besar di dunia. Indonesia juga ber­hasil mengembangkan budaya politik baru yang demokratis, mengedepankan ke­ter­bu­kaan, kebebasan berpendapat dan akun­­tabilitas pada rakyat, di mana se­karang hukumlah yang menjadi pang­lima.

“Kita berhasil memperkokoh inte­gri­tas NKRI: Aceh yang damai, Papua yang stabil, serta Maluku, Poso dan Sampit yang tenteram,” ucap Dubes Habibie.

Menurut Dubes Habibie, tahun ini kita juga memasuki tahun politik, yaitu tahun kampanye untuk menghadapi pemilu tahun 2009. “Tahun 2004, kita telah membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia telah berhasil meng­gelar pesta demokrasi secara aman, tertib, jujur dan adil dengan menggelar pemilu presiden yang langsung dipilih oleh rakyat,” ucapnya.

Dubes Habibie berharap, untuk pe­milu tahun depan Indonesia akan mam­pu menjaga prestasi tersebut. “Untuk itu, saya menghimbau kepada seluruh warga negara Indonesia yang tinggal di Be­landa untuk ikut ber­partisipasi men­sukseskan pemilu 2009,” ajak Habibie.

Makin Solid

Dalam konteks hubungan Indonesia-Belanda, lanjut Dubes Habibie, kita juga patut bersyukur karena hubungan bilateral kedua negara terus berkembang dan semakin solid dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2005, hubungan Jakarta-Den Haag telah memasuki era baru, di mana kedua negara telah berkomitmen untuk menghilangkan semua hambatan, me­nutup lembaran masa lalu dan mengem­bang­kan kerja sama yang lebih baik di masa datang.

Bahkan saat ini, kedua negara tengah mengembangkan kerja sama dalam bentuk comprehensive partnership yang akan menjadi payung bagi peningkatan kerja sama di segala bidang.

Dia menjelaskan, kerja sama sudah dicapai kedua negara selama ini antara lain di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Peningkatan volume perdagangan kedua negara selalu me­ningkat dan surplus bagi Indonesia. Pang­sa pasar wisata Indonesia di Be­landa juga meningkat. asa