Sunday, October 30, 2005

Juragan Asing Takut Sama Preman Lokal

(Rakyat Merdeka, Minggu, 31 Juli 2005)

Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Mohammad Jusuf
Juragan Asing Takut Sama Preman Lokal

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag (Belanda) bekerjasama dengan Mantouw Production (Breda, Belanda) dan Transa Tours and Travel (Jakarta, Indonesia) akan menggelar Forum Bisnis Indonesia 2005 dan Pasar Malam Internasional mulai 31 Agustus hingga 4 September mendatang di Den Haag dan antara 7 hingga 11 September di Utrecht.
Launching kegiatan tersebut diresmikan Duta Besar Mohammad Jusuf di KBRI Den Haag dengan mengundang sejumlah pengusaha (para importir dan investor) Belanda dan para usahawan Indonesia, yang sudah cukup lama aktif di negeri "Kincir Angin" ini.
Sedang presentasi tentang seluk-beluk diselenggarakannya kegiatan bisnis tersebut dilakukan oleh Wakil Kepala Perwakilan RI di Belanda, Djauhari Oratmangun.

Forum Bisnis Indonesia 2005 Pasar Malam Internasional dan Pasar Malam Internasional dimaksud merupakan suatu kegiatan usaha untuk meningkatkan daya tarik terhadap peluang investasi, meningkatkan peran produk ekspor Indonesia sesuai kebutuhan, stardardisasi dan trend pasar internasional. Sebenarnya, kegiatan atau usaha-usaha serupa sering digelar, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Lebih-lebih di bidang investasi. Khusus mengenai investasi Belanda di Indonesia, pada tahun 2003 berjumlah 351,4 juta dolar AS dan tahun 2004 hanya258,7 juta dolar AS, alias mengalami penurunan. Berkenaan dengan ini wartawan Rakyat Merdeka di Belanda A Supardi Adiwidjaya mewawancarai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Mohammad Jusuf. Berikut ini petikannya.

Senin,17 Januari lalu, dalam sesi tanya jawab Pertemuan Puncak Infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 di Jakarta, Duta Besar Belanda Ruud Treffers mengatakan, minat dunia usaha dari Uni Eropa untuk berinvestasi di Indonesia sebenarnya besar. Minat itu dapat direalisasikan dalam waktu dekat jika didukung kepastian hukum, transparansi dan keamanan berinvestasi. Pendapat Anda?

Saya sependapat dengan Dubes Ruud Treffers. Di manapun penanam modal akan menanamkan modalnya, bila persyaratan yang disebut Ruud tadi, yaitu adanya kepastian hukum, keamanan bagi investasi dan keterbukaaan, yang akan mendatangkan uang - itu tidak mempunyai preferensi, tidak berwarna dan tidak berbau - wangi atau tidak wanginya; dia akan mencari tempat di mana akan mendapat profit/keuntungan. Inilah masalah besar kita - bagaimana menciptakan iklim berusaha yang kondusif untuk para penanam modal asing tersebut.
Pertengahan Januari 2005 lalu, Presiden SBY menekankan pentingnya kerja sama, baik dunia usaha domestik maupun asing, untuk membantu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Mengenai daya tarik investasi di Indonesia, SBY mengatakan pemerintah telah membuat kebijakan khusus, terutama di bidang perpajakan dan administrasi.

Waktu sudah berjalan sekitar setengah tahun. Bagaimana realisasi kebijakan khusus dimaksud ?

Pemerintah kita sudah membuat kebijakan-kebijakan khusus untuk menarik minat investor asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Tapi yang kita lihat di masyarakat, ada saja demo-demo yang tidak sependapat dengan apa yang sudah ditetapkan pemerintah. Kebijakan pemerintah dilihat dari sudut kacamata negatif saja, bukan dari segi positifnya. Misalnya tentang pembebasan tanah dianggap seperti zaman orde baru akan menggusur tanah rakyat. Tetapi yang dimaksudkan pemerintah adalah memberikan kepastian berusaha bagi investor. Jadi setelah umpamanya tanah dibebaskan, tidak ada lagi tuntutan-tuntutan dari beberapa kalangan yang belum puas atas pembebasan tanah tersebut. Tapi yang kita lihat, banyak kebijakan pemerintah yang positif, antara lain tentang pembebasan tanah, ditanggapi segelintir kecil orang dengan demo-demo yang sudah tidak perlu. Karena demo-demo itu sendiri akan mengurangi kenyamanan berusaha di Indonesia. Mengenai kebijakan khusus pemerintah di bidang perpajakan, sejak dulu para investor dari luar negeri, termasuk seperti halnya apa yang diundangkan di Vietnam dan di China, mereka itu ingin misalnya diberikan suatu tax holiday, sedangkan di pihak kita dari zaman Orde Baru sampai sekarang masih mempertimbangkan, apakah akan memberikan tax holiday atau tidak. Karena di kalangan perpajakan itu mempunyai argumen-argumen yang cukup masuk akal, baik mereka yang pro tax holiday maupun yang anti tax holiday. Kemudian, administrasi sekarang ini diupayakan diperpendek penyelesaian aplikasi penanaman modal itu sampai saat mereka sudah memulai usaha atau operasinya. Mudah-mudahan kian lama, upaya kita membenahi administrasi dan juga kejelasan perpajakan akan dapat kita lihat dalam waktu dekat ini.

Bagaimana upaya pembenahan bidang adminstrasi dan perpajakan tersebut bila dikaitkan dengan otonomi daerah?

Ini masalah lagi. Otonomi daerah itu dimaksudkan untuk memberikan kepada daerah kesempatan untuk melihat secara langsung kepada daerah supaya daerah dapat mengembangkan diri. Tetapi yang kita lihat, saat diberikan kebebasan tersebut mereka hanya melihat jangka pendek, myopia (pandangan sempit atau dangkal - red) saja. Yang diperlukan adalah pendapatan asli daerah, sehingga juga menyulitkan calon investor yang terpaksa menghadapi aturan berlapis-lapis. Juga mengenai keamanan berusaha, apa yang saya dengar di daerah itu banyak juga gangguan-gangguan apabila peralatan tiba, perlu mendekati "otorita preman" lokal, sehingga hal tersebut meningkatkan biaya bagi investor. Jadi otonomi daerah di satu segi secara desain itu sangat menguntungkan memberikan kesempatan kepada daerah untuk sadar, daerahnya untuk maju itu perlu suatu planning dan cara untuk menarik investasi, bukan menyebabkan investor enggan datang ke daerah tersebut.

Bagaimana mengatasinya?

Dengan pendidikan, bagaimana menyadarkan orang, untuk menarik sesuatu itu harus dengan cara yang sangat manis. Kita tidak bisa menangkap lalat dengan cuka, tetapi dengan madu.

Mungkin hubungan antara pusat-daerah perlu diperbaiki?

Sebetulnya tidak ada masalah. Sekarang 'kan aturan hukumnya jelas, bagaimana kewenangan pusat, dan kewenangan daerah. Hanya di tingkat pelaksanaannya terjadi interpretasi yang sangat myopia yang saya katakan tadi itu. Pengusaha di daerah itu hanya melihat term office-nya berapa lama, tidak bisa membuat planning jangka panjang.

Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengakui, Indonesia memang dikenal sebagai negara yang birokrasinya terlalu panjang dan sarat praktik korupsi. Untuk mengurangi praktik korupsi, menurut Aburizal, pemerintah akan menyederhanakan birokrasi sehingga berbagai perizinan birokrasi bisa lebih dipercepat. Bagaimana upaya konkret yang dilakukan pemerintah?

Serangkaian langkah sudah diambil pemerintah untuk mengurangi praktek korupsi. Tapi kita 'kan termasuk yang nomor berapa paling bawah di dunia. Jadi tidak bisa kalau jargonnya seperti membalik telapak tangan. Jadi harus dengan konsisten dan sabar memberantas korupsi - penyakit yang kita derita bersama-sama itu. Kesabaran dalam hal ini juga memberikan espektasi baik kepada pegawai kecil maupun rakyat. Masa depan kita jadi lebih baik bila kita memberantas korupsi itu. Dalam kaitan ini, sudah ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Instruksi Presiden kepada Kapolri yang baru untuk tegar dalam memberantas korupsi. Jadi korupsi itu banyak juga seginya. Harus diingat juga, pendapatan pegawai-pegawai juga harus ditingkatkan. Menyinggung penyederhanaan birokrasi, inilah yang jadi masalah. Kita cenderung mengatakan penduduknya besar, jadi administrasinya, rasio antara pegawai dengan penduduk masih kecil. Yang saya katakan jadi masalah, ketika diberikan otonomi daerah, pegawai-pegawai pusat yang ada di daerah itu harus diresopsi oleh pemerintah daerah, jadi kian banyaklah personil/pegawai tadi yang sebetulnya sudah melebihi dari apa yang dibutuhkan.Tapi yang perlu diingat, kemampuan dan produksivitas pegawai itu sendiri. Apalagi di zaman pemerintahan sekarang tidak usah banyak. Di lain pihak, kita melihat juga, pegawai kita, mohon maaf saya katakan, kemampuannya tidak seperti yang kita harapkan. Tapi, akhirnya yang menentukan adalah produktivitas dari administrasi itu bukan jumlahya. Saya setuju dalam hal ini perlu adanya penyederhaan birokrasi.

***

Sepi, Pasar Malam Indonesia di Pasar Ternak

RAKYAT MERDEKA, Minggu, 18 September 2005

Laporan Wartawan Rakyat Merdeka Dari Belanda

Sepi, Pasar Malam Indonesia di Pasar Ternak

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag (Belanda) bekerjasama dengan Mantouw Production (Breda, Belanda) dan Transa Tours and Travel (Jakarta, Indonesia) telah menggelar Forum Bisnis Indonesia 2005 dan Pasar Malam Internasional mulai 31 Agustus hingga 4 September di Den Haag dan antara 7 hingga 11 September di Utrecht.
Khusus mengenai Forum Bisnis Indonesia, yang membahas pertanyaan seputar iklim investasi, ekspor-impor, interaksi bisnis dan temu usaha yang menampilkan pengusaha Indonesia dan Belanda serta Badan Pemerintahan kedua negara berlangsung sesuai rencana.

Tujuan diselenggarakannya Forum Bisnis Indonesia dan Pasar Malam Internasional ini, menurut panitia penyelenggaranya adalah untuk meningkatkan daya tarik berinvestasi di berbagai daerah di Indonesia, memperluas peluang investasi bagi penanaman modal asing, meningkatkan peran dunia usaha dan pelaku usaha serta mengembangkan jaringan kerjasama dan komunikasi antar pelaku usaha dan instansi pemerintah terkait.
Sayangnya, harapan bahwa Pasar Malam Internasional dihadiri pembeli potensial dari berbagai penjuru Belanda dan negara-negara Eropa lainnya hanyalah tinggal harapan.

Tanpa mengurangi arti kerja keras panitia penyelenggara, Pasar Malam Internasional, yangdiselenggarakan baik di Den Haag maupun di Utrecht, bisa dirasakan bagaimana sepinya pengunjung. Dilihat dari segi besarnya jumlah pengunjung ini, jelas Pasar Malam Internasional tidak sesuai harapan. Jika Pasar Malam Internasional sepi pengunjung, bisa dipastikan uang masuk tak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Menurut keterangan yang diperoleh Rakyat Merdeka, sewa gedung bagi terselenggaranya Pasar Malam Internasional di Den Haag Congres Gebouw (NCC) itu saja sekitar 60 ribu Euro. Dari tanggal 31 Agustus sampai dengan tanggal 4 September, jumlah keseluruhan pengunjungnya tidak lebih dari 4.000 orang. Dengan harga tiket masuk untuk orang dewasa sebesar 8,50 Euro bisa dihitung berapa jumlah seluruh pemasukkannya.
Demikian juga gambaran jumlah pengunjung di Pasar Malam Internasional di Utrecht (7 hingga 11 September 2005) tak jauh berbeda. Lalu, bagaimana kerugian yang diderita para peserta (terutama produsen atau pengusaha UKM) di Pasar Malam Internasional tersebut?

Dari bincang-bincang Rakyat Merdeka dengan sepuluh peserta/pengusaha kecil Pasar Malam Internasional tersebut terdapat gambaran jelas jumlah kerugian material. Salah seorang dari tiga pengusaha perorangan UKM yang menjadi peserta Pasar Malam Internasional di Den Haag dan Utrecht mengungkapkan, ongkos pengeluaran keikutsertaan mereka dalam kegiatan dimaksud berjumlah sekitar 20.000 Euro, sedang pemasukkannya tidak lebih dari 4.000 ribu Euro. Sayangnya, menurut peserta tersebut, dalam "Forum Bisnis Indonesia", sebagai para pengusaha juga tidak menemukan buyers (para pembeli) yang diharapkan. "Keikutsertaan kami dalam Pasar Malam Internasional ini untuk pertama kali dan terakhir kalinya", tegas pengusaha UKM tersebut. Pendapat yang sama juga dikemukakan beberapa peserta yang dikoordinasi Kementrian Kooperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Bank Mandiri.

Khusus gambaran mengenai Pasar Malam Internasional di Den Haag dan Utrecht, bisa disimak surat yang ditujukan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia Untuk Kerajaan Belanda, yang tembusannya juga diterima oleh Rakyat Merdeka, yang petikan isinya sebagai berikut (kutipan disederhanakan -red): Sehubungan sepinya pengunjung pada Indonesian Business Forum and Pasar Malam (IBFPM) yang diselenggarakan di Den Haag dan Utrecht pada tanggal 31 Agustus hingga 9 September 2005, kami telah membentuk tim kecil yang dihadiri wakil masing-masing peserta IBFPM telah membahas masalah yang timbul dan sepakat mengajukan keberatan sebagai berikut:

Pertama, pada pertemuan terakhir dengan Ketua Penyelenggara Bapak Djauhari pada 3 September, beliau menjanjikan, pada pameran di Utrecht akan lebih baik dan banyak pengunjung dibanding di Den Haag. Namun kenyataannya kami sangat kecewa.
Kedua, lokasi pameran sangat tidak representatif sebagai tempat bisnis forum, karena sepengetahuan kami lokasi tersebut tempat jual beli ternak sesuai namanya Veemarkt (pasar ternak), sehingga beberapa buyer membatalkan rencana pertemuan dengan kami. Hal ini dibuktikan dengan bau yang menyengat di lokasi pameran.
Ketiga, program IBF dan Pasar Malam tidak berjalan sesuai jadwal, antara lain karena panitia tidak hadir tepat waktu pada 8 September 2005 pukul 11.00 waktu setempat, yang mana akan dilakukan business matchmaking antara 18 pengusaha Belanda dengan IBFPM, sehingga acara tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Keempat, panitia penyelenggara tidak profesional, terbukti sebagai berikut: pembagian stand tidak sesuai rencana semula sehingga kami harus berebut sesama peserta; fasilitas tidak sesuai yang dijanjikan; terjadinya insiden antara Mantouw Production dengan salah satu binaan BKPM pada tanggal 8 September 2005, yaitu Mantouw Production mengusir salah satu binaan BKPM, saat beliau protes ruangan berbau ternak.
Kelima, Mantouw Production yaitu saudara Boy Mantouw telah menjanjikan secara lisan potongan sebesar 50% jika pengunjung sepi hal ini disaksikan beberapa peserta IBFPM, dan Keenam, dengan tidak profesionalnya panitia penyelenggara maka berdampak sangat besar terhadap volume penjualan sehingga kami menderita kerugian.

Berdasarkan hal tersebut di atas, para peserta pameran sepakat menuntut pihak penyelenggara untuk memenuhi janji dengan memberikan kompensasi pengembalian sebesar 50 persen atas sewa stand, dan penyelenggara mengurus dan menanggung segala biaya baik dokumen, pajak-pajak serta biaya pengembalian barang-barang ke Indonesia.

Catatan mengenai Forum Bisnis Indonesia dan Pasar Malam Internasional ini hanya untuk menggambarkan secara obyektif dan masukan bagi siapa saja yang akan melakukan kegiatan internasional serupa, di bidang bisnis dan perdagangan, dalam rangka "meningkatkan daya tarik berinvestasi di berbagai daerah di Indonesia, memperluas peluang investasi bagi penanaman modal asing, meningkatkan peran dunia usaha dan pelaku usaha serta mengembangkan jaringan kerjasama dan komunikasi antar pelaku usaha dan instansi pemerintah terkait".
(A Supardi Adiwidjaya)


Box terpisah:
Kesepakatan Selama IBF/Pasar Malam:
1. Kontrak kerjasama penanaman modal antara perusahaan Belanda dengan perusahaan di Indonesia untuk memproduksi peralatan pemadam kebakaran, yang kemudianakan diekspor ke pasar luar negeri.
2. Kesepakatan kerjasama pembuatan tilpun genggam antara perusahaan Belanda dan perusahaan Indonesia di Bekasi.
3. Penandatangan kontrak kerjasama antara Pemda Maluku dan perusahaan Belanda untuk pengalengan ikan tuna di Maluku.
4. Penandatanganan kontrak di bidang usaha udang antara Pemda Maluku dan pengusaha Belanda.
5. Kesepakatan kerjasama di bidang perhotelan antara pengusaha Belanda dan Pengusaha di Sleman.
6. Kesepakatan kerjasama di bidang industri telpon genggam antara pengusaha Belanda dan pengusaha di Bekasi.
7. Kerjasama pengembangan holtikultura /agro-bisnis perkebunan pisang antara Pemda Sorong dan Universitas Wageningen.
8. Kesepakatan antara Pemda Sorong dan pengusaha Belanda untuk pembangunan (investasi) rumah sakit di Sorong; Kesepakatan antara Pemda Sorong dengan Da Vinci College, Dordrecht, untuk mengembangkan kerjasama pendidikan kejuruan di bidang ekonomi dan pariwisata di Sorong.
9. Penandatanganan kontrak antara Pemda Jayapura danWMD (Perusahaan Air Minum Belanda).(ASA)


Dalam box:
Hasil Kunjungan Delegasi IBF Indonesia ke Trade Marketdi Utrecht:
1. Kunjungan delegasi IBF (Kementrian Koperasi danUKM) Indonesia ke CBI (Lembaga promosi impor Belandadari Negara-negara berkembang) di Rotterdam. Hasil sementara dari kunjungan ini adalah pihak CBI akan membantu mempromosikan produk-produk UKM Indonesia diBelanda.
2. Kunjungan delegasi IBF Indonesia ke DepartemenKesehatan Belanda di Den Haag. Hasil sementara darikunjungan ini adalah adanya tawaran dari pihak Belandauntuk kerjasama pelatihan bagi perawat Indonesia, dengan sertifikat yang disetarakan dengan standardAmerika Serikat, Inggris, dan Australia.
3. Kunjungan delegasi IBF Indonesia ke pelelangan ikandi Urk dan Vlissingen. Hasil sementara, rencanakunjungan delegasi Koperasi Perikanan Urk ke Maluku dan Sorong untuk merealisasikan kerjasama di bidang kelautan dan perikanan.
4. Kunjungan delegasi IBF Indonesia ke WMD (Perusahaan Air Minum Belanda) di Drente dan Arsen. Hasil sementara kunjungan ini adalah rencana alih teknologi penyediaan air bersih dari WMD ke 10 kota di wilayah Indonesia bagian Timur.(ASA)

Bisnis Pemadam Kebakaran Diteken di Belanda











Foto: Pemukulan Gong disaksikan Dubes Jusuf

Rakyat Merdeka, Selasa, 20 September 2005

Bisnis Pemadam Kebakaran Diteken di Belanda

Terlepas dari berbagai "berita sedih" seputar Pasar Malam Indonesia di Belanda, yang dikabarkan sepi dari transaksi bisnis yang diharapkan (Rakyat Merdeka, 18/9), berbagai kesepakatan bisnis ternyata memang behasil dicapai. Hal ini diungkap Kepala BidangEkonomi KBRI Den Haag, Budi Perianto dan Kepala Bidang Penerangan, Siswo Pramono mengenai kegiatan Indonesian Business Forum/IBF -Forum Bisnis Indonesia) dan PasarMalam Internasional, yang digelar di Den Haag (Congres Gebouw) 31 Agustus hingga 4 September 2005 dan di Utrecht (Veemarkt Hal) 7 hingga 11 September 2005 pekan lalu itu.

Pasar Malam di Den Haag dibuka oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Perekonomian Belanda, Laurens Jan Brinkhorst, akhir Agustus lalu. Sedangkan Pasar Malam di Utrecht dibuka Wakil Wali Kota Utrecht pada tanggal 7 September 2005. Menurut Budi Perianto dan Siswo Pramono, tujuan IBF dan Pasar Malam ini adalah mempromosikan pariwisata, perdagangan dan investasi, di samping memberi kesempatan bagi para pengambil keputusan dan para pebisnis, baik dari Indonesia maupun Belanda untuk saling bertukar pikiran di IBF. Pertemuan IBF di Den Haag pada 31 Agustus dihadiri 52 pengusaha Belanda dan 73 pengusaha Indonesia. Sementara pada pertemuan IBF di Utrecht 7 September lalu, dihadiri 68 pengusaha Belanda dan 62 pengusaha Indonesia.

Terlepas dari berbagai kekurangan dari penyelenggaraan IBF dan Pasar Malam, menurut Budi Perianto dan Siswo Pramono, terdapat beberapa hasil awal yang perlu diketahui. Sebagai contoh, selama IBF/Pasar Malam, telah dicapai berbagai kesepakatan. Seperti kontrak
kerjasama penanaman modal antara perusahaan Belanda dengan perusahaan Indonesia untuk memproduksi peralatan pemadam kebakaran, yang kemudian akan diekspor ke pasar luar negeri, kerjasama pembuatan telepon genggam antara perusahaan Belanda dan perusahaan Indonesia di Bekasi, penandatangan kontrak kerjasama antara Pemda Maluku dan perusahaan Belanda untuk pengalengan ikan tuna di Maluku, penandatanganan kontrak di bidang usaha udang antara Pemda Maluku dan pengusaha Belanda, hingga kesepakatan kerjasama bidangindustri telpon genggam antara pengusaha Belanda dan pengusaha di Bekasi.

Dan dalam rangka memperluas jaringan, KBRI juga telah memfasilitasi kunjungan delegasi Indonesia ke berbagai institusi seperti kunjungan delegasi IBF Indonesia ke Trade Market di Utrecht. Hasil sementara, terjalin kontrak antara pembeli dari Belanda dan beberapa penjual dari Indonesia, terutama untuk handicraft (lihat Rakyat Merdeka, 18/9). Sementara transaksi langsung di Pasar Malam memang tidak besar, tetapi telah terjadi penjualan furniture, kerajinan tangan, perhiasan, dan pakaian jadi. Setidaknya, tercatat transaksi retail di Pasar Malam (khusus oleh peserta UKM dari Indonesia) sebesar 12.500 Euro dan telah terjadi beberapa penandatanganan kontrak furniture dan handicrafts denganpengusaha-pengusaha dari Belgia (Bruge, Lies, Brussel), Jerman (Dusseldorf, Koln, Meinheim), Luxemburg.Tapi perlu dicatat, sisa barang dagangan, di akhir Pasar Malam (11 September) sebesar 10 persen, sedang yang lainnya (90 persen) terjual (sebagian dengan harga normal sebagian dengan harga pokok saja), setelah dikujungi sekitar sekitar 5.500 orang di Den Haag dan Utrecht.Selain itu, Pasar Malam juga merupakan sarana promosi budaya Indonesia.

Karena itulah, acara budaya seperti tarian, nyanyian, musik, peragaan busana, makanan yang mewakili berbagai daerah di Indonesia, turut ditampilkan di Pasar Malam. Dalam kaitan ini, 10 radionasional/ regional di Belanda dan 2 TV nasional di Indonesia telah meliput dan menyiarkan acara Pasar Malam tersebut. Media Belanda yang ikut terlibat dalam media campaign ini adalah Radio Nederland-Hilversum (merangkap sebagai mitra IBF/ Pasar Malam), Radio Suara Maluku-Hilversum; Radio Utrecht (Omroep Utrecht), Radio Surya Jati-Den Haag, Radio Rukun Budi Utama-DenHaag, Radio Hindustani-Den Haag, Radio Bangsa Jawa-Amsterdam, Radio/TV Razo (RTV Pemuda Sido Santoso)-Amsterdam, Radio Tandang-Rotterdam, Radio Ansar-Rotterdam. (A.Supardi Adiwidjaya)

Partai Sosialis Belanda: Menlu Bot Kudu Minta Maaf

Rakyat Merdeka, Kamis, 18 Agustus 2005

Partai Sosialis Belanda: Menlu Bot Kudu Minta Maaf

Koran Belanda NRC Handelsblad edisi tanggal 13 Agustus lalu memuat berita menarik dengan judul "Kamer erkent 60 jaar Indonesie" atau "Parlemen (Belanda) Mengakui 60 Tahun (Kemerdekaan) Indonesia". Masalah yang diangkat adalah sekitar kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot ke Indonesia dan kehadirannya di acara perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Mayoritas anggota parlemen Belanda menganggap, kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot ke Indonesia adalah sebagai pengakuan Hari Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Demikianlah hasil wawancara yang dilakukan oleh Radio Nederland Wereldomroep dengan berbagai fraksi dalam parlemen Belanda.

Menteri Luar Negeri Bot (dari partai CDA) hadir di acara perayaan 60 tahun kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 2005. Hal ini berarti pertama kalinya seorang pejabat pemerintah Belanda menghadiri pesta kemerdekaan Indonesia. Kehadiran Bot di upara perayaan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Jakarta itu merupakan soal yang peka, karena kemerdekaan yang diplokamirkan oleh Sukarno dan Hatta itu tidak diakui oleh Belanda. Bagi Belanda hari kemerdekaan Indonesia itu adalah pada tanggal 27 Desember 1949, hari penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda kepada Indonesia.

Juru bicara luar negeri dari partai-partai di Belanda seperti Partai Kristen Demokrat (CDA), Partai Rakyat Untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD), Partai Buruh (PvDA), Partai Sosialis (SP) dan Partai Hijau-Progresif (GroenLinks) menyatakan bahwa mereka akan menutup diskusi mengenai hari kemerdekaan Indonesia dan agar pemerintah Belanda sepenuhnya mengambil bagian dalam perayaan hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus.

Kementrian Luar Negeri Belanda menghindari istilah pengakuan, tetapi berbicara mengenai "akseptasi politik". Pemerintah Belanda terutama takut membuat para veteran Hindia-Belanda (Indiëveteranen) tersinggung. Kunjungan Menlu Ben Bot ke Indonesia bukanlah merupakan vonis atas aksi-aksi polisionil. VVD dan PvDA berpendapat bahwa pengakuan tidak berarti pengkhianatan pada Indiëveteranen. Hanya Partai Sosialis Belanda (SP) yang berpendapat, di Jakarta Menteri Bot mengajukan permintaan maaf atas tindakan/aksi militer Belanda antara tahun 1945-1949. Anggota parlemen dari fraksi SP, Krista van Velzen, misalnya berpendapat bahwa dalam waktu bersamaan seyogyanya pemerintah Belanda juga harus meminta maaf kepada Indiëveteranen.

Sehubungan dengan kunjungan Menlu Belanda Bot, beberapa koran di Indonesia berspekulasi tentang permintaan maaf dan penggantian kerugian. Komite Utang Kehormatan Belanda (Batara R Hutagalung sebagai Ketua -red) sudah lama menuntut Belanda untuk minta maaf. Menurut para ahli sejarah yang peduli terhadap Indonesia mengatakan mengenai dua data itu sebetulnya tidak begitu tajam seperti yang sering ada dalam pikiran. Secara implisit Belanda sudah lama mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus dan bisa berbarengan dengan tahun 1949 sebagai tahun penyerahan kedaulatan yang formal. (ASA)

----

Belanda Dulu Bilang, Indonesia Merdeka 27-12-1949

Rakyat Merdeka, Kamis, 18 Agustus 2005

Takut Dibilang Langgar HAM Setelah Proklamasi RI
Belanda Dulu Bilang, Indonesia Merdeka 27-12-1949

Catatan Wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya

Koran Belanda NRC Handelsblad, edisi Rabu, 27 Juli lalu memberi ulasan sekitar rencana kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda, Dr Bernard Rudolf (Ben) Bot ke Indonesia. Di antara isi ulasan itu misalnya berbunyi: "Een gevoelig bezoek, want wat zegt dat over de politionele acties?" ("Suatu kunjungan yang peka, sebab bagaimana tentang aksi-aksi polisionil?)". Sedangkan koran de Volkskrant edisi yang sama tentang rencana kunjungan Menlu Ben Bot tersebut mensinyalir: "Bot menekankan bahwa kunjungannya tidak berarti memvonis aksi-aksi polisionil, yang dilakukan militer Belanda waktu itu ('47-'49) untuk mempertahankan Hindia-Belanda sebagai negeri jajahannya". "Met bezoek Bot 'aanvaardt' Nederland onafhankelijkheid Indonesie vanaf 1945". Atau "Dengan kunjungan Bot, Belanda 'menerima' kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945", demikian sub judul ulasan Redaksi "NRC Handelsblad".

Sementara menurut Ranesi/Radio Nederland Seksi Indonesia/ edisi Kamis (28/7), Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Bot akan menjadi pejabat tinggi Belanda pertama yang menghadiri perayaan 60 tahun proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus mendatang. Selama ini, Belanda tidak mengakui tanggal itu sebagai hari kemerdekaan RI. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada tanggal 27 Desember 1949 dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. "Jadi apakah kehadiran Menlu Bot dapat dikatakan sebagai pengakuan atas 17 Agustus?", tanya Ranesi (28/7).

WAKTU sudah berjalan sekitar 60 tahun, sejak Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam konteks ini, persoalan yang selalu mencuat adalah, sampai sekarang pemerintah Belanda tidak pernah secara resmi mengakui hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut. Mengapa?

Hampir bisa dipastikan, sebab utamanya adalah ketidakmauan, atau mungkin juga ketakutan Belanda untuk mempertanggungjawabkan aksi-aksi intervensinya, yakni apa yang mereka sebut aksi polisionil I (1947) dan aksi polisionil II (1948) terhadap Republik Indonesia dengan segala eksesnya, baik dari segi moral maupun material. Dus, dalam kaitan ini terutama soal yang menyangkut pertanggungjawaban atas kejahatankemanusiaan atau pelanggaran HAM berat dan juga peranan yang (barangkali) sangat penting adalah soal duit jadi bahan pertimbangan bagi Belanda untuk tidak (belum?) mengakui Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan tidak kurang pentingnya, para veteran KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) menentang habis-habisan hal itu.

Memang, siapapun paham. Bahwa memberikan pengakuan secara resmi Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 bagi Belanda itu berarti mengakui telah melakukan intervensi bersenjata terhadap Republik Indonesia. Tidak kebetulan kiranya, jika Belanda menyebut aksi-aksi intervensi yang dilakukannya itu sebagai aksi-polisionil I dan II - suatu aksi kekerasan senjata untuk menumpas apa yang mereka namakan "pemberontakan penduduk" di wilayah kekuasaannya. Namun, apakah usaha Belanda dengan berbagai manuver politiknya untuk menghindari pertanggungjawaban atas intervensi bersenjata yang dilakukannya terhadap Republik Indonesia akan terus dilanjutkan? Sampai kapan?

Tampaknya, usaha-usaha Belanda untuk memutihkan intervensi hitamnya semakin sulit untuk terus dipertahankan. "Selama ini rakyat dan para pemimpin Republik Indonesia tidak pernah memperhatikan atau menyadari, bahwa tidak satu kali pun ada Duta Besar Belanda yang pernah menghadiri Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang setiap tahun dilakukan tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka dan dihadiri oleh para Diplomat luar negeri", ungkap Ketua Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung, saat bertandang ke Rakyat Merdeka pertengahan Maret 2005 lalu. Lepas dari benar atau tidaknya apa yang dikatakan Batara Hutagalung itu, yang jelas memang pemerintah Belanda tidak (atau mungkin juga: belum?) mengakui tanggal 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Belanda hanya mengakui apa yang disebut hari penyerahan kedaulatan RI berdasarkan Perjanjian KMB pada tanggal 27 Desember 1949.Kelihatannya, suara tuntutan agar Belanda minta maaf atas agresi militernya (antara tahun 1947 - 1949) terhadap RI dengan apa yang disebut dengan aksi-polisionil mereka terhadap Indonesia tahap demi tahap semakin keras berdengung. Dalam konteks ini, misalnya, terutama Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dengan konsisten, teguh dan tekun memelopori berbagai kegiatan dengan ujungtombaknya menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda untuk meminta maaf atas penjajahan dan berbagai pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan terhadap bangsa Indonesia, terutama yang dilakukan setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945; dan dengan resmi mengakui Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kiranya dicatat, KNPBMI didirikan tanggal 8 Maret 2002 dan diketuai Batara R Hutagalung. Dia juga menjadi Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

Sebagai penutup catatan ini, penulis ingin melontarkan sebuah petisi tertanggal 20 Mei 2005 dari KUKB yang ditandatangani Batara R Hutagalung (Ketua) dan Teuku H Agam Saifudin (Sekretaris). Petisi KUKB tersebut ditujukan kepada Perdana Menteri Kerajaan Belanda Dr Jan Peter Balkenende, Den Haag, Nederland, yang isi pokoknya sebagai berikut:

Seluruh dunia mendengar permintaan maaf yang disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi pada 2 Mei 2005 dalam rangka kunjungannya ke Belanda. Di lain pihak, sejarah juga mencatat, bahwa antara tahun 1946-1949, setelah bangsa Indonesia menyatakankemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tentara Belanda melancarkan agresi militer dan melakukan berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, seperti antara lain perkosaan, penyiksaan dan bahkan pembantaian ribuan rakyat di Sulawesi Selatan bulan Desember 1946 - Februari 1947 dan pembunuhan sekitar 500 penduduk di Rawagede pada bulan Desember 1947.Pemerintah Belanda belum meminta maaf atas berbagai pelanggaran HAM berat tersebut, demikian juga atas penjajahan, perbudakan, berbagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, yang telah dilakukan selama ratusan tahun di Bumi Nusantara.

Selain itu, yang sangat menyinggung perasaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah fakta, bahwa hingga detik ini Pemerintah Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, melainkan 27 Desember 1949, yaitu pengakuan atas Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) telah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian saat ini Pemerintah Belanda mempunyai hubungan diplomatik dengan Pemerintah Republik Indonesia, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945.

Apabila dua negara menjalin hubungan diplomatik, sudah sewajarnya masing-masing negaramenghormati dan menghargai kedaulatan negara lain yang menjadi mitra diplomatiknya dan tidak mendikte secara sepihak, kapan hari nasional atau hari kemerdekaan negara mitra yang bersangkutan.Sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Belanda selama ini tidaklah mencerminkan sikap bersahabat dan saling menghargai di antara negara-negara merdeka dan saling menjalin hubungan diplomatik, dan bahkan merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia serta merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda menuntut kepada Pemerintah Belanda untuk; 1. Mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945; 2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan.

***

Saturday, October 29, 2005

Joesoef Isak Sarankan Agar Pemerintah SBY Merehabilitasi Soekarno


(Rakyat Merdeka, Selasa, 02 Nopember 2004)

Joesoef Isak Sarankan Agar Pemerintah SBY Merehabilitasi Soekarno

Joesoef Isak lahir pada tahun 1928 di Kampung Ketapang, Jakarta. Pada akhir Perang Dunia II serta pendudukan Jepang, Joesoef bekerja sebagai wartawan dan muncul sebagai seorang cendekiawan yang menonjol serta merupakan salah seorang penganjur ide nasionalisme-patriotisme Soekarno.

Setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965, Jendral Soeharto berhasil naik panggung kekuasaan melalui represi berdarah yang sangat kejam dan dengan korban pembunuhan yang paling besar dan biadab dalam sejarah Indonesia. Para pengikut Bung Karno dan sejumlah intelektual yang progresif dijadikan sasaran oleh rezim Soeharto (atau rezim Orba) ini. Joesoef Isak diinterogasi, dibebaskan beberapa kali antara tahun-tahun 1965 dan 1967. Pada tahun 1967-1977 Joesoef Isak dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan.

Pada hari Sabtu (30/10/2004) lalu di Amsterdam, Yayasan (Stichting) INDONESIA MEDIA di Belanda, yang diketuai oleh Arief Tahsin mengadakan acara temu wicara masyarakat Indonesia dengan Joesoef Isak, yang kebetulan dari Paris (Perancis) berkunjung ke Belanda untuk beberapa hari dan kemudian akan meneruskan perjalanannya (31/10) ke Stockholm, Swedia. Sesaat sebelum temu wicara dimulai, koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A.Supardi Adiwidjaya mendapat kesempatan bincang-bincang dengan Joesoef Isak dan bersama dengan Bari Muchtar - wartawan Radio Hilversum mewawancarainya. Berikut ini petikannya.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Tugas negara dan pemerintah ke depan bagaimana kejahatan pelanggaran HAM berat, korupsi, dan terorisme dapat dicegah. Penegakan tersebut bukan hanya tugas penegak hukum, tetapi tugas semua masyarakat._ Sehubungan dengan ini, patut kiranya dipertanyakan, bagaimana dengan pelanggaran HAM berat masa lalu, yang dilakukan terutama oleh rezim Orba terhadap orang-orang yang tak bersalah, tanpa proses pengadilan dijebloskan kedalam penjara; mereka yang dituduh terlibat G30S/PKI dibuang ke pulau Buru dan banyak dari mereka yang dibunuh.Bagaimana pandangan anda?

Memang itu satu masalah yang kita tunggu-tunggu apa sikap SBY sebagai presiden. Soal pelanggaran hak asasi itu salah satu poin disamping masalah korupsi. Tapi ijinkanlah saya kemukakan pendapat yang mungkin sangat pribadi. Pelanggaran hak asasi itu menyeluruh, jadi bukan hanya orang-orang yang terlibat, yang katanya terlibat PKI atau gerakan Sukarno. Tapi sebenarnya rakyat biasapun itu terkena pelanggaran hak asasi, mereka pun menderita Jadi buat saya, saya tidak merasa perlu (bukan saya tidak setuju) untuk minta perhatian khusus pada bekas tapol artinya orang bekas tapol seperti saya. Sebenarnya yang menderita karena pelanggaran hak asasi, bukan hanya tapol, tapol PKI, tapol Islam. Seluruh rakyat sebenarnya menderita.

Karena itu saya harapkan, perhatian diberikan pertama-tama kepada rakyat. Sebab pemulihan hak-hak sipil, penegakkan hukum bagi seluruh rakyat, itu dengan sendirinya kami akan ikut menikmati. Jadi tidak perlu khusus penanganan terhadap eks tapol.

Tapi satu poin lagi yang saya ingin kemukakan di sini, barangkali ini suatu kesempatan yang baik, sebab jarang dikemukakan. Coba mulailah lebih dahulu, kalau bicara mengenai rehabilitasi, mengenai penegakkan kembali hukum, saya ingin sekali menyarankan kepada SBY sebagai presiden, melakukan pertama-tama rehabilisasi terhadap Bung Karno. Sebab dari sana dimulainya sebenarnya. Begitu Presiden Sukarno dijatuhkan, menderita kita semuanya. Akibatnya luar biasa.

Setelah Sukarno jatuh, kita tidak ada pegangan, kaum buruh, kaum tani, rakyat biasa tidak ada pegangan, tidak ada lagi andalan yang bisa diharapkan. Jadi saya senang mendengar SBY berbicara mengenai penegakkan hukum. Itu memang bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tugas masyarakat dan itu benar. Jadi persepsinya terhadap penegakkan hukum itu memang harus melibatkan rakyat.

Tapi bukankah masalah tapol itu masalah yang paling berat dalam sejarah Indonesia?

Betul sekali, betul sekali. Tetapi sekali lagi saya ingin katakan. Jangan sampai seakan-akan tapol ini dimanjakan, harus diprioritaskan Kalau disejajarkan antara eks tapol/napol dengan rakyat, saya pikir saya akan pilih dahulukanlah rakyat. Sebab, bila hak-hak rakyat, kalau hak asasi rakyat - kalau itu ditegakkan, saya kira dengan sendirinya tapol juga akan terbawa, akibat-akibat positifnya juga akan kami rasakan.

Saya membenarkan anda, kalau berbicara mengenai penindasan, tapol. Pemerintah sendiri (pada saat Menteri Dalam Negeri dibawah Jenderal Rudini) telah mengumumkan 1,3 juta korban. Dan di sini saya keliling di Belanda, di Perancis, itu tema yang memang saya kedepankan. Sebab begini. Saya banding-bandingkan, pada saat orang Belanda atau orang Perancis berbicara mengenai Pol Pot, misalnya, kekejaman yang dilakukan oleh Pol Pot, itu orang Belanda mengatakan hal itu menjijikan (walgelijk) itu. Akan tetapi, ini saya berbicara masalah dulu, ketika tahun 1965 dulu itu, pers Belanda tidak pernah menulis apa-apa.

Tidak pernah memberikan perhatian, bahwa di Indonesia ada seorang Pol Pot. Ada Pol Pot di Kamboja, tapi ada Pol Pot di Indonesia. Jika membandingkan-bandingkan angka korban pembunuhan, mengemukakan angka korban, di Indonesia juga lebih besar dari apa yang terjadi di Kamboja, yang dibunuh maupun yang ditahan.

Mengenai korban sejumlah yang disebutkan 1,3 juta, tapi itu pun angka yang kita ragukan. Karena tidak selamanya konsisten, kadang-kadang disebutkan 1,7 juta menjadi korban pembunuhan rezim Orba, tapi kadang-kadang disebutkan 1,3 juta korban.

Mungkin dalam hal menyebut angka, jumlah korban ini, kan tapol dibagi dalam golongan A,B,C, D. Mungkin kategori golongan D ini menyebabkan angka, jumlah korban membengkak menjadi 1,7 juta. Jendral Sarwo Edi pernah menyatakan sebanyak 3 juta korban.

Sampai sekarang sebenarnya angka, berapa yang telah dibunuh selama setelah terjadi peristiwa 1965 itu, sebenarnya belum pernah diadakan penelitian/penyelidikan (survey) yang resmi yang jelas, yang tegas. Jadi angka-angka korban pembunuhan rezim Orba itu berkisar dari 500 ribu sampai yang disebut oleh Jendral Sarwo Edi sebanyak 3 juta korban jiwa. Mungkin saja dia (Jendral Sarwo Edi _ red.) benar.

Akan tetapi mungkin juga pada saat dia kemukakan angka yang disebutkannya itu, dia sedang membanggakan diri, bahwa dia berhasil memberantas PKI ini bukan 500 ribu, tapi 3 juta, saya babat mereka. Mungkin saja dia ingin membesar-besarkan bagaimana _prestasi_nya, mau membanggakan _prestasi_nya itu. Tapi apakah angka itu benar, saya kira, suatu waktu mesti ada penelitian yang benar, serius. Sampai sekarang tidak ada yang mengadakan penelitian, atau perhatian khusus untuk mengetahui angka/jumlah korban yang meninggal atau mati itu.

Misalnya saja, di pulau Buru selama sekitar 10 tahun, kalau penguasa (komandan-komandan yang mendapat giliran) bertugas di sana ditanya, mereka tidak pernah punya data berapa yang mati selama Buru itu menjadi pulau tahanan. Yang bikin catatan justru Pramudya Ananta Tur. Memang Pramudya ini bukan hanya seorang novelis besar, dia juga seorang dokumentalis besar. Segala macam dia catat.

Dan kalau baca bukunya _Nyanyi Seorang Bisu_ appendix (lampiran)nya itu kita bisa lihat: Daftar yang meninggal itu teliti sekali: meninggal karena sakit, meninggal karena dibunuh, meninggal karena kecelakaan. Dan jelas dari mana asalnya seseorang yang meninggal itu, dari desa apa di pulau Jawa, misalnya, itu lengkap.

Tapi pemerintah sendiri ataupun usaha swasta (atau sebutlah LSM) sampai sekarang saya lihat belum ada di dalam agenda mereka meneliti secara tepat angka-angka itu: angka yang dibunuh, angka yang terbunuh, angka yang ditahan sampai sekarang belum ada yang resmi.

Banyak orang yang mengatakan perlunya rekonsiliasi.Bagaimana pandangan anda mengenai rekonsiliasi?

Kalau hanya ditanyakan atau digunakan istilah itu rekonsiliasi, saya dengan sendirinya sangat setuju. Kan dibalik kata itu mengandung kerukunan nasional, rujuk nasional, damai. Kan ideal sekali. Akan tetapi antara apa yang kita ingini dan realitas apa yang bisa kita capai saya kira jaraknya sangat jauh.

Kenapa?

Begini. Kita suatu waktu, saya kira itu terjadi sebelum Gus Dur naik menjadi presiden Mendadak sontak, dilangsir di masyarakat istilah rekonsiliasi itu. Saya kira asal usulnya itu dari sini, dari Belanda.

Jadi ada teman-teman Indonesia di sini, yang dengan sendirinya punya fasilitas jauh lebih baik dari kita di Indonesia, mampu lewat televisi melihat apa yang terjadi di Afrika Selatan. Mereka mengikuti komisi kebenaran, sidang-sidang komisi kebenaran yang dipimpin oleh Desmon Tutu dan itu memang saya sendiri pernah melihat di CNN itu sangat mengharukan, di mana pihak yang terdakwa, katakanlah yang tertuduh polisi kulit putih berhadapan dengan orang yang menjadi korban.

Dan kan ada syarat-syaratnya tentang rekonsialisi, amnesti, bahwa yang melakukan kesalahan mengakui secara terbuka. Pengakuan terbuka itu memberikan hak bagi dia untuk mendapatkan amnesti.

Adegan-adegan komisi kebenaran yang dipimpin oleh Desmon Tutu itu memang sangat mengharukan. Dan bisa dibayangkan, di Indoneia satu segmen besar masyarakat mengalami selama 30 tahun diinjak-injak terus, underdog.

Jadi bagaimana apakah pola (rekonsiliasi) ini bisa dilakukan di Indonesia?

Memang ideal sekali, akan tetapi, ini pendapat saya pribadi. Tidak bisabegitu saja bisa berlangsung kita mau rekonsiliasi, ada statement oleh LSM, perorangan atau kelompok yang menghendaki rekonsiliasi, lantas langkah rekonsililiasi itu otomatis bisa berjalan, saya kira samasekali tidak bisa berjalan. Karena apa? Di Afrika Selatan, ini yang sering dilupakan, oleh kawan-kawan di Indonesia.

Bahwa yang terjadi di Afrika Selatan yang terjadi di sana adalah pengalihan kekuasaan secara kualitatif. Kekuasaan yang selama ini berada di tangan apartheid, yang diskriminatif, yang sangat represif mendadak sontak berada ditangan kekuatan demokratis dibawah Nelson Mandela, kekuatan yang anti diskriminasi, kekuatan demokratis. Itu perubahan yang kualitatif.

Sementara yang terjadi di Indonesia tidak demikian, maksud anda?

Apa yang terjadi di Indonesia? Saya bertanya, apakah ada perubahan kekuasaan secara kualitatif? Maksud saya terutama tentang watak kekuasaan. Saya kira tidak. Hanya Soeharto yang berhenti. Dia melengserkan diri, tetapi watak kekuasaannya berjalan terus, aparat kekuasaannya masih lengkap, masih utuh dan berjalan terus.

Ya, bagaimana mau diselenggarakan rekonsiliasi, kalau kekuasaan masih tetap yang itu-itu juga sebenarnya. Watak kekuasaannya masih yang itu-itu juga. Dan kalau saudara lihat, tidak ada kan indikasi dari pemerintah - yang terbuka, yang jelas-jelas mengingini rekonsiliasi. Kalaupun pemerintah sekali-sekali bicara juga mengenai rekonsiliasi, itu karena pemerintah menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada di masyarakat. Jadi belum menjadi program dari pemerintah itu sendiri.

Mungkin karena adanya tuntutan dari luar negeri?

Persis. Mengenai tuntutan luar negeri ini, saya berpendapat bahwa faktor intern selalu yang terpenting. Tetapi di dalam pergolakan politik yang kita alami, nasional maupun internasional, misalnya di dalam penahanan tapol, faktor luar negeri memang ikut berbicara.

Pulau Buru bubar itu tahun 1979 itu karena adanya tekanan kuat dari Presiden Jimmy Carter. Dan saya kira juga, bagusnya saya ada kesempatan sekarang, saya ucapkan di sini terima kasih kepada semua teman-teman, kawan-kawan, perorangan maupun lewat organisasi memobilisasi gerakan solidaritas. Itu memang merupakan faktor penting. Walaupun saya katakan yang terpenting tetap adalah faktor dalam negeri.

Mantan tapol dan aktivis HAM kawakan asal Inggris Carmel Budiardjo, kalu tidak salah mengemukakan bahwa tanpa rekonsiliasi, tanpa diselesaikannya masalah tapol, masalah kejadian yang besar itu Indonesia belum betul-betul menjalankan demokrasi. Komentar anda bagaimana?

Saya sepenuhnya setuju akan pendapat ini. Akan tetapi, saya cukup realistis, saya setuju dengan rekonsiliasi. Dari mana, siapa yang harus menjalankan rekonsiliasi itu.

Saya lihat di sini, dan ini selalu saya katakan, rekonsiliasi pada akhirnya adalah masalah kekuasaan atau lebih tepatnya adalah masalah watak kekuasaan.Jadi bukan masalah goede bedoelingen, kemauan baik dari perorangan atau kemauan baik dari kelompok-kelompok. Sebenarnya contoh sudah ada. Anak-anak yang dikatakan korban, misalnya anak Jendral Jani dengan anak Aidit, anak Karto Soewirjo itu berkumpul.

Antara mereka itu memang terjadi rekonsiliasi. Tapi itu pribadi, inisiatif-inisiatif perorangan, inisiatif-inisiatif kelompok, dan tidak bisa menjadi sebagai prilaku masyarakat. Kalau rekonsiliasi dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana yang kita ingini - kerukunan nasional, kerujukan nasional itu adalah masalah kekuasaan. Bukan inisiatif pribadi, bukan kemauan baik saja.

Oleh karena itu kalau bicara mengenai kekuasaan sebenarnya ada dua aspek kekuasaan. Kekuasaan yang di saat ini dipegang pemerintah, tetapi ada kekuasaan yang di tangan rakyat, kedaulatan rakyat.

Dengan ini saya ingin katakan, bahwa juga rakyat artinya juga masyarakat punya andil untuk menyelenggarakan atau untuk mendesakkan perlunya rekonsiliasi. Itu tidak bisa lain dengan berorganisasi. Ya, kembali kepada kata-kata Bung Karno harus ada massa aksi, harus diselenggarakan bersama. Rakyat menuntut, menyusun barisan, berjuang untuk menegakkan rekonsiliasi itu.

Kita boleh harapkan, kita boleh bikin resolusi kepada pemerintah, tapi apakah mereka laksanakan atau tidak, tergantung dari watak kekuasaan itu sendiri, komposisi kekuasaan itu sendiri, terdiri dari apa, akan mampu atau tidak. Tapi yang penting kekuatan rakyat ini. Jika kekuatan rakyat ini bisa kita mobilisasi, saya kira pemerintah harus menyesuaikan diri.

Nah, ini saya bicara sedikit mengenai bidang saya sekarang - pers, sebagai bekas wartawan maupun sebagai penerbit. Sebenarnya semua, pers luar negeri maupun pemerintahan-pemerintahan di dunia menyatakan, di Indonesia sudah terdapat, sudah berlangsung vrijheid van pers, kebebasan pers. Luar biasa kebebasan pers itu. Betul. Tapi yang ingin saya katakan itu bukan hadiah pemerintah.

Bukan pemerintah yang membikin, yang memberikan kepada rakyat kebebasan itu. Rakyat yang merebutnya. Rakyat yang menegakkan kebebasan pers itu. Pemerintah terpaksa menyesuaikan diri, bukan pemerintah yang memberikan kepada kita kebebasan pers itu. Itu yang ingin saya sampaikan. Karena ini sangat penting.

Sebab, pada akhirnya ini pelajaran bagi semua kita, bahwa kebebasan pada akhirnya tergantung dipundak kita sendiri. Kebebasan adalah sesuatu yang harus kita tegakkan sendiri, tidak bisa itu kita harapkan itu sebagai hadiah dari penguasa, yang bagaimana pun bentuknya siapapun presidennya. Kecuali memang kita suatu waktu, kita mendapatkan pemerintah yang wataknya memang demokratis. Selama itu tidak ada, ya harus kita sendiri _ masyarakat, ormas-ormas yang harus memperjuangkannya. Kebebasan itu memang harus diperjuangkan.

Secara sederhana, kecil-kecilan Hasta Mitra memberikan contoh. Ketika Soeharto jatuh, pers luar negeri datang kepada saya: Joesoef, apakah Hasta Mitra akan menerbitkan kembali buku-buku Pram? Saya langsung menjawab, bahwa pertanyaan itu salah.Itu berangkat dari asumsi Soeharto jatuh, maka sekarang ada kebebasan, saya bisa menerbitkan kembali buku-buku Pram. Itu salah, tidak benar. Coba diperhatikan, semua buku-buku Pramudya Ananta Tur, yang terpenting ditulis di pulau Buru diterbitkan pada saat Soeharto sedang sekuasa-kuasanya. Kita terbitkan dengan tidak menunggu Soeharto jatuh. Kita tidak mengemis mendapatkan kelonggaran untuk penerbitan.

Ini pelajaran bagi kita semua, bahwa demokrasi, kebebasan yang kita ingini tidak bisa dipersembahkan dari atas. Kita harus merebutnya sendiri, menegakkannya sendiri. (ASA)

Catatan:
Wawancara Rakyat Merdeka dengan Joesoef Isak ini juga dimuat dalam buku berjudul "Kebebasan Pers Harus Diperjuangkan" Sehari Bersama Joesoef Isak di Belanda, Penerbit: Stichting Indonesia Media, Amsterdam, 2005; hal. 67 - 74 .

Wednesday, October 26, 2005

Terorisme, "Islam Disudutkan", "Pro-Bush-Amerika"dan "Ditunggangi TNI"

Kasus Peledakan Bom di Bali:
Terorisme, “Islam Disudutkan”, “Pro-Bush-Amerika” dan “Ditunggangi TNI”

Catatan A.Supardi Adiwidjaya

SEJAK awal tahun 1999, sudah 187 buah bom yang meledak atau diledakkan oleh “orang” atau “orang-orang tak dikenal” di mana-mana, di beberapa tempat di Indonesia, namun orang masih berdiskusi ada tidaknya teror dan terorisme di Indonesia. Setelah bom dahsyat diledakkan di Bali, yang memakan korban ratusan jiwa orang tak bersalah melayang, barulah sebagian besar orang mengatakan memang teror dan terorisme itu ada di Indonesia. Namun, juga sampai hari ini, orang masih ribut berdiskusi memberikan definisi apa itu teror dan terorisme dengan tentu saja dipandang dari (atau memakai kaca mata berdasarkan) kepentingan masing-masing orang atau kelompok yang berdiskusi.
Saya tidak perlu melibatkan diri dengan diskusi soal ada tidaknya teror dan terorisme ataupun mengenai pengertian yang menjelimet atau dijelimetkan tentang kata-kata tersebut. Bagi saya yang orang awam ini, cukuplah kiranya membuka “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Di sana tertulis: teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan; menteror atau meneror – berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut; teroris – orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik; terorisme – penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Dari keterangan tentang teror dan terorisme tersebut di atas, 187 buah bom yang meledak atau yang sudah diledakan di berbagai tempat di Indonesia itu, menurut pendapat saya, jelas adalah suatu aksi tindakan teroris, suatu perbuatan yang tidak bisa tidak harus diklarifikasi sebagai terorisme. Untuk mengungkap siapa pelaku atau para pelakunya memerlukan waktu dan kerja keras yang serius dari pihak yang berwajib dan dengan bantuan kesadaran masyarakat akan bahaya terorisme sebagai tindakan anti-kemanusiaan.
MAKSUD tulisan ini hanyalah mengemukakan sebuah catatan, yang penulis anggap relevan diketahui oleh khalayak ramai, agar kita memberikan tanggapan secara proporsional, dengan landasan berfikir positif atas hasil kerja pihak yang berwajib (khususnya Polri) dalam usahanya untuk mengungkap secara tuntas terutama siapa pelaku “teror bom Bali".
*****
MEMBERIKAN komentar atas tertangkapnya Amrozy – salah seorang tersangka peledakan bom di Bali, sungguh menarik apa yang dikemukakan oleh wartawan kawakan dan budayawan kondang Goenawan Mohamad dalam sebuah surat-elektronik terbuka (tertanggal 13 Nopember 2002), yang ditujukan kepada salah seorang netter milis , sebagai berikut: “Jika Indonesia menangkap para teroris – yang memakai nama Islam – tidak seharusnya Indonesia menari mengikuti gendang Amerika, atau tak dengan sendirinya benar jika dianggap demikian. Dalam sebuah ceramah di Singapura saya katakan bahwa AS adalah ancaman terbesar untuk perdamaian dunia dewasa ini. Tapi itu tak berarti saya tak akan mendukung langkah penegak hukum (juga polisi) untuk menghabisi mereka yang dengan alasan anti-Amerika membom dan membunuh orang di negeri kita. Anti-Amrozi-terroris tidak berarti pro-Bush-Amerika”.
Seperti diketahui, pada tanggal 12 Oktober 2002, tepat pukul 23.05 wita, ledakan bom telah memporakporandakan mimpi tiap wisatawan tentang Kuta yang eksotik. Peristiwa tengah malam sebulan yang lalu itu, telah menghancurkan puluhan bangunan dalam radius 200 meter disekitar Sari Club (SC) dan Paddy’s di Jl. Legian Kuta, Badung. 185 nyawa pun melayang, sedangkan yang mengalami luka-luka berat maupun ringan tercatat 325 orang. Sementara 450 toko/warung/rumah penduduk rusak, 21 kendaraan roda empat hangus, enam sepeda motor terbakar, dan empat gardu listrik meledak. Pada saat yang hampir bersamaan, berselang 10 menit, tepatnya pukul 23.15 sebuah bom meledak di Renon, beberapa meter dari kantor Konsulat Amerika Serikat. Dalam kasus ini tidak ada korban jiwa. Itulah catatan kelabu Tragedi Kuta, kasus peledakan bom pertama di Bali dan terbesar di negeri ini. (Bali Post, Selasa, 12/11/2002)

SETELAH terjadinya peristiwa tragis, yakni peledakan bom berkekuatan dahsyat di Bali tersebut, berbagai penilaian atau tanggapan bermunculan di media-media cetak maupun elektronik, dan menjadi pembicaraan khalayak ramai di dalam maupun di luar negeri.
Ada yang menganggap, bahwa ledakan bom di Bali itu adalah “rekayasa AS” yang bermaksud untuk “menekan pemerintah Indonesia” agar menangkap “orang Islam” yang dituduh terkait atau ikut membina “kelompok teroris Islam” yang sudah ditangkap aparat keamanan di Malaysia, Singapura dan Filipina, sejak akhir tahun 2001.
Ada yang yakin bahwa Indonesia (dan khususnya umat Islamnya) sengaja disudutkan oleh pemerintah asing, khususnya AS.
Ada yang berpendapat bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan CIA (Central Intelligence Agency) dengan maksud “mengadu domba rakyat Indonesia” agar Indonesia “tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi AS”.
Ada pula yang yakin bahwa ledakan bom di Bali itu dilakukan oleh “orang-orang Orde Baru dan unsur-unsur mantan TNI” yang “ingin melemahkan pemerintahan Megawati”.
(Lihat: “Indonesia dan Terorisme Internasional” oleh Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Guru Besar Universitas Indonesia; “Mungkinkah CIA-Amerika Serikat Dalang Teror Bom di Bali Indonesia?” oleh Abdul Qadir Djaelani, anggota DPR-RI No. AA259, lihat Referensi; “Kasus Ba’asyir dan Keputusan Asing” oleh Novel Ali, “Suara Merdeka”, Sabtu, 2 Nopember 2002; Skenario di Balik “Bom Bali” oleh Eggi Sudjana Msi, lihat: Republika, Selasa, 15 Oktober 2002; “Matori Tuduh Al-Qaedah Dalang Tragedi Legian”, Tempo Interaktif, Senin, 14 Oktober 2002).

Investigasi Polri dan “Rekayasa AS”

Anggapan bahwa ledakan bom di Bali itu adalah “rekayasa AS” yang bermaksud untuk “menekan pemerintah Indonesia” agar menangkap “orang Islam” yang dituduh terkait atau ikut membina “kelompok teroris Islam” semakin keras mencuat dengan adanya kasus penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.

Sekitar seminggu sesudah peristiwa tragis peledakan bom di Bali (dan sekitar 6 hari setelah terjadinya peristiwa peledakan bom di Bali diberlakukannya oleh pemerintah Perppu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme), Mabes Polri mengeluarkan surat penangkapan untuk Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) – Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, yang sedang dirawat di RS PKU Muhammdiyah, Solo. Perintah penangkapan tersebut menimbulkan berbagai reaksi negatif dan juga spekulasi dari berbagai kalangan masyarakat.

Sehubungan dengan penangkapan Ustadz Ba’asyir tersebut, pakar politik dari Unversitas Melbourne Prof Dr Arief Budiman bahkan mengatakan, Amerika Serikat (AS) membutuhkan seorang seperti Abu Bakar Ba’asyir sebagai justifikasi (pembenaran) perang. “Ada kebutuhan dari AS untuk mendapatkan seorang yang bisa dikorbankan untuk disalahkan karena isu terorisme yang didengungkan AS butuh aktor, “ kata Arief Budiman usai menjadi pembicara dalam Forum “The Future of Islam and Politics in Indonesia” di Universitas Melbourne, Rabu (23/10). Abu Bakar Ba’asyir, menurut dia, hanya seorang yang sederhana dan tidak pandai serta hanya memimpin pesantren di Ngruki, Solo. “Sulit dimengerti orang seperti itu menjalankan terorisme internasional yang sangat ditakuti dunia, “ paparnya.
Isu soal Osama bin laden dan Al-Qaeda-nya, lanjut Arief, juga tidak pernah jelas hingga sekarang. Karena itu, menurut dia, pemerintah Indonesia tidak perlu “over acting” menuruti tekanan AS. Militer sendiri, menurut dia, mendapat keuntungan dari tragedi tersebut di mana kerjasama militer dengan Australia dan bantuan AS akan menguatkan keberadaan militer. (Kompas, Kamis, 24 Oktober 2002).

Tidak pelak lagi, pikiran professor dari Universitas Melbourne tersebut di atas bisa dinilai sebagai atau semacam sebuah dukungan moral terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bersama para pengikut setianya. Sejalan dengan itu, saat ini di arena politik Indonesia berdengung nyaring suatu paduan suara bersama (kor) anti Amerika Serikat (AS), yang didengungkan terutama sekali oleh berbagai kelompok atau organisasi radikal, yang mengibarkan agama Islam sebagai landasan perjuangan politiknya.

Dalam konteks tuduhan bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan Central Intelligence Agency (CIA) ataupun “rekayasa AS”, menarik kiranya untuk dicatat dan disimak dengan baik pernyataan Goenawan Mohamad dalam surat elektronik terbuka (yang telah saya singgung di atas), sebagai berikut:
“Saya memang semula (garis bawah – ASA) melihat, bahwa AS-lah yang secara politis diuntungkan oleh bom di Bali: dengan terjadinya hal itu, Bush dkk., termasuk Lee Kuan Yew, bisa mendapatkan pengukuhan bahwa di Indonesia kaum teroris bersarang, dan pemerintahan Megawati akan terdorong masuk lebih aktif dalam ikut 'perang melawan terorisme' itu. Sebab memang ada yang tak logis dalam tuduhan Bush-Lee: jika di Indonesia ini para teroris bersarang, kenapa mereka harus merusak sarang itu? Dengan argumen yang sama, saya juga meragukan pengakuan al-Faruk yang dimuat di TIME, bahwa kelompoknya akan membunuh Megawati. Buat apa? Untuk mendirikan negara Islam? Seperti terbukti dalam pergantian Konstitusi baru-baru ini, dukungan politis untuk itu sangat kecil. Atau sekedar menjadikan Hamzah Haz presiden, supaya proteksi terhadap mereka lebih kuat? Ini lebih mungkin, tapi belum jelas apakah jika Mega berhalangan, Hamzah Haz bisa bertahan.Tapi belakangan ini saya lebih diyakinkan oleh cara kerja polisi (garis bawah – ASA) -- yang biasanya saya ragukan dan curigai”. (Kutipan selesai).

Dalam konteks ini, perlu juga dicatat pendapat Herman Sulistyo – peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – yang menekankan bahwa hasil investigasi atas kasus peledakan bom di Bali bukan rekayasa (lihat: Tempo Interaktif, edisi tgl.14/11/2002).

Berkenaan dengan tuduhan bahwa kasus peledakan bom di Bali adalah “rekayasa AS dan CIA”, patut pula kiranya kita catat berita (sebuah rekaman suara Osama bin Laden) yang disiarkan oleh Televisi Al Jazeera. Dalam pernyataannya, Osama memuji serangan-serangan anti Barat yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir termasuk bom Bali.Osama memuji serangan yang antara lain terjadi di Bali yang menewaskan hampir 200 orang kebanyakan warga negara Australia, pembunuhan seorang marinir AS di Kuwait. Dia juga memuji pemboman terhadap kapal tanker Prancis di lepas pantai Yaman dan penyanderaan di sebuah teater di Moskow oleh gerilyawan Chechnya.Dalam bahasa Arab, Osama menyebutkan bahwa serangan itu dilakukan dalam rangka mempertahankan agama dan sebagai reaksi terhadap tindakan Presiden AS George W. Bush yang disebutnya Firaun saat ini. Sebutan ini datang karena Bush dianggap membunuh anak-anak di Irak. (Sinar Indonesia Baru, Kamis, 14 Nopember 2002).

Dalam konteks berita tentang isi rekaman suara Osama bin Laden itu, jika kita tidak menuduh Televisi Al Jazeera itu juga sebagai TV-zender yang direkayasa oleh AS dengan CIA-nya, maka pernyataan pujian Osama bin Laden atas serangan anti Barat, yang terjadi di Bali itu mungkin bisa saja dinilai sebagai pemberian keterangan bahwa: Pertama, kasus tersebut jelas bukan merupakan skenario CIA dan “rekayasa AS”atau pihak-pihak yang “dicurigai” lainnya; kedua, menunjukkan bahwa pelaku atau para pelakunya bukanlah Al-Qaeda, tetapi adalah “perbuatan dari kawan-kawan seperjuangan” Al-Qaeda dari Osama bin Laden.

Dan bagaimana kita harus menilai temuan-temuan oleh pihak Polri dalam usaha keras pelacakannya guna mengungkap misteri pelaku peledakan bom di Bali itu? Apakah ia dinilai sebagai hasil rekayasa? Dalam kaitan ini, menarik apa yang dikemukakan oleh Goenawan Mohamad: “Penangkapan dan pemeriksaan Amrozi adalah kerja detektif yang normal: dari data di lapangan, bukan dari 'skenario'. Bahkan polisi berhati-hati menggambarkan 'skenario', tidak macam kelaziman BAKIN dan dinas intel ABRI selama Orde Baru, yang membuat 'skenario', kemudian memperkuat 'pembuktiannya' melalui pemeriksaan, yang sering disertai penyiksaan”.

Ketua Tim Investigasi Kasus Bom Bali Irjen (pol) Made Mangku Pastika mengatakan, tidak ada keraguan sedikit pun tentang penangkapan Amrozy, tersangka dalam peledekan Bom Bali 12 Oktober 2002 lalu. Menurut Pastika, pihaknya memperoleh bukti-bukti di lapangan, kemudian diolah sesuai scientific crime investigation. “Kita membangun investigasi dari bawah. Jadi, kita juga pertimbangkan alternatif-alternatif dari organisasi yang besar dari atas. Tapi, yang paling penting kita membangun penyelidikan dari bawah,” ujar Made Mangku Pastika, dalam konferensi pers (14/11/2002) di Denpasar, Bali. Dikatakan, tidak benar pelaku menyisakan bukti-bukti tercecer. “Penangkapan Amrozy itu karena keuletan para penyelidik, tim forensic, sehingga kita temukan banyak hal ke arah tertangkapnya Amrozy,” katanya. (Bali Post, Kamis, 14 Nopember 2002).

SEHUBUNGAN dengan keberhasilan Polri menangkap salah seorang tersangka peledakan bom di Bali, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita mau berfikir dan memberikan pendapat kritis secara proporsional dengan berfikir positif terhadap apa yang dilakukan pihak berwajib (khususnya Polri) dalam usahanya untuk menguak kasus peledakan bom di Bali tersebut, ataukah mau berfikir dan menilai sebaliknya bahwa investigasi yang dilakukan Polri tersebut sebagai rekayasa?!

Resolusi MMI dan “Islam disudutkan”

SEMENTARA itu, kelompok radikal atau garis keras berbendera Islam, antara lain, apa yang dinamakan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Front Pembela Islam (FPI) dan Lasykar Jihad, yang merasa mewakili seluruh umat Islam Indonesia, dengan gencar melakukan demonstrasi-demostrasi anti AS, anti Yahudi dan Israel.
Memberikan reaksi keras kepada pihak berwajib atas penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan tuduhan, antara lain, ada keterkaitan ustadz tersebut dengan peledakan-peledakan bom di berbagai tempat (yang telah terjadi jauh sebelum peledakan bom Bali 12 Oktober 2002), MMI mengeluarkan resolusi terhadap pemerintahan Megawati, yang isinya, antara lain, sebagai berikut:
“Pemerintah Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum yang berdaulat dan mempunyai harga diri, harus dipertahankan oleh warganegaranya yang mayoritas penduduknya adalah Umat Islam, maka Kami Umat Islam Bangsa Indonesia memperingatkan dan menghimbau kepada Pemerintahan Megawati untuk:
a. Menghentikan semua tindakan represif atau penindasan terhadap Islam dan umat Islam.
b. Menghentikan semua tuduhan dan sangkaan serta semua proses rekayasa hokum yang dilakukan khususnya terhadap ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan tokoh-tokoh serta aktivis Islam.
c. Menindak oknum aparat keamanan yang sudah melampaui batas dan melakukan tindakan represif serta diskriminatif terhadap Islam dan umat Islam. Terhadap aparat keamanan yang suka main tangkap dan main tembak supaya dipecat dari kedinasan, karena tindakan polisi seperti ini hanyalah akan menjadikan rakyat bangsa Indonesia suka kepada kekerasan, yang seharusnya poisi itu bersikap sejuk di mata rakyatnya sebagai pengayom dan pelindung mereka.
Bila resolusi ini tidak diindahkan maka kami akan mengajukan MOSI TIDAK PERCAYA kepada Pemerintahan Megawati dan menyatakan bermusuhan/oposisi sampai pemerintahan ini diganti dengan pemerintahan yang baru”.
Resolusi tersebut dikeluarkan di Jojakarta 1 Nopember 2002 dan ditandatangani oleh
Irfan S. Awwas (Ketua) dan Shabbarin Syakur (Sekretaris).

Selain resolusi (baca: ultimatum) MMI terhadap pemerintah Megawati-Hamzah itu, aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok apa yang dinamakan Islam garis keras atau Islam radikal dengan terang-terangan menuduh pemerintah sebagai antek Amerika Serikat.
Sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ba'asyir sendiri, misalnya, menegaskan, bahwa bila ada tuduhan terhadap dirinya terkait dengan aksi teror itu, dia menantang agar pihak yang menuduh dapat membuktikan bahwa dirinya yang melakukan. Ba'asyir juga menyatakan, agar pemerintah jangan mau didikte pemerintah AS, yakni dengan menangkap warganya hanya untuk kepentingan AS.
Pengikut Abu Bakar Ba’asyir tidak segan-segan mengumbar ancaman. "Bagi yang sudah pernah masuk Ambon, merakit bom adalah pekerjaan mudah. Bahannya bisa kita dapatkan dari berbagai tempat. Tapi kami akan melakukannya jika pimpinan kami didzalimi. Entah nanti akan ditabrakkan kepada orang atau apa, itu dipikirkan nanti," papar Solichin dengan penuh semangat kepada wartawan yang berkumpul di Pondok Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Selasa (15/10). Solichin adalah salah seorang pengikut dan pembantu terdekat Abu Bakar Ba'asyir. (“Ba'asyir Ditangkap, Pengikutnya Janji Lakukan Bom Bunuh Diri”, Sinar Indonesia Baru, Rabu, 16 Oktober 2002).

Ketua Umum Pintar (Pergerakan Islam untuk Tanah Air), Alfian Tandjung misalnya, menyerukan, seluruh muslim di manapun melakukan qunut nazilah. Yakni do’a yang biasa dilakukan saat terjadi bencana besar melanda ummat Islam, terutama karena ketertindasan tokoh dan gerakan Islam di berbagai tempat. Seperti Osama dan Al Qaeda, Abu Bakar Ba’asyir, Habib Rizieq, pejuang Chehnya, Moro (Filipina) dan yang lainnya. Selain Alfian, seorang juru dakwah yang sering keluar masuk Singapura, Malaysia, Brunei dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, Syamsul Abdul Madjid, juga ikut berorasi. Mengenakan jubah panjang dan surban hitam, dipadu dengan jenggot putihnya yang panjang, Syamsuri menasehati Mega.“Takkan mungkin seorang presiden perempuan yang mesti perhatian, mengorbankan anak-anak bangsanya sendiri. Tapi kini kok malah menjual bangsanya sendiri kepada bangsa asing,” ujarnya lantang. (Rakyat Merdeka, Sabtu. 02/11/2002)

Mari kita simak dengan saksama apa yang dikemukakan oleh Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Anshori saat menjadi pembicara dalam diskusi “Teror Islam, Teror Global”, yang diselenggarakan Lakpesdam NU bersama British Council di Hotel Indonesia, kemarin (14/11/2002), sebagai berikut: “Amerika itu Teroris dan Zionis, kalau disingkat jadinya Amrozy. Indonesia saat ini tengah menjadi korban kebiadaban negara itu”.
Anshori mengatakan siapapun pengebom Bali harus dihukum berat. Bahkan, kalau perlu dihukum dengan syari’at Islam, yaitu dibunuh, dipotong tangan kaki secara silang atau dibuang ke pengasingan seumur hidup.
“Ini adalah salah satu komitmen kami terhadap syari’at Islam, sekaligus membuktikan bahwa Islam sangat tidak toleran dengan terorisme. Bahkan, kalau ada anggota MMI yang terlibat, silakan hokum seberat-beratnya. Tapi, lewat proses pengadilan dan disertai bukti, tentunya,” jelasnya kemudian. Anshori sepakat bahwa tindakan terorisme adalah bertentangan dengan kemanusiaan. Hanya saja, menurutnya, definisi terorisme seringkali ditafsirkan secara subyektif, bahkan seringkali ditunggangi untuk kepentingan tertentu. Akibatnya, yang terjadi adalah stigmatisasi atas kelompok tertentu atas pengertian terorisme. “Contohnya adalah ucapan I Made Mangku Pastika (ketua tim investigasi peledakan Bali) yang menyatakan adanya kesamaan ideologi antara Jamaah Islamiyah dengan MMI. Ini kan ngawur,” ujarnya.

DARI isi resolusi MMI dan beberapa cuplikan pendapat para tokoh Islam radikal tersebut di atas terlihat jelas, bahwa menurut pandangan mereka, kasus peledakan bom di Bali itu adalah sepenuhnya “rekayasa AS dan CIA-nya” dan Amrozy itu merupakan singkatan dari Amerika itu Teroris dan Zionis. Mereka menuduh bahwa pemerintahan Megawati adalah “antek AS”. Dus, di balik kampanye anti AS, yang dengan gencar mereka lancarkan itu, ujung tombak perjuangan kelompok radikal ditujukan kepada pemerintah Megawati. Mereka menilai kebijakan pemerintah Megawati untuk dengan tegas memerangi terorisme di Indonesia sebagai tindakan menyudutkan Islam.

JUGA Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa umat Islam dipojokkan dalam kasus peledakan bom di Bali. Menurut Wakil Sekretaris Umum MUI Ikhwan Syam, Islam kini tengah didudukkan dalam posisi tertuduh kasus Bali. Hal itu dikemukakan Ikhwan dalam pertemuan Forum Ukhuwah Islamiyah di Jakarta, Senin (04/11/2002). Hal serupa juga dirasakan ormas Al-Irsyad. Hal serupa juga dirasakan ormas Al-Irsyad. Mereka juga mengeluhkan tudingan warga keturunan Arab sebagai tokoh garis keras. Untuk itu, forum mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus ledakan bom di Bali. Pemerintah juga diharapkan bersikap tegas dan tegar menghadapi tantangan sejumlah negara yang mendikte arah bangsa dan negara.

AZYUMARDI AZRA (pengamat politik, rektor Universitas Islam Negeri Islam) menilai opini publik yang menyebut terorisme identik dengan Islam akibat kesalahan orang Islam sendiri. Menurut Azyumardi, umat Islam terlalu over-reaktif terhadap tragedi peledakan bom di Bali. “Kalau Amrozy ditahan, maka pemimpin-pemimpin Islam mengatakan umat Islam tengah menjadi korban konspirasi. Bahkan, ketika pesantren Al Islam diperiksa, banyak yang mengatakan Islam lagi disudutkan,” ujarnya. Lebih lanjut, menurutnya, kesalahan lain yang dilakukan orang Islam adalah menjeneralisir peristiwa-peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Jika ada penangkapan Amrozy, pemeriksaan pesantren atau penahanan Abu Bakar Ba’asyir, Azyumardi menyarankan agar tidak digambarkan sebagai tindakan represif pemerintah terhadap umat Islam secara keseluruhan. (Rakyat Merdeka, Sabtu, 02/11/2002).

MENANGGAPI penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Sekjen PDI Perjuangan Ir Sutjipto menyatakan bahwa partainya sampai sekarang tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah, kecuali kalau bukti-bukti yang menguatkan nanti memang nyata-nyata ada. “Kami tidak sependapat, kalau hal demikian itu diembel-embeli persepsi adanya tekanan dari luar dan memojokkan agama tertentu atau kelompok tertentu”, kata Ir. Sutjipto. Saya tidak setuju, lanjut Sutjipto, kalau itu dikibar-kibarkan sebagai kepentingan kelompok. Kita bersikap pada asas praduga tak bersalah saja. Tapi tetap memberikan kewenangan penuh pada kepolisian untuk melakukan tindakan-tindakan, tapi tidak melakukan pendekatan kekuasaan seperti yang lalu. Untuk penanganan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), silakan ditangani sesuai dengan prosedur hukum saja, tetapi kalau tidak terbukti bisa digugat lewat jalur hukum juga, bukan dengan kekerasan. Sutjipto menilai, sejauh ini Polisi dalam menangani kasus Abu Bakar Ba’asyir, masih normal-normal saja. Ia menegaskan, terhadap orang per orang yang ditangkap kalau memang betul-betul melakukan tindakan teror silakan diproses secara hukum. (Sinar Indonesia Baru, Selasa, 05/11/2002).

“Ditunggangi TNI”

Dengan ditemukannya senjata buatan Pindad di lokasi yang diduga disimpan oleh Amrozi dan kelompoknya, muncul dugaan sementara orang tentang kemungkinan keterlibatan “oknum TNI” dalam kasus teror bom Bali. Jauh sebelumnya, juga ada tuduhan tentang keterlibatan “unsur TNI” dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh apa yang dinamakan Lasykar Jihad dalam konflik di Maluku.

Saat ini, misalnya, seperti yang dilangsir antara lain di koran Rakyat Merdeka, muncul tuduhan bahwa pengeboman Bali bakal dijadikan alasan oleh TNI untuk mengembalikan pemerintahan militeristik dan otoriter di Indonesia. Teorinya sederhana. Untuk menghambat aksi teror, dibutuhkan militer “kuat”. Artinya, berkuasa penuh. Persis, seperti di masa lalu. “Salah dan tidak bermoral, usaha Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu memanfaatkan kasus Bali untuk meyakinkan masyarakat kalau Kodam harusdiperluas. Apalagi pernyataan bekas Pangkokamtib Sudomo yang mengancam hak-hak sipil dengan meminta pemerintah memberlakukan Undang-undang Subversif,” tegas Direktur Imparsial Rachlan Nashidik dalam jumpa pers di kantor Kontras, kemarin.
Menurut Rachlan, selain keinginan militer kembali berkuasa, upaya AS memulihkan bantuan militer kepada TNI juga mengancam demokrasi Indonesia.Selain itu, dia menyebut rencana kerjasama Australia dan Kopassus dalam operasi antiterorisme juga berbahaya bagi perkembangan kebebasan berpendapat di republik ini. “Ini tragedi besar. Bom Bali mengundang militer kembali dalam politik sipil.Padahal merekalah yang berpuluh tahun menjadi pelaku crime against humanityyang dapat digolongkan sebagai tindakan teroris. Mereka juga teroris kok. Sama-sama menyerang hidup dan jiwa warga sipil yang tidak berdosa,” jelas Rachlan. (Rakyat Merdeka, Jumat, 15 Nopember 2002).
Militer sendiri, menurut Prof Dr Arief Budiman, mendapat keuntungan dari tragedi tersebut di mana kerjasama militer dengan Australia dan bantuan AS akan menguatkan keberadaan militer. (Kompas, Kamis, 24 Oktober 2002).

APA-APA yang diutarakan oleh Rachlan Nashidik dan Arief Budiman tersebut di atas, masih perlu pembuktian, dus perlu pengkajian yang serius. Dan bagaimanapun kita tidak bisa menafikan begitu saja tentang terjadinya proses reformasi baik dalam fikiran maupun tindakan di berbagai lapisan jajaran TNI, terutama dalam hal tekad para pimpinan TNI/Polri untuk mengeliminir (apa yang dulu dikenal sebagai) “dwifungsi ABRI”. Sehubungan dengan ini, baik kiranya kita tunggu perkembangan selanjutnya.

MENUTUP catatan di atas, perlu kiranya saya lontarkan di sini apa yang dikemukakan oleh Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia, sebagai berikut: “Drama tentang Tragedi Bali masih akan berlangsung lama dan masih akan menjadi buah bibir di mana-mana. Kontroversi pun dengan liar menyebar. Yang mengecewakan, ada suara-suara yang terkesan berpihak kepada yang melakukan kekerasan. Dengan dalih dan argumentasi yang terukur dan tertata ditinjau dari segi hukum, ekonomi, politik, moral maupun intelektual, yang bersifat nasional maupun internasional, mereka tampaknya menafikan kenyataan bahwa ledakan-ledakan kekerasan yang mencirikan awal abad ke-21 ini tentunya bertentangan dengan perikemanusiaan ataupu ajaran-ajaran agama. (Media Indonesia, Sabtu, 16 Nopember 2002).

Khusus mengenai investigasi kasus peledakan teror bom Bali, saya menyetujui apa yang dikemukakan oleh sosiolog dari Unand, Prof dr Abdul Azis Saleh, bahwa sebaiknya penyelidikan dan analisa diserahkan pada ahlinya. Pemahaman ini penting supaya tidak membuat suasana semakin tidak menentu. Jadi biarlah aparat keamanan dan instansi terkait mengusut tuntas kasus bom di Bali.

Dan sungguh arif apa yang dikemukakan dalam Tajuk Rencana “SUARA MERDEKA” (18/11/2002): “Orang bebas berpendapat dan mengomentari kasus tersebut. Namun, akan lebih baik kiranya jika pendapat dan komentar berguna untuk membongkar kasus besar itu secepatnya. Bukan malah mempertentangkan atau berkomentar dari itu ke itu saja yang tidak membantu usaha menyelesaikan persoalan pokok. Ada anggota tim peneliti yang heran mendengar komentar yang ngalor ngidul itu. Tim peneliti itu, yang seharusnya sangat terpercaya karena selain dari Indonesia berperan pula ahli dari berbagai negara, telah mengungkapkan enam tersangka pelaku. Sebaiknya kita menanti kelanjutan dari temuan itu. Penyebaran foto tersangka mengharapkan peranserta masyarakat luas untuk memberi informasi. Kita semua berkepentingan dengan kecepatan proses agar mesyarakat segera terbebas dari keraguan dan saling curiga”.

AKHIRUL KALAM, adalah sulit memberikan pendapat, apakah membenarkan atau menyanggah berbagai pendapat yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut diatas, karena bahan-bahan yang digunakan sangat terbatas dengan analisa yang kelihatan sekali berat sebelah. Kita tidak bisa menafikan begitu saja juga mengenai teori konspirasi atau teori komplot. Dus, mengenai siapa di belakang teror yang telah lama melanda Indonesia ini, kita seharusnya menunggu hasil penyelidikan menyeluruh dari aparat kepolisian Indonesia yang dalam hal ini telah melakukan kerjasama dengan berbagai aparat intelijen asing lainnya. Karena, melansir pandangan dan pendapat tanpa bukti-bukti kongkrit, hanya akan mengacaukan keadaan dan dapat menimbulkan saling curiga dan permusuhan yang tidak perlu di antara kita semua. Padahal kita semua menyadari bahwa Indonesia yang kita cintai sedang menghadapi bahaya disintegrasi bangsa. Adalah lebih baik dan bermanfaat kiranya bila para pakar, pengamat-pengamat berbagai disiplin ilmu membantu polisi dengan memberikan bahan-bahan kongkrit, bila mereka memang mempunyai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yang jelas adalah : siapa pun dan dari golongan mana pun yang melakukan teror tidak bisa dibenarkan. Tindakan teror adalah suatu kejahatan terhadap umat manusia, oleh karenanya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap perbuatan teror, dan hanya dengan demikian pemerintah dapat melindungi masyarakat, dan memberikan rasa aman kepada rakyat banyak. Keamanan dan ketenangan masyarakat sangat penting bagi kelancaran dan pertumbuhan ekonomi yang sangat kita butuhkan dalam mengatasi multikrisis yang berkepanjangan ini. (ASA)

(Zaandam, Holland, akhir Nopember 2002)
Catatan: Artikel ini diekspos sebagai Editorial di website Korwil PDI Perjuangan di Belanda,
akhir Nopember 2002.

*******